A.
PENDAHULUAN
I.
Sumber
Hukum Yang Disepakat Para Ulama (Muttafaq)
Menurut
Abdul Wahab Kallaf, kata adillah as-syar`iyyah (sumber hukum Islam),
bersinonim dengan istilah adillah al-ahkaam, ushuul al-ahkaam, al-mashaadir
at-Tasyrii`iyyah lil ahkaam.[1]
Para
ulama membagi dalil hukum syara` menjadi dua, pertama dalil yang disepakati
(muttafaq), dan dalil yang tidak disepakati (mukhtalaf). Dalil yang disepakati
terdiri dari empat, yaitu Al-Quran, As-Sunnah Al-Muqoddasah, Al-Ijma`, dan
Al-Qiyas. Mereka juga sepakat pada urutan prioritas penggunaannya harus
digunakan secara tartiib, tidak boleh melompat. Konsekuensinya, apabila
terjadi sebuah peristiwa, maka yang harus dilihat sumber hukumnya terlebih
dahulu adalah Al-Quran. Apabila hukum tersebut tidak ditemukan di dalam
Al-Quran, langkah selanjutnya adalah dengan melihat perkataan Rasulullah SAW
dalam hadisnya. Seandainya masih juga tidak ditemukan, maka dilihat hukumnya
dalam Ijma`, jika tidak ditemukan juga, maka berijtihad untuk mendapatkan
hukumnya dengan menggunakan qiyas.[2]
Hal
di atas terinspirasi dari ayat Al-Quran di surat An-Nisa ayat 59 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ
كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ
تَأْوِيلًا (سورة النساء : 59)
Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara
kalian. Kemudian jika kalilan berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah perkara tersebut kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S. An-Nisa : 59)
Dari penjelasan ringkas
ini, jika diurutkan secara tafshili, sumber pengambilan hukum yang
disepakati empat Imam Mazhab (Al-Hanafi, Al-Maliki, As-Syafi`I, dan Hambali)
adalah :
1. Al-Qur`an
2. As-Sunnah
3. Al-Ijma`
4. Al-Qiyaas
2.
Dalil Yang Tidak
Disepakati (Mukhtalaf)
Adapun dalil yang tidak
disepakati (mukhtalaf) menurut Wahbah Az-Zuhaili ada tujuh. Perinciannya adalah
Istihsan
1. Istihsan
2. Mashalihur Mursalah
(Istishlaah)
3. Istishaab (Kembali ke
asal)
4. `Urf (adat istiadat)
5. Mazhab Shohabi
(perkataan para sahabat Rasul)
6. Syar`u Man Qoblanaa
(Syariat sebelum Rasulullah)
7. Saddu Ad-Zari`ah[3]
Akan tetapi menurut
Abdul Wahab Khallaf hanya ada enam, yaitu dengan meniadakan Sadd
Ad-Dzari`ah. Oleh karena itu, menurut Abdul Wahab Khallaf, jumlah
keseluruhan Adillah As-Syar`iyyah ini berjumlah sepuluh macam.[4]
Perlu untuk digaris
bawahi, oleh karena adanya perbedaan sumber hukum di kalangan para mujtahid,
terutama mujtahid yang empat, imbasnya yang terjadi adalah perbedaan fiqih yang
kadangkala berjauhan antara satu mujtahid dengan mujtahid yang lainnya. Namun demikian,
perbedaan-perbedaan ini hanya terjadi dalam masalah-masalah furu`iyyah saja,
tidak dalam konteks masalah aqidah (teologi).
Hal ini sangat senada dengan apa yang diungkapkan Waliyyullah
Ad-Dahlawi dalam kitabnya Al-Inshoof
Fii Bayaanil Asbaabil Ikhtilaaf. Berikut
nuqilannya,
إعلم أن الله تعالى أنشأ
بعد عصر التابعين نشئا من حملة العلم إنجازا لما وعده صلى الله عليه و سلم حيث قال
يحمل هذا العلم من كل خلف عدوله فأخذوا عمن اجتمعوا معه منهم صفة الوضوء والغسل
والصلاة والحج والنكاح والبيوع وسائر ما يكثر وقوعه ورووا حديث النبي صلى الله
عليه و سلم وسمعوا قضايا قضاة البلدان وفتاوى مفتيها وسألوا عن المسائل واجتهدوا
في ذلك كله ثم صاروا كبراء قوم ووسد اليهم الأمر فنسجوا على منوال شيوخهم ولم
يألوا في تتبع الإيماءات والاقتضاءات فقضوا وأفتوا ورووا وعلموا[5]
3.
