Jumat, 29 Juni 2012
ALLAH, MENCARI-MU ADALAH MENCARI KEDAMAIAN
Ya Allah, Ya Tuhanku, Engkau Yang Dekat, Engkau Yang Menjaga, Melihat Hati Manusia, Memelihara, Yang Menjadikan dan Menghidupkan Segalanya.
Allahku, mencari-Mu adalah mencari kedamaian dalam hidupku.
Allah, sungguh tak ada artinya hidup ini bila Engkau kian menjauh dari hari-hariku. Ilmu yang kupunya tak ada artinya ketika engkau tak sinari dengan cahaya-Mu dan Ridha-Mu.
Sungguh, hancur hidupku tanpa CINTA dan KASIH SAYANG-MU.
Allahku, malam ini aku ingin Engkau mendengar kata hatiku untuk orang-orang yang paling kucintai. Sesungguhnya Engkau adalah Zat Maha Mendengar rintihan dan munajat hati setiap hamba-hamba-Nya yang Terkasihi. Habiibulllah....
Allahku, aku ingat kedua orangtuaku. Hapuskanlah duka dan luka di hati mereka, lalu limpahkan senang paling indah, senyum paling manis, jiwa paling cerah, rizki berlimpah, ampunan penuh barokah. Hancurkanlah dosa-dosa mereka, dan gantikanlah dengan pahala dan ridho-Mu sebagaimana mereka berdua telah membesarkanku sampai detik ini aku bisa menjadi seperti ini.
Ya Allah Kami, teruntuk orang-orang yang pernah berbuat baik kepadaku, balaslah kebaikan mereka dengan balasan yang berlipat ganda.
Untuk orang yang mencintaiku, ampunkanlah mereka Ya Allah. Lapangkan hidup mereka.
Untuk para guru-guruku yang telah memberikan ilmu kepadaku, sekecil apapun. Berilah rizki kepada mereka.
Untuk seluruh teman-temanku di Facebook, di Twitter, di dunia maya mau pun nyata. Untuk teman-teman Oi di seluruh Indonesia, Oi Anak Wayang di kampus tempat aku kuliah, pesantren-pesantren yang pernah aku jejaki, tempat dimana aku menimba ilmu agama-Mu. Berilah ampunan, rizki, rahmat, dan kasih sayang terindah dari Zat-Mu yang Maha Mempesona.
Untuk seluruh pembaca tulisan-tulisan yang ada dalam bukuku, blogku, twitku, komentarku, makalahku, artikelku, curhatanku, dan apapun itu. Rahmatilah mereka. Indahkan hidup mereka. Sirami kegersangan mereka dengan Luah dan Luasnya CINTAMU YA ALLAH.
Allah, sesungguhnya tiada jalan sesat jika kami selalu melibatkan dan membersamai-Mu dalam setiap langkah kami. Kami yakin, bila kami selalu bertaqwa kepada-Mu, Engkau akan permuda segala urusan kami di dunia dan akhirat.
Allah, atas setiap masa kelam aku, ampunilah. Lalu bukakan masa depan aku yang suci sebagai lembar-lembar baru yang putih. Allah, simpuh yakin dan tasamuhku, sekelam apapun masa laluku, sesungguhnya masa depanku tetap suci.
Allah..... Allah.... Allah...........
Lukislah cinta-Mu dalam tiap titian CATATAN SEJARAH CINTA-ku.
Bilakah sujudku karena surga-Mu, jangan Kau masukkan aku ke dalam-Nya.
Bilakah sujudku karena takut neraka-Mu, bakarlah aku dengan apinya.
Namun bila sujudku demi KAU semata, janganlah kau palingkan wajahmu.
AKU RINDU MENATAP KEINDAHANMU...........
Allah, mencari-Mu adalah mencari kedamaian. Perjalanan anak dunia, dari subuh sampai malam. Duduk terlentang, tengah ibadah, membawa bekal keyakinan. Terus bersyukur dalam tafakkur, walau pun tanah berlumpur. Dan kulalui sepenuh hati, dengan melangkahkan kaki.
Allah, mendung tak akan pernah sepanjang hari. Cintailah aku.
https://www.facebook.com/pages/Tuhan-Izinkan-Aku-Pacaran/178544228835137
www.catatanfikri.blogspot.com @fikrihabibullah
Kamis, 28 Juni 2012
Ekspedisi Bersampah
tulisan ini saya kopi paste dari note seorang sahabat saya, Fauziah Muslimah. Dari perjalanan yang ia rekam, insya Allah, akan lahir sebuah novel yang detik ini sedang saya tulis. Mohon doanya, semoga cepat terbit dan akan menjadi film. Amin
Belum
akrab, tapi sudah silau dengan pancaran semangatnya. Belum bertemu pun sudah
silau dengan semangat yang dia punya, apalagi nanti bertemu.
Awalnya saya hanya ingin dia berbagi cerita
bagaimana dia berhasil menerbitkan buku-bukunya itu, tapi berlanjut pada
obrolan-obrolan selanjutnya. Dia bilang sekarang sedang mempersiapkan sebuah
novel berlatar lapak daerah pemulung, katanya novelnya bakal inspiratif dan
menggugah. (ya, ya, ya, wajar si dia pede banget gitu kan udah ada yang terbit
bukunya nah kalo saya ??? ) :D
Obrolan kami berujung pada ajakannya untuk survey
langsung ke tempat latar yang akan dia ceritakan di novelnya itu. Saya pun
mengiyakan dengan terkaget-kaget (sebenarnya lebih ke terkagum-kagum sama pola
pikirnya) :
“Ayo ke
tempat itu, biar kamu punya cita rasa meliput, merasakan, meneliti, dan mencari
solusi. JURNALISTIK ITU MEMBANGUNKAN ORANG YANG TIDUR. KENYATAAN HARUS
DIKABARKAN. KEBENARAN JANGAN DIBUNGKAM. KAMU MELIPUT MENJADI SAKSI.”
Oh, Allah….. Jujur saja, saya yang sedang menempuh
pendidikan di bidang jurnalistik tidak ada pemikiran seperti itu selama ini
saya hanya belajar dan berusaha untuk mendapat nilai baik pada setiap mata
kuliah saya.Tidak ada jiwa meliput, petualang, de el-elnye. Benar-benar
beda nih orang. Sampai saat ini pun, sepertinya saya juga belum mendapatkan
soul jurnalistik saya. Kesimpulannya, harus lebih banyak belajar lagi dan lagi.
Akhirnya,
pada hari minggu….
Sampai di tempat yang di tuju. Alamak, sebelah
kanan “sampah”, sebelah kiri, depan, belakang, semuanya, di kelilingi sampah.
Oh, God…..
Tempat ini adalah kampung gunung balong di
daerah Jakarta Selatan. Padahal tempat ini dekat dengan sekolah saya dulu,
tapi kenapa baru sekarang saya tahu ada tempat seperti ini di sini. Sangat
kontras dengan gedung-gedung mewah yang berada tak jauh dari tempat ini. Kesan
yang saya dapat saat itu hanya bau, lalat, bau, dan lalat.
Tak sanggup pun saya bayangkan jika harus tinggal
di tempat yang untuk menghirup udara segar saja ibarat mimpi. Tapi melihat ke
sekeliling banyak anak yang tetap asyik bermain. Dan apalagi jika bukan sampah
yang mereka mainkan itu, atau ada juga kucing-kucing yang berlalu larang di
antara sampah-sampah itu.
Ekspedisi berlanjut dengan diperkenalkannya saya
pada seorang anak bernama Rusdi. Ternyata Rusdi pun sudah cukup dekat dengan teman
saya itu. Teman saya bercerita bahwa dia sudah sering ke tempat ini. Dia sudah
cukup kenal dengan Rusdi yang dia ajak berkenalan saat memulung di sekitar
Point Square Lebak Bulus. (ih wow, sepertinya dia lebih punya jiwa jurnalis,
tidak sama sekali seperti dalam diri saya).
Saya pun di ajak berkeliling tempat itu. Sudah
sedari tadi tiba, memang terdengar sayup-sayup suara angklung. Kami pun
bergegas ke sumber suara. Di sana ada anak-anak yang memang sedang bermain
angklung. Tapi ada yang janggal di sini kawan, yang mengajari adalah orang
Jepang. Dan kami tidak di izinkan untuk meliput acara latihan angklung itu yang
kata Rusdi akhir-akhir ini sering di adakan untuk tampil di sekolah Jepang
mereka.
Alamak, kenapa pula kami tak boleh mengambil gambar
mereka. “Mba-mba yang gak ngebolehin itu” tatapannya sinis sekali pada teman
saya yang sedang mengambil gambar. Entah kenapa, saya berpikir bahwa tatapan
sinisnya terlebih pada jilbab yang saya kenakan. Ini hanya Mungkin. Lalu, apa
alasan logis mereka tidak mau kami liput. Emh… patut dipertanyakan…. Salah
satu alasannya terjawab kemudian setelah kami bercakap-cakap dengan warga
sekitar terutama ibunya Rusdi kalau “Mba-mba yang gak ngebolehin itu” adalah
non muslim dan memang tidak mau lebih tepatnya tidak memperbolehkan ada yang
mengambil gambar ataupun meliput kegiatan mereka.. Oooooooo begono….. (ya, ya,
ya, I see ! ). Tapi, kenapa dan mengapa ?
Sedikit kecewa dengan sikap mereka, kami pun
melanjutkan ekspedisi kami berkeliling lagi. Dan saya lebih banyak diam. Diam
karena tak tahu harus bertanya apa, diam karena bingung, dan memang diam karena
tak paham (hehe) tapisebenarnya.diam karena menahan haru birunya keadaan
disini.
Matahari semakin tenggelam di ufuk barat. Adzan
Maghrib sudah berkumandang. Awan terang berubah gelap perlahan. Tapi, mereka
masih asyik bercengkrama dengan sampah-sampahnya. Emh…. Mengkhawatirkan. Tapi,
ada juga kok yang segera bergegas ke mesjid dekat dan tepat berada di belakang
lapak ini.
Setelah sholat maghrib, kami melanjutkan obrolan kami
dengan duduk di depanrumah Rusdi ( bayangkan sendiri bagaimana kedaan
rumah Rusdi , maaf kawan tak dapat saya ceritakan ). Sembari mentransfer video
dan foto-foto hasil bidikan dan wawancara kami ke laptop teman saya itu yang
akhirnya tak jadi karena batrenya low (heheheh) obrolan kami mengarah pada
cerita teman saya kenapa dia sering ke sini, dan tentang novelnya yang baru
lima bab.
Belajar dari semangat menulis teman saya itu,
belajar dari Rusdi, belajar dari Bu Samah yang tadi di wawancara, dan juga belajar
dari para warga lapak gunung balong. Saya tidak bermaksud untuk merendahkan
kamu FAUZIAH MUSLIMAH !. Tidak kah kamu sedikit saja lebih bersyukur atas apa
yang sudah kamu punya saat ini. Belajar dari mereka yang hidup memprihatinkan,
yang untuk menghirup udara pagi yang segar saja tak bisa?
Tidak pernah berusaha lebih ketika mencita-citakan
sesuatu yang tinggi ! Jika kau bermimpi tanpa berbuat untuk apa kau hidup,
Mati sajalah kau fau !!!. Setelah ini masih mau sombong , setelah ini masih mau
malas-malasan lagi, setelah ini masih masih dan masih.
Jika dulu saya pernah bilang, “Ya Allah, malang
sekali nasib ku ini…., ternyata ada yang…..Jika dulu saya pernah berpikir bahwa
saya sepertinya tidak pernah punya kesempatan untuk memulai dan belajar,
ternyata ada yang…Jika dulu saya….. dan ternyata…, Jika saya dulu, dan ternyata
ada yang…. Emh….
Terkadang memang semangat baru kita dapat dari
sahabat yang ada. Melihat ke bawah itu sebenarnya perlu untuk menumbuhkan rasa
syukur kita atas karunia Allah. Jika di atas langit masih ada langit maka di
bawah tanah masih ada tanah. .Terimakasih teman, terimaksih sahabat….
Semoga kiranya, cita-cita Rusdi bisa di dengar
Pemerintah yang sudah membuat “UUD Pasal 34 : Orang miskin dan anak-anak
terlantar menjadi tanggungan Negara” bahwa dia ingin tidak ada lagi orang-orang
miskin di Indonesia. Oh..oh..oh..
Jika
hidup kita selalu Bahagia, bagaimana kita dapat lebih mengenal Allah…
Yakin dan
percaya segala ketentuanNya adalah yang TERBAIK untuk kita. Amin…
Oia,
kawan… ada yang berminat berbagi dengan Rusdi dan kawan-kawannya di sana ???’
Saya
tunggu, kita silaturahmi bareng…
Special
thanks.
Teman /
Kakak (hehe) saya yang sudah banyak mengajarkan saya dan pertama kali
beretmu di lapak sampah (hehe tragis ! )
Fikri.
Habibullah Muharram (penulis buku Tuhan, Izinkan Aku Pacaran)
Selasa, 26 Juni 2012
EPILOG "TUHAN, IZINKAN AKU PACARAN"
Fikri
Minta Izin
Menulis buku ini, Tuhan! Izinkan Aku Pacaran, Cinderamata Untuk Kamu Yang
Sedang Jatuh Cinta, dengan berkat perjuangan keras tiada henti,
akhirnya Allah mengabulkan doa saya untuk bisa menyalurkan minta bakat yang
selalu saya redam. Ya. Setidaknya, saya sudah punya gelar ’Penulis’. Karena
yang membuat saya panas ketika masuk toko buku besar adalah buku-buku yang
belum terpajang nama saya di dalamnya.
Alhamdulillah, semula adalah mimpi, lalu sedikit-sedikit saya rangkai dalam
tempo 1.5 bulan menjadi sebuah aksi. Semula adalah upaya saya untuk membuktikan
kepada orangtua bahwa saya, Fikri Habibullah Muharram, akan membuat mereka
tersenyum dengan sebuah karya ini. Sederhana memang. Namun di mata beliau, ini
mempunyai arti yang saya yakin, tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Karena
berupaya menjadi seorang anak yang shaleh itu butuh kerja keras. Dan saya
sendiri masih jauh dari gelar itu. Betapa pengorbanan harus benar-benar
dilakukan untuk Abi dan Ummi. Ya. Merekalah cinta sejati yang tak pernah henti
menemani jalan cinta saya. Merekalah yang sedari saya lahir paling setia
menemani akhlak-akhlak bobrok saya. Tapi Demi Allah, ruangan kertas ini terlalu
murah untuk melukiskan jasa-jasa emas beliau kepada saya. Rabbana ighfir dzunuubahumaa.
Karena Fikri Minta Izin untuk menuliskan buku ini, Tuhan! Izinkan
Aku Pacaran, Karena Aku Mencintainya.
Aduh, sejujurnya, saya sempat minder di depan Abi dan Ummi, karena judul ini
agak menyeleneh. Tapi Alhamdulillah, semoga mereka memahami bahwa saya bukan
lagi anak kecil. Tapi inilah, haa
anaa dzaa. Eh... jadi curhat nih.
Maaf bangat, buat para pembaca, jika judul ini membuat Anda merasa terusik,
atau bahkan tertawa. Ya. Itu karena ada seorang ikhwan yang menjadi sahabat
dekat saya, tak lain dan tak bukan, setiap akhir pembicaraan kita pasti mentog ke
pernikahan. Atau minimal ke akhwat. Ups. Kena deh aib saya. Sekali lagi, semoga
Anda memahami, bahwa buku ini memang arena agar suatu saat saya dapat meneguk
kebahagiaan ini, dalam sebuah cinta Illahi, Abi, Ummi, Isteri, dan Bidadari.
Ya. Memulai dari mimpi yang besar. Star with big dream, begitu kata mujahidin
HPA.
Menulis, itu karena Imam As-Syafi`i menasehatkan kepada kita untuk mengikat
ilmu dengan pena. Maka saya ingin coba merintis kata-kata beliau melalui
menulis dalam episode yang sedang saya jalani. Saat menulis buku ini, sebagian
adalah pengalaman penulis sendiri. Saat menyadari bahwa betapa lemah iman untuk
mudah terlunglai hanya oleh sebias wajah yang sebenarnya mereka pun sama
kurangnya seperti saya. Dari sinilah saya ingin berusaha untuk mencoba dan
memandang sedikit jiwa dan raga ini dengan lensa baru. Semoga, buku yang Anda
pegang ini menjadi manfaat bagi diri saya, khususnya, dan umumnya Anda yang
ingin menikmati masa-masa indah yang basah dengan senarai keharmonian cinta.
Semoga, Anda pembaca memahami betul bahwa saya ini benar-benar masih di bawah
umur sadar untuk memaknai hakikat cinta dari sebuah pernerjemahan maknanya
kepada pernikahan. Ya. Bujang atuh...! Karena judul buku ini sudah saya catat
di buku agenda ketika saya duduk di bangku SMA kelas II, dan akhirnya, melalui
perjuangan saya untuk memperpustakakan buku ini kepada alam, barulah di tahun
kemudian, menjelang saya masuk kuliah, buku ini menjadi biduk bagi saya untuk
menciptakan prestasi, menjadi penulis muda, bahkan sebelum kuliah.
Ini adalah karya pertama saya, dengan harapan dapat memberi keberkahan dan
manfaat bagi siapapun, bak air zam-zam. Karena dasar setting basic buku ini
adalah pesantren
salafi. Semua menjadi unik jika pesantren tampil di tengah-tengah
badai. Mengingat – kata sebagian orang – bahwa pesantren atau yang orang Aceh
menyebutnya dengan dayah,
itu kolot! Hm...! Gak juga sih...!
Afwan, ini bukan soal pantas atau pun tidak pantas. Tetapi, apakah kita akan
terus bergaruk kepala yang tak gatal saat buku-buku rusak dan panas disentuh
oleh pemuda kritis iman? Lalu, kapan kita bergerak dan tampil ke tengah
masyarakat? Di sana ada kerancuan, di sana ada kebocoran, di sana ada
kejanggalan yang disifati ilmiah.
Ilmiah yang tidak berdasarkan kepada Illahiah, alamiah, apalagi
fikriah. Lalu, dimanakah mereka yang ingin bergerak? Dimana cinta mereka? Apa
hanya di ambang kata?
Orang shalih memang banyak, tapi berapa banyak mereka-mereka yang berani tampil
menjamakkan keshalihannya di tengah badai gurun yang melanda? Tapi demi Allah.
Mereka itu mulia. Selama kain sarung itu di gosok, jilbab berderai, mukena
diputihkan, sorban diikatkan, kitab kuning dimainkan, Al-Quran difungsikan, dan
Al-Hadits diuraikan, lalu anggota badan mengamalkan itu semua.
Sejak itu, saya memang benar-benar merasa bahwa saya telah banyak menulis
tentang cinta. Saya pun hampa dalam mengingat, dari mana permulaan ini terbit?
Jika ada Abi dan Ummi di sini, ketika saya menulis buku ini selama di
pesantren, mungkin mereka akan kaget, pesantren
ada jurusan cinta yah? Hehe...
Untuk teman saya di pesantren, kita sama-sama santri dan makan ikan asin selama
di dayah, ada sebuah sembilu yang kita harus akui di sini, bahwa tidak semua
santri bisa memasuki dunia kata-kata menulis. Salafi? bukanlah alasan yang tepat
untuk dijadikan `illat, karena ulama-ulama salaf dahulu pun menulis. Mereka
menulis apa yang Anda baca di atas bale hampir setiap hari. Subhanallah!
Dengan kehadiran buku ini, berarti saya juga telah melepaskan sebuah tantangan
yang – secara pribadi – saya artikan itu sebagai dzimmah yang keluar dari mulut
seorang sahabat saya di Dayah Mudi ; “kalau emang ente penulis, tunjukin dong
ama publik bahwa kita itu penulis. Kan jadi ngalir manfaatnya.” Tuh kan...
bener! Bisa juga diterbitin. Makasih yah atas sokongannya. Meski saya telah
berhijrah di sisi rembulan yang menambat hati. Tapi kita tetap satu.
Tetapi, saya berusaha untuk menahkodai Anda dalam suasana yang berbeda. Maaf,
bukan bermaksud menyaingi, tapi inilah saya yang sedang belajar dan akan terus
belajar. Belajar adalah menutupi kekurangan yang ada, kata guru Matematika saya
sewaktu di SMA, menuju kesempurnaan di kemudian hari agar kita semua mampu
belajar dan mencoba menjadi sempurna dari kesalahan yang ada. Justru bukan
menyalahkan yang salah. Karena orang yang takut salah, dia salah. Orang yang
takut gagal, dia gagal. Orang yang takut mati, pasti mati.
Kita juga mengetahui, bahwa memperkuat pola pikir secara realis dan
meninggalkan dogmatis bagi kelompok santri haruslah melalui sebuah model yang
mampu berdialog di zamannya. Mungkin yang selama ini saya cita-citakan adalah
“ini”.
Sempurna? Sungguh jauh dari itu. Saya pun menyadari akan hal ini. Sejujurnya,
saya telah berusaha menerbitkan buku ini semaksimal mungkin. Dan ini tentunya
tidak akan pernah terlepas dari ketidaksempurnaan dan kekurangan-kekurangan
yang membuat Anda tersenyum kecut tanpa merasa perlu dipandang. Ah, tetapi,
“Ketidakmampuan untuk mencapai kesempurnaan,” kata Abu Bakar As-Shiddiq,
“Itulah kesempurnaan.”
Lalu, saya hanya bisa berharap semoga TIAP bisa menjadi pembangkit saat stamina
menurun. Ke hadapan bentangan sajadah, jalan cinta itu bisa terbuka. Hanya
cinta saya pada Allah yang membuat diri ini harus bersujud syukur atas nikmat
yang tiada pernah terputus setiap detiknya.
***
Akhirnya, saya hanya bisa berdoa semoga ini adalah usaha awal yang baik, serta
berakhir dalam kebaikan pula, asyraqat
bidaayatuhu wa asyraqat nihaayatuhu. Lain dari itu, semoga
embrio-embrio semangat menulis saya dapat dikecup oleh generasi berikutnya.
Ayo... saya tunggu wahai jundi-jundi Allah.
Untukmu wahai Abi (Ust. Drs. Dadi Eddie Kurnia) dan Ummi (Laila Jamilah), tak
hentinya daku selalu mendoakan. Tanpa ridha Abi dan Ummi, mustahil ini bisa ada.
Buat adikku Habib Fadhlizzain, semoga kita bisa menjadi Qurrata A`yun yang
baik. Kalahin Aa yah...!
Tak lupa pula, ta`zhim saya kepada pimpinan Dayah Riyadhul Mubarak (RIMU) Tgk.
Bushairi Yahya beserta Ummi, syukran
jaziila atas suri tauladan yang tak pernah surut berhembus mengisi
relung-relung jiwa kami yang nakal-nakal. Juga kepada guru tercinta saya, Tgk.
Muzakkir yang tak pernah bosan memberikan kami sesuatu yang baru di setiap
episodenya.
Terima kasih kepada Bupati Bireuen Bpk. Nurdin Abdur Rahman atas dorongan
semangat belajar kepada kami semasa di SMA. Jangan berhenti berdakwah dengan
memimpin, sebelum mengijnakkan kaki ke dalam surga. Kepada Pak Camat Samalanga,
Darmawansyah Bsc. Semoga Allah membalas usaha Bapak dengan berlipat ganda.
Tanpa dukungan dari Bapak, buku ini tidak akan ada di tangan para pencari
cinta. Dan yang khusus spesial, untuk rekan Abi saya, Pak Yudi Pramoko yang
telah mengubah jiwa saya dari penulis pasif, menjadi penulis aktif. Syukran
atas metode menulis pram-nya yang luar biasa. Semoga buku ini bisa menjadi awal
bagi karya-karya saya berikutnya. Juga buat Ustadz Nurrahim, syukran atas
semangatnya, semoga FLP Bogor semakin hidup dan di isi oleh penulis-penulis
berbakat dan berghira Islami.