Penyebab Persoalan
Perbedaan Sekaligus Timbulnya Mazhab Dalam Dunia Fiqih
Untuk point ini,
sebenarnya pernah dibahas pada mata kuliah Pengantar Perbandingan Mazhab
di semester dua. Pada paper ini kami akan coba menguraikan kembali
sedikit permasalahan yang melatar belakangi timbulnya perbedaan sumber-sumber
hukum yang kemudian menyebabkan terjadinya perbedaan hukum furu`iyyah di
kalangan para mujtahid.
Menurut M. Hasan Ali, di antara sebab-sebab pokok terjdinya
ikhtilaf di kalangan para mujtahid adalah sebagai berikut[6]
:
a.
Sebab External
i.
Berbeda Perbendaharaan Hadis dari
masing-masing mujtahid.
Hal ini terjadi sebagaimana kita ketahui, bahwa para sahabat telah
terpencar-pencar ke berbagai penjuru negeri yang banyak mengetahui tentang
hadis Nabi, sukar menemui mereka.
Ada juga kemungkinan lain bahwa sahabat Nabi dapat dijumpai,
tetapi masing-masing sahabat itu tidak sama dalam perbendaharaan hadisnya,
karena pergaulannya dengan Rasulullah ikut menentukan banyak atau sedikitnya hadis
yang diterima.
ii.
Di antara ulama dan ummat Islam, ada yang
kurang memperhatikan situasi pada waktu Nabi bersabda, apakah ucapan beliau itu
berlaku untuk umum atau untuk orang yang tertentu saja. Apakah perintah itu
untuk selama-lamanya atau hanya bersifat sementara.
iii.
Di antara ulama dan ummat Islam ada yang
kurang memperhatikan bagaimana caranya Nabi menjawab suatu pertanyaan atau
menyuruh orang, karena adakalanya jawaban atau suruhan itu tepat untuk
seseorang dan kadang-kadang tidak tepat untuk orang lain.
iv.
Di antara ulama dan ummat Islam ada yang
terpengaruh oleh pendapat-pendapat yang diterima dari pemuka-pemuka dan
ulama-ulama sebelumnya dengan ucapan telah terjadi ijma`, pada
masalah-masalah yang tidak pernah terjadi ijma`. Seperti pendapat Ibnu Hajar yang
mengutip Imam Nawawi dalam perkataannya,
Telah ijma` ummat, bahwa mengangkat tangan ketika takbiiratul
ihroom sunnah hukumnya.
Padahal, Daud dan Ahmad Sayyar dari Ulama Syafi`iyyah membantah
dengan mengatakan hukum mengangkat tangan ketika takbiiratul ihroom adalah
wajib hukumnya, dan menurut Imam Malik tidak disunnatkan.
v.
Ada di antara ulama dan ummat Islam yang
berpandangan terlalu berlebihan terhadap amaliyyah-amaliyyah yang disunnatkan,
sehingga orang awam menganggapnya suatu amaliyah yang wajib dikerjakan.
Sehingga mereka berdosa apabila meninggalkannya.
vi.
Para sahabat yang tinggal berpencar-pencar di
seluruh pelosok negeri, ada yang meriwayatkan hadis berbeda-beda, karena
mungkin lalai atau lupa, sedangkan yang mengingatkan di antara sahabat-sahabat
tidak ada.
Ada juga sahabat yang menerima hadis tertentu, dan tidak diterima
oleh sahabat yang lainnya.
Perbedaan pandangan dalam bidang politik, juga menimbulkan
pendapat yang berbeda dalam menetapkan hukum Islam. Umpamanya Mazhab Khawarij,
Syi`ah, Ahlussunnah, dan Mu`tazilah mempunyai falsafah dan pandangan hidup
masing-masing. Paham yang berbeda itu tidak hanya terbatas pada masalah politik
saja, tetapi lebih jauh berpengaruh pada masalah aqidah, yang saling
mengkafirkan, masalah ubudiah yang saling menyalahkan, dan masalah penetapan
suatu hukum tentang golongan mana yang mengemukakan pendapat itu. Kalau bukan
golongannya mereka akan tolak. Kalau dalam golongannya baru mereka terima. Hal
semacam ini boleh jadi terinspirasi karena sifat ta`asshub (fanatisme)
dalam bermazhab.
b. Sebab Internal
i.