Buat Abuku, Na. H. Djalaluddin, semoga Allah menjadikan umur beliau penuh
dengan barokah Allah. Buat Jaddah (Ummi Aini) dan keluarga, semoga dalam
lindungan Allah di setiap nafas ibadah. Juga keluarga Fikri semua. Tante Niar,
Tante Shalihah, Tante Wita, Tante Lian, Om Mulyo, Om Faisal, Om Mamo, Om Dedi. Allahumma irdha lahum fid
dun-yaa wal aakhirah. Wasqihim birahmatika ya arhamar raahimin.
Salam hormat saya juga kepada semua teman-teman seperjuangan yang selalu
memberikan sokongan kepada saya. Yang teristimewa kepada Akhi Tgk. Tarmizi dan
Manzarul Akhyaar, ingat
yah suara jangkrik tengah malamnya? Kepada seluruh santriwati RIMU
Al-Banat, maaf kalau ngajar Bahasa Arabnya kasar-kasar. Semoga aku bermanfaat
untuk kalian. Tersenyumlah, karena walau pun susah, tapi kita pasti bisa!
Buat
penerbit dan seluruh staff, terima kasih banyak atas jasa dan segala. Semoga
Allah selalu memberikan keberkahan yang tak terhingga. Salam istimewa saya juga
buat Akhi Dendi, doakan saya semoga bisa terus istiqamah di jalan ini. Karena
Elite`s team siap berjalan menghadapi rawa, badai, dan hutan. Untuk Ustadz Amin
Sugiharto, jazaakumullah khairan katsiiran, semoga saya bisa cepat-cepat
menyandang tiga huruf itu, PJS. HPA, Hanya Pada Allah, Harapan Pasti Ada.
Allahu Akbar! Jalan saya masih sangat panjang.
Buat Akhi Deden, Imam, Ricahad, Aini, Amel, Dwi, dan.... Subhanallah, ada
banyak nama, tapi halaman sangat terbatas. Jadi mohon maaf kalau ada yang
namanya tidak tersebut karena faktor halaman. Ntar penerbit protes. Hehe...
Tapi insya Allah, halaman hati saya terbuka untuk mengingat keshalihan yang
telah Antum berikan selama ini pada saya. Akhirnya, hanya kepada Allah kita
menyembah, dan kepada Allah kita memohon pertolongan. Iyyahu na`budu wa iyyaahu
nasta`iin.
Qaddimuu a`maalakum
bidaaril aakhirah
Tajiduu `indahaa
fauzaw wa najaah
fikri habibullah
muharram
Senin, 25 Juni 2012
DITIKAM CINTA
DITIKAM
CINTA
Kita hidup dililit
dengan berbagai interaksi
Yang selalu
disikapi dengan berbagai sangka
Namun siapa yang
tahu bila gesek-gesek interaksi
Ternyata
menimbulkan sebuah percikkan api cinta?
Alangkah
membingungkan berbahasa dengan caranya
Si cinta itu, entah
aku terlalu baik padanya
Membuat aku tidak
jujur pada diriku sendiri
Atau menginsyafi,
bahwa memang aku tak seindah yang aku pikirkan
Inilah bedanya
cinta dan nafsu, kau tahu itu
Dia percaya, karena
dia kita kenal
Sebagai sesama
kawan dan sahabat, tentu saja biasa
Sementara kita
dipercaya, justru karena kita berbicara tak kenal cinta
Yang ada hanya kata
terurai yang sulit ditafsirkan maknanya
Terlalu kecilkah
aku bila mengasingkan diri, atau memang benar matang?
Memilih sikap
dewasa kadang menjebak diriku pada kekanak-kanakan
Dari sinilah raga
dan jiwa setiap kita berontak, mempersulit yang mudah
Kau, perlahan
mendekati diriku, menerima kata-kataku
Aku terfana, entah
karena dilematis cinta yang kurasa atau dramatologi semata
Yang aku bingung
adalah perasaan
Yang dalam diam
menyindir, dalam ramai mencibir
Pernah aku
mengadukan nasib ini kepada Allah
Entah karena
kotornya aku sehingga jawaban Allah tak dapat kubedakan
Dimana Firman
Allah? Dimana bujukan syaithan?
Entah, sungguh aku
tidak tahu
Kita semua sering
ditikam bagaimana dahsyatnya belati cinta
Pernah dilemparkan
badai, luluhlantak dalam nyanyaian tikaman
Dan hatipun
membisik, menjeritlah selagi kau bisa
Lalu berteriak,
menangislah jika itu dianggap penyelesaian
Biruku cintaku, hitamku
hatiku
Jika cinta membuat
diri tidak tenang
Pantaskah ia
disebut cinta?
Jika cinta
membahagiakan, yang aku tahu hari-hari adalah cinta
Terkapar cinta di
sudut pelabuhan yang malas menyambut kapal mimpi
Perihnya hati
ditikam cinta
puisi ini kubuat ketika banyak orang menyuruh aku cepat-cepat menikah!
Jumat, 22 Juni 2012
METODE IJTIHAD IMAM ABI HANIFAH dan IMAM MALIK
A.
PENDAHULUAN
I.
Sumber
Hukum Yang Disepakat Para Ulama (Muttafaq)
Menurut
Abdul Wahab Kallaf, kata adillah as-syar`iyyah (sumber hukum Islam),
bersinonim dengan istilah adillah al-ahkaam, ushuul al-ahkaam, al-mashaadir
at-Tasyrii`iyyah lil ahkaam.[1]
Para
ulama membagi dalil hukum syara` menjadi dua, pertama dalil yang disepakati
(muttafaq), dan dalil yang tidak disepakati (mukhtalaf). Dalil yang disepakati
terdiri dari empat, yaitu Al-Quran, As-Sunnah Al-Muqoddasah, Al-Ijma`, dan
Al-Qiyas. Mereka juga sepakat pada urutan prioritas penggunaannya harus
digunakan secara tartiib, tidak boleh melompat. Konsekuensinya, apabila
terjadi sebuah peristiwa, maka yang harus dilihat sumber hukumnya terlebih
dahulu adalah Al-Quran. Apabila hukum tersebut tidak ditemukan di dalam
Al-Quran, langkah selanjutnya adalah dengan melihat perkataan Rasulullah SAW
dalam hadisnya. Seandainya masih juga tidak ditemukan, maka dilihat hukumnya
dalam Ijma`, jika tidak ditemukan juga, maka berijtihad untuk mendapatkan
hukumnya dengan menggunakan qiyas.[2]
Hal
di atas terinspirasi dari ayat Al-Quran di surat An-Nisa ayat 59 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ
كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ
تَأْوِيلًا (سورة النساء : 59)
Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara
kalian. Kemudian jika kalilan berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah perkara tersebut kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S. An-Nisa : 59)
Dari penjelasan ringkas
ini, jika diurutkan secara tafshili, sumber pengambilan hukum yang
disepakati empat Imam Mazhab (Al-Hanafi, Al-Maliki, As-Syafi`I, dan Hambali)
adalah :
1. Al-Qur`an
2. As-Sunnah
3. Al-Ijma`
4. Al-Qiyaas
2.
Dalil Yang Tidak
Disepakati (Mukhtalaf)
Adapun dalil yang tidak
disepakati (mukhtalaf) menurut Wahbah Az-Zuhaili ada tujuh. Perinciannya adalah
Istihsan
1. Istihsan
2. Mashalihur Mursalah
(Istishlaah)
3. Istishaab (Kembali ke
asal)
4. `Urf (adat istiadat)
5. Mazhab Shohabi
(perkataan para sahabat Rasul)
6. Syar`u Man Qoblanaa
(Syariat sebelum Rasulullah)
7. Saddu Ad-Zari`ah[3]
Akan tetapi menurut
Abdul Wahab Khallaf hanya ada enam, yaitu dengan meniadakan Sadd
Ad-Dzari`ah. Oleh karena itu, menurut Abdul Wahab Khallaf, jumlah
keseluruhan Adillah As-Syar`iyyah ini berjumlah sepuluh macam.[4]
Perlu untuk digaris
bawahi, oleh karena adanya perbedaan sumber hukum di kalangan para mujtahid,
terutama mujtahid yang empat, imbasnya yang terjadi adalah perbedaan fiqih yang
kadangkala berjauhan antara satu mujtahid dengan mujtahid yang lainnya. Namun demikian,
perbedaan-perbedaan ini hanya terjadi dalam masalah-masalah furu`iyyah saja,
tidak dalam konteks masalah aqidah (teologi).
Hal ini sangat senada dengan apa yang diungkapkan Waliyyullah
Ad-Dahlawi dalam kitabnya Al-Inshoof
Fii Bayaanil Asbaabil Ikhtilaaf. Berikut
nuqilannya,
إعلم أن الله تعالى أنشأ
بعد عصر التابعين نشئا من حملة العلم إنجازا لما وعده صلى الله عليه و سلم حيث قال
يحمل هذا العلم من كل خلف عدوله فأخذوا عمن اجتمعوا معه منهم صفة الوضوء والغسل
والصلاة والحج والنكاح والبيوع وسائر ما يكثر وقوعه ورووا حديث النبي صلى الله
عليه و سلم وسمعوا قضايا قضاة البلدان وفتاوى مفتيها وسألوا عن المسائل واجتهدوا
في ذلك كله ثم صاروا كبراء قوم ووسد اليهم الأمر فنسجوا على منوال شيوخهم ولم
يألوا في تتبع الإيماءات والاقتضاءات فقضوا وأفتوا ورووا وعلموا[5]
3.
Penyebab Persoalan
Perbedaan Sekaligus Timbulnya Mazhab Dalam Dunia Fiqih
Untuk point ini,
sebenarnya pernah dibahas pada mata kuliah Pengantar Perbandingan Mazhab
di semester dua. Pada paper ini kami akan coba menguraikan kembali
sedikit permasalahan yang melatar belakangi timbulnya perbedaan sumber-sumber
hukum yang kemudian menyebabkan terjadinya perbedaan hukum furu`iyyah di
kalangan para mujtahid.
Menurut M. Hasan Ali, di antara sebab-sebab pokok terjdinya
ikhtilaf di kalangan para mujtahid adalah sebagai berikut[6]
:
a.
Sebab External
i.
Berbeda Perbendaharaan Hadis dari
masing-masing mujtahid.
Hal ini terjadi sebagaimana kita ketahui, bahwa para sahabat telah
terpencar-pencar ke berbagai penjuru negeri yang banyak mengetahui tentang
hadis Nabi, sukar menemui mereka.
Ada juga kemungkinan lain bahwa sahabat Nabi dapat dijumpai,
tetapi masing-masing sahabat itu tidak sama dalam perbendaharaan hadisnya,
karena pergaulannya dengan Rasulullah ikut menentukan banyak atau sedikitnya hadis
yang diterima.
ii.
Di antara ulama dan ummat Islam, ada yang
kurang memperhatikan situasi pada waktu Nabi bersabda, apakah ucapan beliau itu
berlaku untuk umum atau untuk orang yang tertentu saja. Apakah perintah itu
untuk selama-lamanya atau hanya bersifat sementara.
iii.
Di antara ulama dan ummat Islam ada yang
kurang memperhatikan bagaimana caranya Nabi menjawab suatu pertanyaan atau
menyuruh orang, karena adakalanya jawaban atau suruhan itu tepat untuk
seseorang dan kadang-kadang tidak tepat untuk orang lain.
iv.
Di antara ulama dan ummat Islam ada yang
terpengaruh oleh pendapat-pendapat yang diterima dari pemuka-pemuka dan
ulama-ulama sebelumnya dengan ucapan telah terjadi ijma`, pada
masalah-masalah yang tidak pernah terjadi ijma`. Seperti pendapat Ibnu Hajar yang
mengutip Imam Nawawi dalam perkataannya,
Telah ijma` ummat, bahwa mengangkat tangan ketika takbiiratul
ihroom sunnah hukumnya.
Padahal, Daud dan Ahmad Sayyar dari Ulama Syafi`iyyah membantah
dengan mengatakan hukum mengangkat tangan ketika takbiiratul ihroom adalah
wajib hukumnya, dan menurut Imam Malik tidak disunnatkan.
v.
Ada di antara ulama dan ummat Islam yang
berpandangan terlalu berlebihan terhadap amaliyyah-amaliyyah yang disunnatkan,
sehingga orang awam menganggapnya suatu amaliyah yang wajib dikerjakan.
Sehingga mereka berdosa apabila meninggalkannya.
vi.
Para sahabat yang tinggal berpencar-pencar di
seluruh pelosok negeri, ada yang meriwayatkan hadis berbeda-beda, karena
mungkin lalai atau lupa, sedangkan yang mengingatkan di antara sahabat-sahabat
tidak ada.
Ada juga sahabat yang menerima hadis tertentu, dan tidak diterima
oleh sahabat yang lainnya.
Perbedaan pandangan dalam bidang politik, juga menimbulkan
pendapat yang berbeda dalam menetapkan hukum Islam. Umpamanya Mazhab Khawarij,
Syi`ah, Ahlussunnah, dan Mu`tazilah mempunyai falsafah dan pandangan hidup
masing-masing. Paham yang berbeda itu tidak hanya terbatas pada masalah politik
saja, tetapi lebih jauh berpengaruh pada masalah aqidah, yang saling
mengkafirkan, masalah ubudiah yang saling menyalahkan, dan masalah penetapan
suatu hukum tentang golongan mana yang mengemukakan pendapat itu. Kalau bukan
golongannya mereka akan tolak. Kalau dalam golongannya baru mereka terima. Hal
semacam ini boleh jadi terinspirasi karena sifat ta`asshub (fanatisme)
dalam bermazhab.
b. Sebab Internal
i.
Kedudukan suatu hadis
Karena hadis-hadis yang datang dari Rasulullah itu melewati banyak
jalan, maka terkadang menimbulkan perbedaan antara riwayat yang satu dengan
riwayat yang lainnya. Bahkan bisa jadi berlawanan. Bagi yang mantap hatinya
mempercayai bahwa perawinya tsiqoh dan dhobith, ia akan mengambil
hadisnya. Begitu juga sebaliknya.
ii.
Perbedaan Penggunaan Sumber Hukum
Di sinilah sebab yang paling dominan terjadinya perbedaan mazhab.
Para ulama dalam menetapkan suatu hukum tidak sama antara satu dengan yang
lainnya. Hal ini dilatarbelakangi oleh tidak samanya sumber hukum yang mereka
pakai. Adapun sumber-sumber hukum baik yang muttafaq atau pun mukhtalaf. Kami
telah kemukakan di beberapa halaman yang lalu.
iii.
Perbedaan Pemahaman dan Penafsiran terhadap
ayat dan hadis
B.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan apa yang
telah kami uraikan sebelumnya, maka dalam paper ini kami akan membatasi
masalah yang akan kami bahas. Rumusan-rumusan masalah yang akan kami bahas
adalah :
A. Metode-metode ijtihad
Imam Abu Hanifah
B. Metode-metode ijtihad
Imam Al-Maliki
Setelah mengetahui dua
point ini, pembaca diharapkan
A. Mengetahui sumber hukum
apa saja yang digunakan Imam Abu Hanifah dalam menetapkan suatu hukum.
B. Mengetahui akibat-akibat
yang terjadi dari perbedaan sumber-sumber hukum tersebut.
C. Mengetahui sumber hukum
apa saja yang digunakan Imam Al-Maliki dalam menetapkan suatu hukum.
D. Mengetahui akibat-akibat
yang terjadi dari perbedaan sumber-sumber hukum tersebut.
C. METODE
IJTIHAD YANG DIGUNAKAN IMAM ABU HANIFAH (80-150 H)
1. Biografi
Singkat Imam Abu Hanifah dan Latar Belakang Pendidikannya
Menurut sejarawan, Imam Hanafi adalah
Abu Hanifah bin An-Nukman bin Tsabit bin Zufi At-Tamimi. Beliau masih mempunyai
pertalian kekeluargaan dengan Ali bin Abi Thalib ra. Beliau di lahirkan di
kufah pada tahun 80 H / 699 M, pada masa pemerintahan Al-Qalid bin Abd Malik,
beliau menghabiskan waktu kecil hingga tumbuh menjadi dewasa di sana.
Sejak masih kanak-kanak beliau telah menghafal Al-Quran.
Dalam hal memperdalam pengetahuannya
tentang Al-Quran beliau sempat berguru kepada imam Ashin, seorang ulama
terkenal pada masa itu. Beliau juga di kenal orang yang sangat tekun dalam
mempelajari ilmu, sebagai gambaran, beliau pernah belajar fiqh kepada ulama
yang paling terpandang pada masa itu yakni Humad Abu Sulaiman, tak kurang dari
18 tahun lamanya.
10 tahun sepeninggal gurunya yakni
tahun 130 H, Imam pergi meninggalkan kota kufah menuju Mekkah. Beliau
tinggal beberapa tahun lamanya di sana dan di tempat itu pula beliau
bertemu dengan salah seorang murid Abdullah bin Abbas ra.
Semasa hidupnya, Imam Abu Hanifah di
kenal sebagai seorang yang sangat dalam ilmunya, ahli zuhud, sangat tawaddhu'
dan sangat teguh memegang ajaran agama. beliau tidak tertarik kepada jabatan-jabatan
resmi kenegaraan, bahkan beliau pernah menolak tawaran sebagai hakim (qadhi)
yang di tawarkan oleh Al-Manshur. Konon, karena penolakannya itu, beliau
kemudian di penjarakan hingga akhir hayatnya.
Imam Abu Hanifah wafat pada tahun 150 H
/ 767 M pada usia 70 tahun. Beliau di makamkan di pekuburan khizra. Pada tahun
450 H / 1066 M, didirikanlah sebuah sekolah yang di beri nama Jami' Abu
Hanifah.
Sepeninggal beliau, ajaran dan ilmunya
tetap tersebar melalui murid-muridnya yang cukup banyak. Diantara murid-muridnya
yang terkenal adalah Abu Yusuf, Abdullah bin Mubarak, waki' bin jarah, Ibn
hasan Al-Syaibani, dan yang paling populer adalah Anas bin Malik, yang kelak
mendirikan Mazhab Maliki dll. Sedangkan di antara kitab-kitabnya adalah:
Al-Musu'an (kitab hadits, di kumpulkan oleh muridnya) Al-Makharij (di
riwayatkan oleh Abu Yusuf) dan Fiqh Akbar (kitab fiqh yang lengkap).
Menurut Prof. Dr.
Huzaemah Tahido Yanggo, MA dalam bukunya Pengantar Perbandingan Mazhab menjelaskan,
Abu Hanifah pada mulanya gemar menekuni ilmu qira`at, hadis, nahwu,
sastra, syi`ir, teologi dan ilmu-ilmu lainnya yang berkembang pada masa itu.
Selian mumpuni dalam fiqih, beliau juga sangat kental dengan teologinya,
sehingga ia menjadi salah seorang tokoh terpandang dalam ilmu tersebut. Karena
ketajaman pemikirannya, ia sanggup menangkis serangan segolongan Khawarij yang
doktrin ajarannya sangat ekstrim.[7]
Selanjutnya, Abu Hanifah
menekuni ilmu fiqih di kufah yang pada waktu itu merupakan pusat pertemuan para
ulama fiqih yang cendereung rasional (ahlur ra`yi). Di Iraq sendiri terdapat
sebuah “Universitas” bernama Madrasah Kufah yang dirintis oleh sahabat
Rasulullah yang bernama Ibnu Mas`ud. Kepemimpinan Madrasah Kufah kemudian
beralih kepada Ibrahim An-Nakha`I, lalu Hammad bin Abi Sulaiman Al-Asy`ari
(wafat 120 H). Hammad bin Sulaiman adalah salah seorang Imam besar ketika itu.
Ia muraid dari Alqomah bin Qais dan Al-Qadhi Syuriah; keduanya adalah tokoh dan
pakar fiqih yang terkenal di Kuffah dari kalangan tabi`in. Dari Hammad itulah
Imam Abu Hanifah mempelajari ilmu fiqih dan hadis. Setelah itu ia sempat
mengembara ke Hijjaz beberapa kali untuk mendalami fiqih dan hadisnya sebagai
nilai tambah kualitas keilmuannya. Sepeninggal Hammad, Madrasah Kuffah sepakat
untuk mengangkat Abu Hanifah sebagai “rektor” Madrasah Kuffah. Selama itu ia
mengabdi dan banyak mengeluarkan fatwa dalam masalah fiqih. Fatwa-fatwanya itu
merupakan dasar utama dari pemikiran mazhab Hanafi yang dikenal sekarang ini. [8]
2. Pola Pemikiran,
Metode Istidlal dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Abu Hanifah Dalam
Menetapkan Hukum
Abu Hanifah dikenal
sebagai Ahli Ra`yi dalam menetapkan hukum Islam, baik yang diistimbathkan dari
Al-Quran atau pun hadis. Beliau banyak menggunakan nalar. Beliau mengutamakan ra`yi
ketimbang khabar ahad. Abu Hanifah dalam
berijtihad menetapkan suatu hukum berpegang kepada beberapa dalil syara' yaitu
Al-Qur'an, Sunnah, Ijma' Sahabat, Qiyas, Istihsan, dan 'Urf.
3. Al-Quran, Sumber Hukum Pertama Yang Digunakan
Imam Abu Hanifah
Ada beberapa definisi yang
menjelaskan tentang Al-Quran. Namun kami akan coba mengutip salah satu definisi
tentang Al-Quran sebagaimana yang ditulis Abdul Wahab Khallaf, bahwa Al-Quran
adalah Kalam Allah yang diturunkan oleh Allah kepada nabi Muhammad melalui
malaikat Jibril dengan lafazh berbahasa Arab, dengan makna yang benar sebagai
hujjah bagi Rasul, sebagai pedoman hidup, dianggap ibadah membacanya dan
urutannya dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Naas,
serta dijamin otentisitasnya.[9]
Kami tidak menjelaskan
tentang apa itu Al-Quran secara panjang lebar. Terkait hal ini pernah dibahas
dalam mata kuliah `Uluumul Qur`aan di awal smester. Akan tetapi, melirik
dari definisi yang dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf, setidaknya ada
beberapa maksud yang dapat dipertegas.
Pertama, Lafazh.
Artinya bahwa Al-Quran baik makna dan lafazhnya langsung dari Allah SWT. Maka
apa yang disampaikan Allah melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad dalam
bentuk makna dan dilafazkan oleh Nabi dengan ibaratnya sendiri, bukanlah
disebut Al-Quran, seperti hadis Qudsi. Karenanya tidak ada ulama yang
mengharuskan berwuhdu untuk membaca hadis Qudsi.
Kedua, Berbahasa
Arab. Mengandung arti bahwa menerjemahkan ayat Al-Quran dengan kata-kata yang semakna
(sinonim) atau mengalihbahasakan Al-Quran kepada bahasa-bahasa lain, maka itu
juga bukan disebut Al-Quran. Karena Al-Quran merupakan bahasa Arab khusus yang
diturunkan dari sisi Allah. Maka shalat yang menggunakan Al-Quran tidaklah sah.[10]
Ketiga, diturunkan
kepada Nabi Muhammad. Hal ini, mengandung arti bahwa wahyu Allah yang
disampaikan kepada nabi-nabi terdahulu tidaklah disebut Al-Quran. Tetap apa
yang dihikayatkan oleh Al-Quran tentang kehidupan dan syariat yang berlaku bagi
ummat terdahulu disebut Al-Quruan.
Keempat, dinukilkan
secara mutawatir. Artinya Al-Quran disampaikan secara pasti yang disepakati
kebenaran periwayatannya (qoth`iyyul wurud dan qoth`iyyud dilaalah). Sehingga tidak ada keraguan sedikit pun
terhadap ayat-ayat Al-Quran baik dari segi makna dan turunnya.