Kedudukan suatu hadis
Karena hadis-hadis yang datang dari Rasulullah itu melewati banyak
jalan, maka terkadang menimbulkan perbedaan antara riwayat yang satu dengan
riwayat yang lainnya. Bahkan bisa jadi berlawanan. Bagi yang mantap hatinya
mempercayai bahwa perawinya tsiqoh dan dhobith, ia akan mengambil
hadisnya. Begitu juga sebaliknya.
ii.
Perbedaan Penggunaan Sumber Hukum
Di sinilah sebab yang paling dominan terjadinya perbedaan mazhab.
Para ulama dalam menetapkan suatu hukum tidak sama antara satu dengan yang
lainnya. Hal ini dilatarbelakangi oleh tidak samanya sumber hukum yang mereka
pakai. Adapun sumber-sumber hukum baik yang muttafaq atau pun mukhtalaf. Kami
telah kemukakan di beberapa halaman yang lalu.
iii.
Perbedaan Pemahaman dan Penafsiran terhadap
ayat dan hadis
B.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan apa yang
telah kami uraikan sebelumnya, maka dalam paper ini kami akan membatasi
masalah yang akan kami bahas. Rumusan-rumusan masalah yang akan kami bahas
adalah :
A. Metode-metode ijtihad
Imam Abu Hanifah
B. Metode-metode ijtihad
Imam Al-Maliki
Setelah mengetahui dua
point ini, pembaca diharapkan
A. Mengetahui sumber hukum
apa saja yang digunakan Imam Abu Hanifah dalam menetapkan suatu hukum.
B. Mengetahui akibat-akibat
yang terjadi dari perbedaan sumber-sumber hukum tersebut.
C. Mengetahui sumber hukum
apa saja yang digunakan Imam Al-Maliki dalam menetapkan suatu hukum.
D. Mengetahui akibat-akibat
yang terjadi dari perbedaan sumber-sumber hukum tersebut.
C. METODE
IJTIHAD YANG DIGUNAKAN IMAM ABU HANIFAH (80-150 H)
1. Biografi
Singkat Imam Abu Hanifah dan Latar Belakang Pendidikannya
Menurut sejarawan, Imam Hanafi adalah
Abu Hanifah bin An-Nukman bin Tsabit bin Zufi At-Tamimi. Beliau masih mempunyai
pertalian kekeluargaan dengan Ali bin Abi Thalib ra. Beliau di lahirkan di
kufah pada tahun 80 H / 699 M, pada masa pemerintahan Al-Qalid bin Abd Malik,
beliau menghabiskan waktu kecil hingga tumbuh menjadi dewasa di sana.
Sejak masih kanak-kanak beliau telah menghafal Al-Quran.
Dalam hal memperdalam pengetahuannya
tentang Al-Quran beliau sempat berguru kepada imam Ashin, seorang ulama
terkenal pada masa itu. Beliau juga di kenal orang yang sangat tekun dalam
mempelajari ilmu, sebagai gambaran, beliau pernah belajar fiqh kepada ulama
yang paling terpandang pada masa itu yakni Humad Abu Sulaiman, tak kurang dari
18 tahun lamanya.
10 tahun sepeninggal gurunya yakni
tahun 130 H, Imam pergi meninggalkan kota kufah menuju Mekkah. Beliau
tinggal beberapa tahun lamanya di sana dan di tempat itu pula beliau
bertemu dengan salah seorang murid Abdullah bin Abbas ra.
Semasa hidupnya, Imam Abu Hanifah di
kenal sebagai seorang yang sangat dalam ilmunya, ahli zuhud, sangat tawaddhu'
dan sangat teguh memegang ajaran agama. beliau tidak tertarik kepada jabatan-jabatan
resmi kenegaraan, bahkan beliau pernah menolak tawaran sebagai hakim (qadhi)
yang di tawarkan oleh Al-Manshur. Konon, karena penolakannya itu, beliau
kemudian di penjarakan hingga akhir hayatnya.
Imam Abu Hanifah wafat pada tahun 150 H
/ 767 M pada usia 70 tahun. Beliau di makamkan di pekuburan khizra. Pada tahun
450 H / 1066 M, didirikanlah sebuah sekolah yang di beri nama Jami' Abu
Hanifah.