Kelima, beribadah
membacanya. Tentunya dengan keikhlasan di dalam membacanya, sekali pun tidak
mengetahui maknanya, tetap akan mendapatkan pahala dari Allah SWT. Insya Allah.
Terkait hal ini, imam Abu
Hanifah sependapat dengan Jumhur ulama lainnya bahwa Al-Qur'an merupakan sumber
hukum Islam. Juga beliau sependapat bahwa Al-Qur'an adalah lafadz dan maknanya.
Sumber ini, seperti yang sudah kami uraikan, adalah sumber yang muttafaq.
Termasuk Imam Abu Hanifah. Namun, Abu Hanifah berbeda pendapat mengenai
terjemah Al-Qur'an ke dalam bahasa selain bahasa Arab. Menurut beliau bahwa
terjemah tersebut juga termasuk Al-Qur'an.
Diantara dalil yang
menunjukkan pendapat Imam Hanafi tersebut adalah dia membolehkan sholat dengan
menggunakan bahasa Persi, sekali pun tidak dalam keadaan darurat. Padahal
menurut Imam Syafi'i sekalipun orang itu bodoh tidak boleh membaca Al-Qur'an dengan
menggunakan bahasa selain Arab dalam sholat.
4. Kehujjahan
Al-Quran
Alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan bahwa Al-Quran merupakan hujjah dan hukum-hukumnya
dijadikan sebagai undang-undang yang harus diikuti dan ditaati oleh manusia
adalah, Al-Quran diturunkan dari Allah SWT, disampaikan kepada manusia dengan
jalan yang pasti dan tidak terdapat keraguan tentang kebenarannya tanpa ada
campur tangan manusia dalam penyusunannya. Hal ini mengandung arti Al-Quran
merupakan mukjizat yang membuat manusia tidak mampu untuk mendatangkan yang
semisalnya (Al-Baqoroh : 2, 22, 23, 24)
5.
As-Sunnah,
Sumber Kedua Yang Digunakan Imam Abu Hanifah
Kalau Imam Hanafi tidak
menemukan ketentuan hukum suatu masalah dalam Al-Qur'an, dia mencarinya dalam
Sunnah. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Hasyr ayat 7;
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ
فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Para ulama sepakat
bahwa hadits shahih itu merupakan sumber hukum, namun mereka berbeda pendapat
dalam menilai keshahihan suatu hadits. Menurut pendapat Imam Hanafi di lihat
dari segi sanad, hadits itu terbagi dalam mutawatir, masyhur dan ahad dan semua
ulama telah menyepakati kehujjahan hadits mutawatir, namun mereka berbeda
pendapat dalam menghukumi hadits ahad, yaitu hadits yang di riwayatkan dari
Rosulullah SAW. oleh seorang, dua orang atau jama'ah, namun tidak mencapai
derajat mutawatir.
Para Imam Madzhab sepakat tentang kebolehan mengamalkan
hadits ahad dengan syarat berikut:
- Perawi sudah mencapai usia baligh
dan berakal
- Perawi harus muslim
- Perawi haruslah orang yang adil,
yakni bertakwa dan menjaga dari perbuatan tercela
- Perawi harus betul-betul dhabit
terhadap yang di riwayatkannya, dengan mendengar dari Rosulullah, memahami
kandungannya, dan benar-benar menghafalnya.
Kemudian Imam Hanafi
menambahkan tiga syarat selain syarat di atas, yaitu:
-
Perbuatan perawi tidak menyalahi riwayatnya itu.
-
Kandungan hadits bukan hal yang sering terjadi.
-
Riwayatnya tidak menyalahi qiyas apabila perawinya tidak
faqih.
Diantara para perawi yang tidak
faqih menurut Imam Abu Hanifah adalah Abu Hurairah, Salman Al-farisi, dan Anas
Ibnu Malik. Secara rinci, kami tidak menjabarkan tentang hadis panjang lebar,
sebagaimana al-Quran sebelumnya. Tentang hal ini pernah dibahas panjang lebar
pada mata kuliah `Ulumul Hadiis di awa; smester.
6. Ijma`
Para Sahabat, Sumber Hukum Ketiga Imam Abu Hanifah
Secara bahasa kata Ijma`
berasal dari bahasa Arab. Yaitu bentuk masdar dari kata
أجمع – يجمع – إجماعا
Ijma` memiliki
beberapa arti, di antaranya ketetapan hati atau keputusan untuk melakukan
sesuatu. Kedua, sepakat. Arti kedua ini sebagaimana yang termaktub dalam firman
Allah SWT pada surat Yusuf ayat 15
فَلَمَّا
ذَهَبُوا بِهِ وَأَجْمَعُوا أَنْ يَجْعَلُوهُ فِي غَيَابَتِ الْجُبِّ …
Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dalam sumur
. . .
Adapun secara
istilahh, sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf
إتفاق جميع المجتهدين من المسلمين في عصر من العصور بعد وفاة الرسول
على حكم شرعي في واقع من الوقائع
Kesepakatan semua imam mujtahid pada suatu masa setelah wafat
Rasul terhadap hukum syara` mengenai suatu kasus.
Dari definisi di
atas, ada beberapa point yang dapat digaris bawahi, antara lain
1.
Semua mujtahid, artinya bahwa ijma` itu harus
disepakati oleh semua mujtahid. Tidak ada di antara mereka yang menolaknya pada
masa tersebut.
2.
Sesudah nabi wafat, artinya pada masa Nabi
masih hidup tidak ada yang namanya ijma`. Karena segala permasalahan hukum
dapat dijawab langsung oleh Nabi Muhammad SAW.
3.
Hukum syara`, artinya kesepakatan itu hanya
terbatas pada hukum amaliah (syara`) dan tidak masuk ke dalam ranah hukum
aqidah.
Para ulama, termasuk
Imam Abu Hanifah telah sepakat bahwa ijma` merupakan salah satu sumber hukum
dalam Islam. Ia menempati urutan ketiga setelah Al-Quran dan As-Sunnah. Tidak
ada ulama yang menolak tentang kesepakatan ijma`. Posisi ijma` sebagai sumber
hukum ini diinspirasi dari surat An-Nisa ayat 59
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي
الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ
وَالرَّسُول . . .
Pada lafazh ulil amri di
atas, mengandung dua pengertian sebagaimana yang ditafsir oleh Ibnu Abbas :
1. Penguasa dunia seperti
raja, presiden, sultan, atau umara.
2. ‘Penguasa agama yaitu
para ulama mujtahid dan ahli fatwa agama.[11]
Kedua macam ulil amri di
atas wajib bagi ummat Islam untuk menaatinya selama mereka tidak bertentangan
dengan hukum Allah. Tidak boleh ada ijmak yang mukhalafah dengan apa
yang ada di dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Terminologi ijma` dikaitkan dengan
ulil amri di atas termasuk kepada point kedua yaitu mujtahid atau ahli fatwa
yang memiliki kedudukan sebagai pemimpin agama. kesepakatan mereka terhadap
hukum suatu masalah itu disebut ijma` yang mengikat bagi ummat Islam
untuk diikuti.
Kedudukan ijma` sebagai
sumber hukum islam didasari oleh hadis Nabi yang mengaskan bahwa pada
hakikatnya ijma` adalah milik ummat Ilam secara keseluruhan. Imam mujtahid
merupakan wakil ummat dalam memutuskan hukum. Tentunya mereka sebagai wakil
ummat tidak mungkin berdusta atau berbuat kesalahan yang disengaja. Maka jika
mereka sudah berkumpul dan memutuskan hukum suatu masalah, maka keputusannya
dianggap abash dan benar. Sebagaimana hadis Nabi Muhammad SAW
ما رأى المسلمون حسنا فهو عند الله
حسن (رواه أحمد)
Apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin, maka hal itu pun baik
di sisi Allah. (H.R Ahmad)
Menurut Abu Zahra
sebagaimana dikutip oleh Satria Effendi, bahwa para ulama berbeda pendapat
tentang jumlah pelaku kesepakatan ijma`itu dapat dianggap sebagai kesepakatan
yang mengikat untuk di ikuti. Menurut
mazhab Maliki, kesepakatan dianggap ijma’ meskipun hanya berupa
kesepakatan penduduk madinah yang dikenal sebagai ijma’ ahli madinah. Menurut
kalangan syiah, ijma’ adalah
kesepaktan para imam di kalangan mereka. Adapun menurut jumhur ulama ijma’ sudah di anggap sah dengan adanya kesepakatan
dari mayoritas ulama mujtahid. Dan menurut Abdul Karim Zaidan, ijma dianggap
terjadi bila merupakan kesepakatan seluruh ulama mujtahid.[12]
7. Qiyas,
Sumber Hukum Keempat Imam Abu Hanifah
Qiyas dalam bahasa lain
dikatakan juga “analogi”. Qiyas berhasla dari bahasa Arab yang merupakan masdar
dari
قاس –
يقيس – قياسا
Yang artinya mengukur
dan membandingkan sesuatu yang semisalnya.
Ada banyak definisi yang
menjelaskan tentang ijma`. Salah satunya seperti yang diutarakan Abu Zahra,
ijma` adalah
إلحاق
أمر غير منصوص على حكمه بأمر آخر منصوص على حكمه لأشتراك بينهما في علة الحكم
Menghubungkan suatu
perkara yang tidak ada hukumnya dalam nash dengan perkara lain yang ada nash
hukumnya karena ada persamaan illat.
Dari definisi di atas
dapat ditarik beberapa point penting tentang qiyas,
-
Ada dua kasus yang mempunyai illat yang
sama.
-
Kasus yang lama telah ada hukumnya
berdasarkan nash. Adapun hukum yang baru belum ada nashnya.
-
Antara hukum yang lama dan hukum yang baru
masing-masing memiliki sebab yang sama.
Jumhur ulama sepakat bahwa qiyas merupakan sumber hukum. Ia berada
pada urutan keempat setelah Al-Quran, Hadis, dan Ijma`. Bagi ulama yang
menjadikan qiyas sebagai sumber hukum atau disebut mutsbitul qiyaas, memiliki
alasan yang kuat baik dari sisi nash maupun akal. Dalam nash al-Quran terdapat
banyak ayat yang menyuruh agar manusia dapat menggunakan akalnya semaksimal
mungkin. Menurut Abu Zahra sendiri tidak kurang dari 50 ayat berbicara agar
manusia mau mengguunakan aklanya[13].
Di antaranya terdapat dalam surat Al-Hasyr ayat 59 yang artinya ambillah
pelajaran wahai orang yang memiliki pandangan (akal).
Qiyas memiliki empat rukun yang tidak boleh dilanggar. Artinya
kalau salah satu dari empat rukun ini tidak ada, maka qiyas tidak boleh
terjadi. Rukun-rukun yang empat tersebut banyak dibicarakan dalam kitab-kitab
ushul fiqih, ialah
1. Al-Ashlu,
sesuatu yang ada nash
hukumnya. Ia disebut juga al-maqiis `alaih (yang dikiaskan kepadanya), mahmul
`alalih (yang dijadikan pertanggungan), dan musyabbah bih (yang
diserupakan dengannya)
2. Al-Furu`,
yaitu : sesuatu yang
tidak ada nash hukumnya. Ia juga dinamakan al-maqiis (yang diqiyaskan), al-mahmuul
(yang dipertanggungjawabkan), dan al-musyabbah (yang diserupakan).
3. Hukum asal, yaitu hukum
syara` yang ada nashnya. Dan ia dimaksudkan untuk menjadi hukum pada al-furu`.
4. Al-`illat,
yaitu suatu sifat yang
dijadikan dasar untuk membentuk hukum pokok, dan berdasarkan adanya keberadaan
sifat itu pada cabang (far`), maka ia disamakan dengan pokoknya dari segi
hukum.
8. Istihsan,
Sumber Hukum Kelima Yang Digunakan Abu Hanifah
Istihsan
meurut bahasa adalah menganggap sesuatu itu baik. Sedangkan menurut
istilah ulama ushulfiqih istihsan ialah : Berpalingnya seorang mujtahid dari
tuntutan qiyas yang jali (nyata) kepada tuntutan qiyas yang khafy
(samar), atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum Istitsnaiy (pengecualian)
karena ada dalil yang menyebabkan dia memilih dan memenangkan perpalingan ini.
Selanjutnya
pada diri mujtahid terdapat dalil yang mengunggulkan segi analisis yang
tersembunyi, lalu ia berpaling aspek analisis yang nyata, maka ini disebut
dengan Istihsan. Demikian pula apabila ada hukum yang pengecualian kasuistis
dari hukum yang bersifat kulli (umum)dan menurut hukum lainya, maka ini juga
menurut syara’ disebut dengan Istihsan.
A.
Macam-macam Istihsan
Dari
penjelasan istihsan menurut syara’ – sebagaimana pemaparan – jelaslah bahwasanya istihsan ada dua macam,
yaitu:
Pertama, pertarjihan qiyas khafy
(yang tersembunyi) atas qiyas jali
(nyata) karena ada suatu dalil. Diantara contoh dari macam yang pertama
Istihsan ialah seorang pewakaf apabila mewakapkan sebidang tanah pertanian,
maka masuk pula secara otomatis hak pengairan (irigasi), hak air minum, hak
lewat ke dalam wakaf, tanpa harus menyebutkanya, berdasarkan istihsan.
Menurut qiyas semuanya itu tidak termasuk
kecuali bila terdapat nash yang mana menyebutkanya sebagaimana jual beli. Segi
istihsan ialah, bahwasanya yang menjadi tujuan dari pada wakaf adalah
pemanfaatan sesuatu yang diwakafkan kepada mereka. Padahal pemanfaatan tanah
pertanian tidak akan ada kecuali dengan meminum airnya, saluran airnya, dan
jalanya. Oleh karena itu, hal- hal tersebut juga termasuk dalam wakaf meskipun
tanpa menyebutkannya. Karena tujuan tersebut tidak akan terealisasi kecuali
dengan hal-hal itu, sebagaimana sewa-menyewa.
Dalam contoh yang diatas tersebut terdapat
pertentangan pada suatu kasus antara dua qiyas, yang pertama qiyas nyata yang
mudah dipahami, dan kedua qiyas yang tersembunyi yang agak rumit untuk
dipahami, namun seorang mujtahid mempunyai dalil yang memenangkan qiyas yang
tersembunyi, kemudian ia
berpaling dari qiyas yang nyata. Perpalingan ini adalah “istihsan”.
Sedangkan dalil yang menjadi dasarnya adalah segi istihsanya.
B.
Kehujjahan Istihsan
Dari definisi istihsan dan penjelasan terhadap
kedua macamnya jelaslah bahwasanya pada hakekatnya istihsan bukanlah sumber
hukum yang berdiri sendiri, karena sesungguhnya hukum istihsan bentuk yang
pertama dari kedua bentuknya berdalilkan qiyas tersembunyi yang mengalahkan
qiyas yang jelas, karena adanya beberapa faktor yang memenangkan dan membuat
tenang hati seorang mujtahid. Itulah
segi istihsan. Sedangkan bentuk yang kedua dari istihsan ialah bahwa dalilnya
adalah maslahat, yang menuntut pengecualian kasuistis dari hukum kulli (umum),
dan ini juga yang disebut dengan segi istihsan.
Mereka yang menggunakan hujjah berupa istihsan,
mereka ini kebanyakan dari Ulama Hanafiyah, maka dalil mereka terhadap
kehujjahanya ialah dengan istihsan merupakan istidlal dengan dasar qiyas yang
nyata, atau ia merupakan pentarjihan suatu qiyas atas qiyas yang kontradiksi
denganya adanya dalil yang menuntut pentarjihan ini, atau ia merupakan istidlal
dengan kemaslahatan mursalah (umum) berdasarkan pengecualian kasuistis dari
hukum kulli (umum). Semuanya ini merupakan istidlal yang shahih.
C.
Kesamaran orang yang
tidak berhujjah dengan istihsan
Sekelompok mujtahid mengingkari terhadap istihsan sebagai
hujjah dan mereka mengangapnya sebagai beristimbath terhadap hukum syara’
berdasarkan hawa nafsu dan seenaknya sendiri. Tokoh utama kelompok ini adalah
Imam As-syafii’. Menurut sebuah riwayat, bahwa ia berkata
مَنْ اِسْتَحْسَنِ فَقَدْ شَرَّعَ
Artinya:
“ Barang siapa yang beristihsan, maka ia
telah membuat syaria’t
Maksudnya orang tersebut telah
memulai hukum syara’ dari dirinya sendiri. Dalam kitab Risalah Ushuliyah, As-
Syafii’ menetapkan:
مَثَلُ مَنْ اِسْتَحْسَن حَكْمًا مِثْلُ مِنِ اتَّجَه
فِي الصَّلاَةِ اِلَي جِهَةٍ
اِسْتَحْسَنَ اَنَّهَا الكَعْبَةُ مِنْ
غَيْرِ اَنْ يَقُوْمَ لَهُ دَلِيْل مِنَ الْاَدِلَّةَ الَّتِى اَقَا مَهَا الشَّارِعُ لِتَعْيِيْنِ الْاِتْجَاَهِ اِلَى الْكَعْبَةِ
.
Artinya
:
Perumpamaan
orang beriatihsan terhadapa hukum adalah seperti orang yang menghadap suatu
arah di dalam shalatnya dimana ia beranggapan baik bahwa arah tersebut adalah
ka’bah, namun tidak ada dalil baginya dari berbagai yang telah dikemukakan oleh
Syari’ untuk menentukan arah kiblat”.
Dan di
dalam kitab tersebut ia juga berkata:
اَلْاِسْتِحْسَانُ تَلَذُّذ. وَلَوْ جَازَ الاخْذُ بِالاِسْتِحْسَانِ فِى
الدّيْنِ جَازَ ذللكَ لِاَهْلِ الْعَقُوْلُ مِنْ خَيْرٍ اَهْلِ العِلْمِ،
وَلَوْجَازَ اَنْ يَشْرِعَ فى الدّين فى كُلّ بَابٍ وَاَنْ يَخْرجَ كُلٌّ اَحَدٍ
لِنَفْسِه شَرْعًا .
Artinya:
Istihsan
adalah mencari enak. Kalau sekiranya berdasarkan istihsan dalam agama itu boleh
juga bagi kaum rasional yang tidak ahki agama, dan niscaya boleh pula
mensyari’atkan agama pada setiap bab, serta boleh pula setip orang mengeluarkan
hukum syara’ untuk dirinya sendiri”.
Menurut Abdul Wahab Khallaf, ia mengatakan bahwasanya
kedua kelompok yang bertentangan pendapat mengenai isthsan tidak sepakat
mengenai pembatasan pengertianya. Orang-orang yang mempergunakan istihsan
sebagai hujjah memaksudkan makna istihsan tidak seperti yang dikehendaki oleh
orang-orang yang tidak menjadikanya sebagai hujjah, kalau sekiranya mereka
sepakat terhadap batasan pengertianya, niscaya mereka tidak akan berbeda
pendapat mengenai menjadikan istihsan sebagai hujjah, karena sesungguhnya
istihsan setelah di tahqiqkan adalah perpindahan dari dalil yang zhahir atau
dari hukum yang kulli(umum) karena ada dalil yang menuntut dalil ini. Jadi ia bukan
semata-mata pembentukan syari’at berdasarkan hawa nafsu.
Setiap hakim terkadang muncul pada akalnya suatu
kemaslahatan yang hakiki dalam berbagai kasus, yang menuntut pemalingan hukum
pada kasus tersebut dari apa yang dituntut oleh zhahir undang-undang. Hal ini
tidak lain adalah bentuk dari pada istihsan.
Yang mempergunakan dalil istihsan, ia tidaklah kembali kepada
semata-mata perasaanya dan kemauanya saja, akan tetapi ia kembali kepada apa
yang telah ia ketahui dari pada tujuanya syari’ secara keseluruhan pada
berbagai contoh hal yang di ajukan, sebagaimana beberapa hal yang menurut
qiyas, hanya saja hal itu akan membawa kepada hilangnya kemaslahatannya dari
satu segi atau dari segi lainya ia bisa mendatangkan kerusakan.
9. `Uruf
(adat), Sumber Hukum Keenam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah
menggunakan `Urf usebagai salah satu metode hukum yang dijadikan sumber dalam
ijtihadnya. `Urf adalah segala sesuatu yang telah dikenal oleh orang banyak dan
telah menjadi tradisi mereka, baik berupa perkataan, atau perbuatan, atau
keadaan meninggalkan. Ia juga disebut adat istiadat. Sedangkan menurut istilah
para ahli syara`, tidak ada perbedaan antara `urf dan kebiasaan. Maka `urf yang
bersifat perbuatan adalah seperti saling pengertian manusia terhadap jual beli,
dengan cara saling memberikan tanpa ada shifhat lafzhiyyah (ungkapan transaksi
melalui perkataan).
`Urf tersebut terbentuk
dari saling pengertian orang banyak, sekalipun mereka berlainan stratifikasi
sosial mereka, yaitu kalangan awam dari masyarakat, dan kelompk elite mereka.
Ini berbeda dengan ijma`, karena sesungguhnya ijma` terbentuk dari kesepakatan
para mujtahid secara khusus, dan orang awam tidak ikut campur tangan dalam
membentuknya.
Uruf terbagi kepada dua
macam, yaitu
a.
`Urf yang shahih
b.
`Urf yang fasid
`Urf yang shahih ialah sesuatu yang dikenal oleh manusia, dan
tidak bertentangna dengan dadlil syara`, tidak menghalalkan sesuatu yang
diharamkan, tidak mengharamkan sesuatu yang dihalalkan, dan tidak pula
membatalkan sesuatu yang wajib, sebagaimana kebiasaan mereka mengadakan akad
jasa pembuatan (produksi), kebiasaaan mereka membagi maskawin kepada maskawin
yang didahulukan (seserahan) jugaa maskawin yang diakhirkan penyerahannya. Tradisi
seperti ini dinamakan `Urf, dan ia dibenarkan dalam Islam karena tidak ada
dalil yang melarangnya, juga tidak ada dalil yang menganjurkan.
Adapun `Urf yang fasid adalah sesuatu yang sudah menjadi tradisi
manusia, akan tetapi tradisi itu bertentangan dengan syara`. Tradisi `urf fasid
yang masyhur di zaman sekarang seperti pacaran sebelum nikah.
Terkait `Urf yang shahih ini, Abdul Wahab Khalaf menjelaskan bahwa
ianya wajib dipelihara dalam pembentukan hukum dan dalam pengadilan. Seorang
mujtahid haruslah jeli dalam memperhatikan tradisi dalam pembentukan hukumnya.
Di dalam pengadilan, seorang hakim pun demikian. Karena sesungguhnya sesuatu
yang telah menjadi adat manusia dan sesuatu yang telah biasa mereka jalani,
maka hal itu telah menjadi bagian dari kebutuhan mereka dan sesuai pula dengan
kemaslahatan mereka. Oleh karena itu, maka sepanjang ia tidak bertentangan
dengan syara`, maka `Urf wajib diperhatikan.
Oleh karena itu, para ulama ushul mengatakan
العادة
شريعة محكمة
Adat merupakan syariat yang dikukkuhkan sebagai hukum.
Sebagai bukti legalitas `urf, Abu Hanifah dan para pengikutnya
berbeda pendapat mengani sejumlah hukum berdasarkan perbedaan `urf mereka. Ketika
tiba di Mesir, Imam as-Syafi`i merubah beberapa pendapatnya ketika masih berada
di Baghdad. Perubahan ini terjadi karena `urf[14].
Inilah yang kita kenal dengan istilah qoul qodiim dan qoul jadiid.