Sepeninggal beliau, ajaran dan ilmunya
tetap tersebar melalui murid-muridnya yang cukup banyak. Diantara murid-muridnya
yang terkenal adalah Abu Yusuf, Abdullah bin Mubarak, waki' bin jarah, Ibn
hasan Al-Syaibani, dan yang paling populer adalah Anas bin Malik, yang kelak
mendirikan Mazhab Maliki dll. Sedangkan di antara kitab-kitabnya adalah:
Al-Musu'an (kitab hadits, di kumpulkan oleh muridnya) Al-Makharij (di
riwayatkan oleh Abu Yusuf) dan Fiqh Akbar (kitab fiqh yang lengkap).
Menurut Prof. Dr.
Huzaemah Tahido Yanggo, MA dalam bukunya Pengantar Perbandingan Mazhab menjelaskan,
Abu Hanifah pada mulanya gemar menekuni ilmu qira`at, hadis, nahwu,
sastra, syi`ir, teologi dan ilmu-ilmu lainnya yang berkembang pada masa itu.
Selian mumpuni dalam fiqih, beliau juga sangat kental dengan teologinya,
sehingga ia menjadi salah seorang tokoh terpandang dalam ilmu tersebut. Karena
ketajaman pemikirannya, ia sanggup menangkis serangan segolongan Khawarij yang
doktrin ajarannya sangat ekstrim.[7]
Selanjutnya, Abu Hanifah
menekuni ilmu fiqih di kufah yang pada waktu itu merupakan pusat pertemuan para
ulama fiqih yang cendereung rasional (ahlur ra`yi). Di Iraq sendiri terdapat
sebuah “Universitas” bernama Madrasah Kufah yang dirintis oleh sahabat
Rasulullah yang bernama Ibnu Mas`ud. Kepemimpinan Madrasah Kufah kemudian
beralih kepada Ibrahim An-Nakha`I, lalu Hammad bin Abi Sulaiman Al-Asy`ari
(wafat 120 H). Hammad bin Sulaiman adalah salah seorang Imam besar ketika itu.
Ia muraid dari Alqomah bin Qais dan Al-Qadhi Syuriah; keduanya adalah tokoh dan
pakar fiqih yang terkenal di Kuffah dari kalangan tabi`in. Dari Hammad itulah
Imam Abu Hanifah mempelajari ilmu fiqih dan hadis. Setelah itu ia sempat
mengembara ke Hijjaz beberapa kali untuk mendalami fiqih dan hadisnya sebagai
nilai tambah kualitas keilmuannya. Sepeninggal Hammad, Madrasah Kuffah sepakat
untuk mengangkat Abu Hanifah sebagai “rektor” Madrasah Kuffah. Selama itu ia
mengabdi dan banyak mengeluarkan fatwa dalam masalah fiqih. Fatwa-fatwanya itu
merupakan dasar utama dari pemikiran mazhab Hanafi yang dikenal sekarang ini. [8]
2. Pola Pemikiran,
Metode Istidlal dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Abu Hanifah Dalam
Menetapkan Hukum
Abu Hanifah dikenal
sebagai Ahli Ra`yi dalam menetapkan hukum Islam, baik yang diistimbathkan dari
Al-Quran atau pun hadis. Beliau banyak menggunakan nalar. Beliau mengutamakan ra`yi
ketimbang khabar ahad. Abu Hanifah dalam
berijtihad menetapkan suatu hukum berpegang kepada beberapa dalil syara' yaitu
Al-Qur'an, Sunnah, Ijma' Sahabat, Qiyas, Istihsan, dan 'Urf.
3. Al-Quran, Sumber Hukum Pertama Yang Digunakan
Imam Abu Hanifah
Ada beberapa definisi yang
menjelaskan tentang Al-Quran. Namun kami akan coba mengutip salah satu definisi
tentang Al-Quran sebagaimana yang ditulis Abdul Wahab Khallaf, bahwa Al-Quran
adalah Kalam Allah yang diturunkan oleh Allah kepada nabi Muhammad melalui
malaikat Jibril dengan lafazh berbahasa Arab, dengan makna yang benar sebagai
hujjah bagi Rasul, sebagai pedoman hidup, dianggap ibadah membacanya dan
urutannya dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Naas,
serta dijamin otentisitasnya.[9]
Kami tidak menjelaskan
tentang apa itu Al-Quran secara panjang lebar. Terkait hal ini pernah dibahas
dalam mata kuliah `Uluumul Qur`aan di awal smester. Akan tetapi, melirik
dari definisi yang dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf, setidaknya ada
beberapa maksud yang dapat dipertegas.