10. Master-Piece Imam Abu Hanifah
Prof. Dr. Huzaemah
Tahido Yanggo yang mengutip Jamil Ahmad dalam bukunya Hundred Great Muslems mengemukakan
bahwa, Abu Hanifah meninggalkan tiga karya besar yaitu
1.
Fiqhul Akbar
2.
Al-`Aalim wal Muta`allim
3.
Musnad Fiqh (majalah ringkas yang sangat
populer)[15]
Menurut Syed Ameer Ali
dalam bukunya The Spirit of Islam, karya-karya Abu Hanifah, baik
mengenai fatwa-fatwanya, maupun ijtihad-ijtihadnya ketika itu (pada masa beliau
masih hidup) belum dikodifikasikan. Setelah beliau meninggal, buah pikirannya
dikodifikasikan oleh murid-murid dan pengikut-pengikutnya sehingga menjadi
mazhab ahlur ra`yi yang hidup dan berkembang sampai sekarang.
D.
METODE IJTIHAD YANG DIGUNAKAN
IMAM MALIK (93-179 H)
1.
Biografi Singkat Imam
Malik
Bernama lengkap Anas bin Malik, imam yang kedua dari imam-imam
empat serangkai dalam Islam dari segi umur. Beliau dilahirkan di kota Madinah,
suatu daerah di negeri Hijaz. Wafatnya bertepatan pada hari Ahad, 10 Rabi`ul
Awwal 179 H/798 M di Madinah pada masa pemerintahan Abbsiyah di bawah kekuasaan
Harun Ar-Rasyid. Nama lengkapnya ialah Abu Abdillah Malik ibn Anas ibn Malik
ibn Abu `Amir ibn Al-Haarits. Beliau adalah keturunan bangsa Arab dusun Dzu
Ashbah, sebuah dusun di kota Himyar, jajahan negeri Yaman. Ibunya bernama
Siti Al-`Aliyyah binti Syuraik ibn Abd. Ada riwayat yang mengatakan bahwa Imam
Malik berada dalam kandungan rahim ibunya selama dua tahun, ada pula yang
mengatakan sampai tiga tahun.
Imam Malik adalah seorang yang berbudi mulia, dengan pikiran yang
cerdas, pemberani dan teguh mempertahankan kebenaran yang diyakininya. Beliau
seorang yang mempunyai sopan santun dan lemah lembut, suka membesuk orang yang sakit, mengasihani orang miskin
dan suka memberi bantuan kepada orang yang membutuhkannya. Beliau juga seorang
yang sangat pendiam, kalau berbicara dipilihnya mana yang perlu dan beguna,
serta menjauhkan diri dari segala macam perbuatan yang tidak bermanfaat. Di
samping itu, beliau juga seorang yang suka bergaul dengan handai taulan,
orang-orang yang mengerti agama terutama pada gurunya, bahkan bergaul dengan
para pejabat pemerintah atau wakil-wakil pemerintahan serta kepala negara.
Beliau tidak pernah melanggar batasan agama.[16]
Imam Malik terdidik di kota Madinah pada masa pemeintahan Khalifah
Sulaiman ibn Abdul Malik dari Bani Umaiyah VII. Pada waktu itu di kota tersebut
hidup beberapa golongan pendukung Islam, antara lain: golongan sahabat Anshar
dan Muhajirin serta para cerndik pandai ahli hukum Islam. Dalam suasana seperti
itulah Imam Malik tumbuh dan mendapat pendidikan dari beberapa guru yang
terkenal. Pelajaran pertama yang diterimanya adalah Al-Quran, yakin bagaimana
cara membaca, memahami makna dan tafsirnya. Dihafalnya Al-Quran itu di uar
kepala. Kemudian ia mempelajari hadis Nabi Muhammad SAW dengan tekun dan giat,
sehingga mendapat julukan sebagai ahli hadis.
Sebagai seorang ahli hadis, beliau sangat menghormati dan
menjunjung tinggi hadis Nabi SAW, sehingga bila hendak memberi pelajaran hadis,
beliau selalu berwudhu terlebih dahulu, kemudian duduk di atas alas dan
sembahyang tawadhu`. Beliau sangat tidak suka memberikan pelajaran hadis
sambil berdiri di tengah jalan atau dengan cara tergesa-gesa. Inilah beberapa
sifat contoh cara beliau memuliakan ilmu, terutama ilmu hadis.
Adapun guru yang pertama dan bergaul lama serta erat adalah Imam Abdurrahman ibn Hurmuz, salah
seorang ulama besar di Madinah. Kemudian beliau belajar fiqih kepada salah
seorang ulama besar kota Madinah yang bernama Rabi`ah Ar-Ra`yi (wafat 136 H).
Selanjutnya Imam Malik belajar ilmu hadis kepada Imam Nafi`, maula Ibnu Umar
(wafat 117 H), juga belajar kepada Imam ibn Syihab Az-Zuhry.
Menurut riwayat yang dinukil Munawwar Cholil, bahwa di antara para
guru Imam Malik yang utama itu tidak kurang dari 700 orang. Di antara sekian
banyak gurunya itu, terdapat 300 orang yang tergolong masuk ke dalam thobaqot
tabi`in.
2.
Al-Quran,
Tentang Al-Quran sebagai sumber hukum, kami telah berusaha
memaparkannya pada metode ijtihad yang digunakan Imam Hanafi.
3.
As-Sunnah, Al-Ijma`, dan
Al-Qiyaas
Sebagaimana yang telah kami ulas sebelumnya bahwa keempat sumber
hukum utama yang tersebut di atas adalah sumber hukum yang muttafaq, maka dalam
hal Imam Malik pun beristidlal dengan empat sumber hukum tersebut, sebagaimana
yang juga dilakukan oleh Imam Abu Hanifah sebelumnya. Ke empat sumber pokok ini
telah kami paparkan, sehingga kami merasa tidak perlu untuk menjelaskan lagi. Hanya
ada beberapa perbedaan terkait interpretasi dari masing-masing pemahaman mereka
terhadap Al-Quran dan As-sunnah. Adapun metode-metode lain yang digunakan Imam
Malik selain dari empat sumber ini adalah
1.
Atsar Ahli Madinah
2.
Mashlahah Al-Mursalah (istishlaah)
3.
Qoul Shohabi (perkataan para sahabat)
4.
Khabar Ahad
5.
Al-Istihsaan
6.
Sadd Ad-Dzara`i
7.
Istishaab
8.
Syar`u Man Qoblanaa
4.
Itsar Ahli Madinah
Ijma` ahli Madinah ini ada dua macam, yaitu ijma` ahlul Madinah
yang asalnya dari An-Naql, hasil dari mencontoh Rasulullah SAW,
bukan dari hasil ijtihad ahlul Madiinah, seperti tentang ukuran kadar mudd,
sho`, dan penentuan suatu tempat, seperti tempat mimbar Nabi Muhammad, atau
tempat dilakukannya amalan-amalan rutin seperti adzan di tempat yang tinggi dan
lain-lain. Ijma` semacam ini dijadikan hujjah oleh Imam Malik.[17]
Menurut Ibnu Taimiyyah, yang dimaksud dengan ijma` ahlul
madiinah tersebut adalah ijma` ahlul madiinah pada masa lampau yang
menyaksikan amalan-amalan yang berasal dari Nabi Muhammad SAW. Sedangkan
amalan-amalan ahli Madinah di kemudian hari, sama sekali tidak dijadikan hujjah
oleh Imam Malik.
Di kalangan mazhab Maliki sendiri, ijma` ahlil Madiinah lebih
diutamakan dari pada khabar Ahad, sebab ijma` ahlil Madiinah merupakan
pemberitaan oleh jama`ah, sedang khabar ahad hanya merupakan pemberitaan
perorangan.
Ijma` Ahlil Madiinah ini ada beberapa tingkatan, yaitu
a.
Kesepakatan ahli Madinah yang sumbernya dari naql.
b.
Amalan ahli Madinah sebelum terbunuhnya
Utsman bin Affan. Sebelum terjadinya peristiwa pembunuhan Saidina Utsman
tersebut, amalan ahli Madinah menjadi hujjah bagi Imam Maliki.
c.
Amalan ahli Madinah itu dijadikan pendukung
atau pentarjih atas dua dalil yang saling bertentangan. Artinya apabila ada dua
dalil yang satu sama lain bertentangan, sedang untuk mentarjih salah satu dari
dua dalil tersebut ada yang merupakan amalan ahli Madinah, maka tarjih itulah
yang dimenangkan menurut Imam Maliki. Hal ini pula yang dilakukan Imam
As-Syafi`i, muridnya.
d.
Amalan ahli Madinah sesudah masa keutamaan
yang menyaksikan amalan Nabi SAW. Ijma` ahlil Madiinah seperti ini bukan
hujjah, baik menurut as-Syafi`i, Ahmad bin Hambal, Abu Hanifah, maupun menurut
para ulama di kalangan mazhab Malik
5.
Mashalahah Al-Mursalah
(Istishlaah)
1)
Pengertian
Maslahah mursalah terdiri dari dua kata yaitu مصلحة dan مُرْسلة . Maslahah artinya baik (lawan dan buruk), manfaat atau terlepas
dari kerusakan. Adapun kata mursalah secara bahasa artinya terlepas dan
bebas. Maksudnya ialah terlepas dan bebas dari keterangan yang menujukan boleh
atau tidaknya sesuatu yang dilakukan. Adapun menurut istilah syara’
sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam al-Ghazali dalam kitabnya musytasyfaya.
مَا لَمْ يَشْهَدْ لَهُ مِنَ الشَّرْعِ بِاالْبُطْلاَنِ وَلاَ
بِاالْاِعْتِبَارِ نَصٌّ مُعَيَّنٌ
Sesuatu
yang tidak ada bukti baginya dari syara’ dalam bentuk nash yang membatalkannya
dan tidak ada pula yang menetapkanaya.
Abdul Wahab Khalaf mendefiniskan maslahah
mursalah adalah “Sesuatu yang di anggap maslahah umum namun tidak ada
ketegasan hukum untuk merealisasikannya dan tidak pula ada dalil tertentu baik
yang mendukung maupun yang menolaknya”.
Dari dua defenisi diatas dapat dipahami
bahwa:
a.
Mashlahah mursalah adalah
sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dalam al-Qur’an maupun hadist.
b.
Mashlahah mursalah adalah
sesuatu yang baik menurut akal. Dengan pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan
dan meghindari keburukan. Sesuatu yang baik menurut akal sehat pada hakikatnya
tidak bertentangan dengan tujuan syara’ secara umum.
2)
Kehujaan Maslahah
Mursalah
Jumhur ulama sepakat bahwa maslahah
mursalahah adalah bukan dalil yang berdiri sendiri. Maslahah mursalah tidak terlepas dari petunjuk syara’. Ulama
tidak akan menggunakan maslahah mursalah dalam menghukumi sesuatu itu
mendatangkan manfaat menurut tinjauan akal dan sejalan dengan tujuan syara’
(mendatangkan keselamatan ), tetapi hal itu bertentangan dengan prinsip nash,
maka ketika itu nash harus didahulukan. Dan ketika itu ada maslahah mursalah tidak dapat digunakan .
Imam Malik dan pengikutnya adalah kelompok yang
secara jelas menggunakan maslahah mursalah sebagai salah satu metode
ijtihadnya. Tetapi Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’I tidak memakainya sebagai
metode ijtihad.
Kelompok yang menggunakan maslahah mursalah sebagai
metode ijtihad tidak begitu menerimanya kecuali maslahah itu memenuhi
syarat yang cukup ketat. Syarat yang besifat umum adalah ketika sesuatu itu
tidak ditemukan hukumnya dalam nash yang sharih. Selain itu, ada syarat-syarat
yang bersifat Khusus yang harus di penuhi yaitu:
a.
Maslahah
mursalah itu bersifat hakiky dan
bukan maslahah yang bersifat perorangan dan bersifat zhan, dapat
diterima oleh akal sehat bahwa hal itu benar-benar mendatangkan manfaat bagi
manusia dan menghindarkan dari madharat secara utuh dan menyeluruh sejalan
dengan tujuan syara’ tidak berbenturan dengan prinsip dalil syara’ yang
telah ada baik dalam al-Qur’an maupun hadist. Contohnya, menjatuhkan talak itu
bagi hakim saja dalam segala keadaan.
b.
Sesuatu yang dianggap maslahah
itu hedaknya bersifat kepentingan umum bukan kepentingan pribadi.
c.
Sesuatu yang dianggap
maslahah itu tidak bertentangan dengan nash al-Qur’an, hadist dan ijma.
3.
Macam-macam Maslahah :
a.
Al-Maslahah
al-mu’tabara’h ialah maslahah yang secara tegas akui oleh
syariat oleh syariat dan telah ditetapkan ketenyuan hukum-hukum untuk
merealisasikan. Contoh: hukumanan untuk peminum khamar demi jaga kelangsungan jiwa dan akal, atau perintah berjihad untuk
memelihara agama dari gempuran musuh.
b.
Al- Malahah al-Mulgah
ialah sesuatu yang dianggap maslahah oleh akal pikiran, tetapi kemudinan
dianggap palsu karena kenyataan bertentangan dengan syariat.
Contoh: Ada yang beranggapan bahwa menyamakan
pembagian warisan antara anak laki-laki dan perempuan adalah sebuah maslahah,
tapi anggapan ini bertentangan dengan syariat yang menegaskan bahwa bagian anak
laki-laki dua kali bagian anak perempuan.
c.
Maslahah Mursalah. Maslahah
ini yang menjadi kajian khusus dalam pembahasan ini sebagaimana telah di
jelaskan diatas. Maslahah mursalah adalah maslahah yang tidak ada
ketentuan hukumnyan baik dalam al-Qur’an maupun hadist dalam bidang muamalat.
Kendati demkian mampu mendatangkan manfaat dan menolak kemudharatan. Contohnya,
peraturan lampu lalu lintas, tidak ada hukumnya dalam al-Qur’an dan hadist
namun peraturan lalu lintas sejalan debgan tujuan hukum syariat yaitu menjaga
jiwa.
6.
Qoul
Shohabi
Yang dimaksud dengan sahabat di sini adalah
sahabat besar, yang pengetahuan mereka terhadap suatu masalah itu didasarkan
pada an-naql. Ini berarti, yang
dimaksudkan dengan fatwa sahabat itu adalah berwujud hadis-hadis yang wajib
diamalkan. Menurut Imam Malik, para sahabat besar tersebut tidak akan memberi
fatwa, kecuali atas dasar apa yang dipahami dari Rasulullah SAW. Namun
demikian, beliau mensyaratkan fatwa sahabat tersebut tidak boleh bertentangan
dengan hadis marfu` yang dapat diamalkan dan fatwa sahabat yang demikian ini
lebih didahulukan dari pada qiyas. Juga adakalanya Imam Malik
menggunakan fatwa tabi`in besar sebagaimana peganngan dalam menentukan hukum.
Fatwa sahabat yang bukan hasil dari ijtihad
sahabat, tidak diperselisihkan oleh para ulama untuk dijadikan hujjah, begitu
pula ijma` sahabat yang masih diperselisihkan di antara para ulama adalah fatwa
sahabat yang semata-mata hasil ijtihad mereka. Di kalangan mutaakkhirin mazhab
Maliki, fatwa sahabat yang semata-mata hasil ijtihad mereka dijadikan sebagai
hujjah.[18]
7.
Khabar
Ahad dan Qiyas
Imam Malik tidak mengakui khabar ahad sebagai
sesuatu yang datang dari Rasulullah, jika kahabar ahad itu bertentangan dengan
sesuatu yang sudah dikenal oleh masyarakat madinah, sekali pun hanya dari hasil
istimbat, kecuali khabar ahad itu dikuatkan oleh dalil-dalil lain yang sifatnya
qoth`i. dalam menggunakan khabar ahad ini, Imam Malik terkadang
inkonsisten. Kadang-kadang ia mendahulukan qiyas dari pada khabar
ahad. Kalau khabar ahad itu tidak dikenal atau tidak populer di kalangan masyarakat
Madinah, maka hal ini dianggap sebagai petunjuk bahwa khabar ahad tersebut
tidak benar berasal dari Rasulullah SAW.
8.
Istihsaan
Dengan digunakannya istihsan dalam mazhab
Maliki, maka di antara imam empat mazhab yang memegang istihsan sebagai sumber
hukum adalah Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Adapun As-Syafi`i dan Ahmad tidak
menggunakan istihsan sebagai sumber hukum. Bahkan as-Syafi`i mendebat keras
siapapun yang menggunakan istihsan sebagai sumber hukum.
9.
Sadd
Ad-Dzara`i
Imam Malik menggunakan Sadd Ad-Dzara`i sebagai
landasan dalam menetapkan hukum. Menurutnya, semua jalan atau sebab yang menuju
kepada yang haram atau terlarang, hukumnya haram atau terlarang. Dan semua
jalan atau seba yang menuju kepada halal, maka hukumnya halal.
10. Istishaab
Imam Malik menjadikan istishaab sebagai landasan
dalam menetapkan hukum. Istishab adalah tetapnya suatu ketentuan hukum untuk
masa sekarang atau yang akan datang, berdasarkan atas ketentuan hukum yang
sudah ada di masa lampau. Jadi sesuatu yang telah diyakini adanya, kemudian
datang keraguan atas hilangnya sesuatu yang telah diyakini sebelumnya, maka
keraguan tersebut tidak dapat merubah status hukum yang lampau. Artinya ia
masih tetap berhukum seperti hukum yang lama. Contohnya seseorang yang sudah
dalam posisi berwudhu, ia dalam keadaan suci. Bahkan diyakini baru saja usai
mendirikan shalat. Kemudian ia ragu apakah terjadi hal-hal yang membatalkan
atau tidak. Dalam kasus ini, berlakukan hukum istishaab yang berarti
mengembalikan kepada asal hukum; yaitu adanya wudhu. Jika asalnya memang tidak
berwudhu, kemudian ia ragu apakah detik ini ia memiliki wudhu atau tidak, maka
hukumnya pun kembali pada yang asal, yaitu tidak ada wudhu. Inilah yang disebut
dengan istishaab.
11. Syar`u Man Qoblanaa
Menurut Abdul Wahab Khallaf, bahwa Imam Malik
menggunakan kaidah syar`u man qoblanaa syar`un lanaa sebagai dasar
hukum. Tetap menurut Sayyid Muhammad Musa, tidak kita temukan secara jelas
pernyataan Imam Malik yang mengatakan demikian.
Menurut Abdul Wahab Khallaf, bahwa apabila
Al-Quran dan As-Sunnah mengisahkan tentang suatu hukum buat ummat sebelum ummat
nabi Muhammad, maka hukum-hukum tersebut berlaku pula buat kita. contoh yang
paling sering kita dengar adalah ayat tentang puasa di surat Al-Baqoroh ayat
183 yang menjelaskan bahwa puasa ternyata telah diwajibkan pula kepada para
ummat terdahulu, sebelum datangnya syariat nabi Muhammad SAW.
Kemudian bila di dalam Al-Quran ada penjelasan
bahwa hukum tersebut telah dinasakh, maka hukum syar`u man qoblanaa tersebut tidaklah berlaku lagi.
Demikianlah pemaparan singkat dari metode-metode
ijtihad yang digunakan oleh Imam Malik.
12. Master-Piece Imam Malik
Di antara karya-karya Imam Malik yang fenomenal
adalah kitab al-Muwattho. Kitab-kitab tersebut ditulis pada tahun 144 H,
atas anjuran khalifah Ja`far al-Manshur. Menurut hasil penelitian yang
dilakukan Abu Bakar Al-Abhary, atsar Rasulullah SAW sahabat dan tabi`in
yang tercantum dalam kitab al-muwattho
berjumlah 1.720. Uniknya, kitab Muwattho yang ditulis Imam Malik ini
telah dihafal Imam As-Syafi`i.
E.
KESIMPULAN
Berdasarkan
apa yang telah kami uraikan sebelumnya, Imam Hanafi berijtihad dengan
menggunakan sumber yaitu
1.
Al-Quran
2.
As-Sunnah
3.
Al-Ijma`
4.
Al-Qiyas
5.
Al-Istihsaan
6.
Al-`Urf
Adapun
sumber hukum yang digunakan Imam Malik terlihat lebih banyak dari apa yang
digunakan Imam Hanafi, yaitu
1.
Al-Quran
2.
As-Sunnah
3.
Al-Ijma`
4.
Al-Qiyas
5.
Al-Istishlaah
6.
Al-Istihsan
7.
Al-`Urf
8.
Khabar Ahad dan Qiyas
9.
Qoul Shohabi
10.
Amal Ahli Madinah
11.
Sadd Ad-Dzari`ah
12.
Istishaab
13.
Syar`u Man Qoblanaa
Menurut
hemat kami, sumber hukum yang digunakan Imam Malik tersebut jika diteliti akan
kembali lagi kepada 10 hukum utama, baik yang muttafaq maupun mukhtalaf
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu
Ushul Fiqih, (Mesir, Maktabah ad-Da`wah al-Islaamiyyah)
2. Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh
Al-Islaami, (Damaskus, Daarul Fikri, 1986)
3. Waliyyullah
Ad-Dahlawi, Al-Inshoof Fii Bayaanil Asbaabil Ikhtilaaf, (Beirut: Daarun
Nafaa-is, 1404 H) Versi Maktabah As-Syamilah
4. Prof.
Dr. Khuzaimah Tahido Yanggo, MA, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Tanggerang
Selatan, Logos Wacana Ilmu, 2003)
5. Drs.
Sapiudin Shidiq, M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta, Prenada Media Group, 2011)
[1]
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Mesir, Maktabah ad-Da`wah
al-Islaamiyyah) hlm. 20
[2] Ibid.hlm.
21
[3]
Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh Al-Islaami, (Damaskus, Daarul Fikri, 1986),
Cet. Ke-1 juz : 1, halaman 417
[4]
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Damaskus, Daarul Fikri, 1999),
Cet ke-2, hlm. 22
[5]
Waliyyullah Ad-Dahlawi, Al-Inshoof Fii Bayaanil Asbaabil Ikhtilaaf, (Beirut:
Daarun Nafaa-is, 1404 H) hlm. 34 Versi Maktabah As-Syamilah
[6] M.
Hasan Ali, Perbandingan Mazhab Fiqih, (Jakarta, Raja Grafindo Persada,
2000), cetakan kedua, hlm. 12
[7]
Prof. Dr. Khuzaimah Tahido Yanggo, MA, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Tanggerang
Selatan, Logos Wacana Ilmu, 2003) Cet ke. 3 hal. 96
[8] Ibid.
hal 97
[9]
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushuul Fiqh, (Mesir: Maktabah Ad-Da`wah
Al-Islamiyyah, tanpa tahun) hlm. 22
[10]
Drs. Sapiudin Shidiq, M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta, Prenada Media Group,
2011), hlm. 27
[11]
Drs. Sapiudin Shidiq, M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta, Prenada Media
Group, 2011), hlm. 63
[12]
Drs. Sapiudin Shidiq, M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta, Prenada Media Group,
2011),hlm, 64
[13]
Dengan tetap mengedepankan nash-nash yang sharih (pemakalah)
[14]
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushuul Fiqh, (Mesir: Maktabah Ad-Da`wah Al-Islamiyyah,
tanpa tahun) hlm. 124
[15]
Prof. Dr. Khuzaimah Tahido Yanggo, MA, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Tanggerang
Selatan, Logos Wacana Ilmu, 2003) Cet ke. 3 hal. 100
[16] Ibid.
hal. 103
[17] Ibid.
106
[18] Ibid.
hal 108
nb : makalah ini pernah saya presentasikan di mata kuliah Metode Perbandingan Mazhab, dan sempat dikoreksi beberapa point oleh dosen. Artinya, masih banyak celah yang dapat dikoreksi kembali.
Langganan:
Postingan (Atom)