Pertama, Lafazh.
Artinya bahwa Al-Quran baik makna dan lafazhnya langsung dari Allah SWT. Maka
apa yang disampaikan Allah melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad dalam
bentuk makna dan dilafazkan oleh Nabi dengan ibaratnya sendiri, bukanlah
disebut Al-Quran, seperti hadis Qudsi. Karenanya tidak ada ulama yang
mengharuskan berwuhdu untuk membaca hadis Qudsi.
Kedua, Berbahasa
Arab. Mengandung arti bahwa menerjemahkan ayat Al-Quran dengan kata-kata yang semakna
(sinonim) atau mengalihbahasakan Al-Quran kepada bahasa-bahasa lain, maka itu
juga bukan disebut Al-Quran. Karena Al-Quran merupakan bahasa Arab khusus yang
diturunkan dari sisi Allah. Maka shalat yang menggunakan Al-Quran tidaklah sah.[10]
Ketiga, diturunkan
kepada Nabi Muhammad. Hal ini, mengandung arti bahwa wahyu Allah yang
disampaikan kepada nabi-nabi terdahulu tidaklah disebut Al-Quran. Tetap apa
yang dihikayatkan oleh Al-Quran tentang kehidupan dan syariat yang berlaku bagi
ummat terdahulu disebut Al-Quruan.
Keempat, dinukilkan
secara mutawatir. Artinya Al-Quran disampaikan secara pasti yang disepakati
kebenaran periwayatannya (qoth`iyyul wurud dan qoth`iyyud dilaalah). Sehingga tidak ada keraguan sedikit pun
terhadap ayat-ayat Al-Quran baik dari segi makna dan turunnya.
Kelima, beribadah
membacanya. Tentunya dengan keikhlasan di dalam membacanya, sekali pun tidak
mengetahui maknanya, tetap akan mendapatkan pahala dari Allah SWT. Insya Allah.
Terkait hal ini, imam Abu
Hanifah sependapat dengan Jumhur ulama lainnya bahwa Al-Qur'an merupakan sumber
hukum Islam. Juga beliau sependapat bahwa Al-Qur'an adalah lafadz dan maknanya.
Sumber ini, seperti yang sudah kami uraikan, adalah sumber yang muttafaq.
Termasuk Imam Abu Hanifah. Namun, Abu Hanifah berbeda pendapat mengenai
terjemah Al-Qur'an ke dalam bahasa selain bahasa Arab. Menurut beliau bahwa
terjemah tersebut juga termasuk Al-Qur'an.
Diantara dalil yang
menunjukkan pendapat Imam Hanafi tersebut adalah dia membolehkan sholat dengan
menggunakan bahasa Persi, sekali pun tidak dalam keadaan darurat. Padahal
menurut Imam Syafi'i sekalipun orang itu bodoh tidak boleh membaca Al-Qur'an dengan
menggunakan bahasa selain Arab dalam sholat.
4. Kehujjahan
Al-Quran
Alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan bahwa Al-Quran merupakan hujjah dan hukum-hukumnya
dijadikan sebagai undang-undang yang harus diikuti dan ditaati oleh manusia
adalah, Al-Quran diturunkan dari Allah SWT, disampaikan kepada manusia dengan
jalan yang pasti dan tidak terdapat keraguan tentang kebenarannya tanpa ada
campur tangan manusia dalam penyusunannya. Hal ini mengandung arti Al-Quran
merupakan mukjizat yang membuat manusia tidak mampu untuk mendatangkan yang
semisalnya (Al-Baqoroh : 2, 22, 23, 24)
5.
As-Sunnah,
Sumber Kedua Yang Digunakan Imam Abu Hanifah
Kalau Imam Hanafi tidak
menemukan ketentuan hukum suatu masalah dalam Al-Qur'an, dia mencarinya dalam
Sunnah. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Hasyr ayat 7;
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ
فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Para ulama sepakat
bahwa hadits shahih itu merupakan sumber hukum, namun mereka berbeda pendapat
dalam menilai keshahihan suatu hadits. Menurut pendapat Imam Hanafi di lihat
dari segi sanad, hadits itu terbagi dalam mutawatir, masyhur dan ahad dan semua
ulama telah menyepakati kehujjahan hadits mutawatir, namun mereka berbeda
pendapat dalam menghukumi hadits ahad, yaitu hadits yang di riwayatkan dari
Rosulullah SAW. oleh seorang, dua orang atau jama'ah, namun tidak mencapai
derajat mutawatir.
Para Imam Madzhab sepakat tentang kebolehan mengamalkan
hadits ahad dengan syarat berikut:
- Perawi sudah mencapai usia baligh
dan berakal
- Perawi harus muslim
- Perawi haruslah orang yang adil,
yakni bertakwa dan menjaga dari perbuatan tercela
- Perawi harus betul-betul dhabit
terhadap yang di riwayatkannya, dengan mendengar dari Rosulullah, memahami
kandungannya, dan benar-benar menghafalnya.
Kemudian Imam Hanafi
menambahkan tiga syarat selain syarat di atas, yaitu:
-
Perbuatan perawi tidak menyalahi riwayatnya itu.
-
Kandungan hadits bukan hal yang sering terjadi.
-
Riwayatnya tidak menyalahi qiyas apabila perawinya tidak
faqih.
Diantara para perawi yang tidak
faqih menurut Imam Abu Hanifah adalah Abu Hurairah, Salman Al-farisi, dan Anas
Ibnu Malik. Secara rinci, kami tidak menjabarkan tentang hadis panjang lebar,
sebagaimana al-Quran sebelumnya. Tentang hal ini pernah dibahas panjang lebar
pada mata kuliah `Ulumul Hadiis di awa; smester.
6. Ijma`
Para Sahabat, Sumber Hukum Ketiga Imam Abu Hanifah
Secara bahasa kata Ijma`
berasal dari bahasa Arab. Yaitu bentuk masdar dari kata
أجمع – يجمع – إجماعا
Ijma` memiliki
beberapa arti, di antaranya ketetapan hati atau keputusan untuk melakukan
sesuatu. Kedua, sepakat. Arti kedua ini sebagaimana yang termaktub dalam firman
Allah SWT pada surat Yusuf ayat 15
فَلَمَّا
ذَهَبُوا بِهِ وَأَجْمَعُوا أَنْ يَجْعَلُوهُ فِي غَيَابَتِ الْجُبِّ …
Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dalam sumur
. . .
Adapun secara
istilahh, sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf
إتفاق جميع المجتهدين من المسلمين في عصر من العصور بعد وفاة الرسول
على حكم شرعي في واقع من الوقائع
Kesepakatan semua imam mujtahid pada suatu masa setelah wafat
Rasul terhadap hukum syara` mengenai suatu kasus.
Dari definisi di
atas, ada beberapa point yang dapat digaris bawahi, antara lain
1.
Semua mujtahid, artinya bahwa ijma` itu harus
disepakati oleh semua mujtahid. Tidak ada di antara mereka yang menolaknya pada
masa tersebut.
2.
Sesudah nabi wafat, artinya pada masa Nabi
masih hidup tidak ada yang namanya ijma`. Karena segala permasalahan hukum
dapat dijawab langsung oleh Nabi Muhammad SAW.
3.
Hukum syara`, artinya kesepakatan itu hanya
terbatas pada hukum amaliah (syara`) dan tidak masuk ke dalam ranah hukum
aqidah.
Para ulama, termasuk
Imam Abu Hanifah telah sepakat bahwa ijma` merupakan salah satu sumber hukum
dalam Islam. Ia menempati urutan ketiga setelah Al-Quran dan As-Sunnah. Tidak
ada ulama yang menolak tentang kesepakatan ijma`. Posisi ijma` sebagai sumber
hukum ini diinspirasi dari surat An-Nisa ayat 59
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي
الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ
وَالرَّسُول . . .
Pada lafazh ulil amri di
atas, mengandung dua pengertian sebagaimana yang ditafsir oleh Ibnu Abbas :
1. Penguasa dunia seperti
raja, presiden, sultan, atau umara.
2. ‘Penguasa agama yaitu
para ulama mujtahid dan ahli fatwa agama.[11]
Kedua macam ulil amri di
atas wajib bagi ummat Islam untuk menaatinya selama mereka tidak bertentangan
dengan hukum Allah. Tidak boleh ada ijmak yang mukhalafah dengan apa
yang ada di dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Terminologi ijma` dikaitkan dengan
ulil amri di atas termasuk kepada point kedua yaitu mujtahid atau ahli fatwa
yang memiliki kedudukan sebagai pemimpin agama. kesepakatan mereka terhadap
hukum suatu masalah itu disebut ijma` yang mengikat bagi ummat Islam
untuk diikuti.
Kedudukan ijma` sebagai
sumber hukum islam didasari oleh hadis Nabi yang mengaskan bahwa pada
hakikatnya ijma` adalah milik ummat Ilam secara keseluruhan. Imam mujtahid
merupakan wakil ummat dalam memutuskan hukum. Tentunya mereka sebagai wakil
ummat tidak mungkin berdusta atau berbuat kesalahan yang disengaja. Maka jika
mereka sudah berkumpul dan memutuskan hukum suatu masalah, maka keputusannya
dianggap abash dan benar. Sebagaimana hadis Nabi Muhammad SAW
ما رأى المسلمون حسنا فهو عند الله
حسن (رواه أحمد)
Apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin, maka hal itu pun baik
di sisi Allah. (H.R Ahmad)
Menurut Abu Zahra
sebagaimana dikutip oleh Satria Effendi, bahwa para ulama berbeda pendapat
tentang jumlah pelaku kesepakatan ijma`itu dapat dianggap sebagai kesepakatan
yang mengikat untuk di ikuti. Menurut
mazhab Maliki, kesepakatan dianggap ijma’ meskipun hanya berupa
kesepakatan penduduk madinah yang dikenal sebagai ijma’ ahli madinah. Menurut
kalangan syiah, ijma’ adalah
kesepaktan para imam di kalangan mereka. Adapun menurut jumhur ulama ijma’ sudah di anggap sah dengan adanya kesepakatan
dari mayoritas ulama mujtahid. Dan menurut Abdul Karim Zaidan, ijma dianggap
terjadi bila merupakan kesepakatan seluruh ulama mujtahid.[12]
7. Qiyas,
Sumber Hukum Keempat Imam Abu Hanifah
Qiyas dalam bahasa lain
dikatakan juga “analogi”. Qiyas berhasla dari bahasa Arab yang merupakan masdar
dari
قاس –
يقيس – قياسا
Yang artinya mengukur
dan membandingkan sesuatu yang semisalnya.
Ada banyak definisi yang
menjelaskan tentang ijma`. Salah satunya seperti yang diutarakan Abu Zahra,
ijma` adalah
إلحاق
أمر غير منصوص على حكمه بأمر آخر منصوص على حكمه لأشتراك بينهما في علة الحكم
Menghubungkan suatu
perkara yang tidak ada hukumnya dalam nash dengan perkara lain yang ada nash
hukumnya karena ada persamaan illat.
Dari definisi di atas
dapat ditarik beberapa point penting tentang qiyas,
-
Ada dua kasus yang mempunyai illat yang
sama.
-
Kasus yang lama telah ada hukumnya
berdasarkan nash. Adapun hukum yang baru belum ada nashnya.
-
Antara hukum yang lama dan hukum yang baru
masing-masing memiliki sebab yang sama.
Jumhur ulama sepakat bahwa qiyas merupakan sumber hukum. Ia berada
pada urutan keempat setelah Al-Quran, Hadis, dan Ijma`. Bagi ulama yang
menjadikan qiyas sebagai sumber hukum atau disebut mutsbitul qiyaas, memiliki
alasan yang kuat baik dari sisi nash maupun akal. Dalam nash al-Quran terdapat
banyak ayat yang menyuruh agar manusia dapat menggunakan akalnya semaksimal
mungkin. Menurut Abu Zahra sendiri tidak kurang dari 50 ayat berbicara agar
manusia mau mengguunakan aklanya[13].
Di antaranya terdapat dalam surat Al-Hasyr ayat 59 yang artinya ambillah
pelajaran wahai orang yang memiliki pandangan (akal).
Qiyas memiliki empat rukun yang tidak boleh dilanggar. Artinya
kalau salah satu dari empat rukun ini tidak ada, maka qiyas tidak boleh
terjadi. Rukun-rukun yang empat tersebut banyak dibicarakan dalam kitab-kitab
ushul fiqih, ialah
1. Al-Ashlu,
sesuatu yang ada nash
hukumnya. Ia disebut juga al-maqiis `alaih (yang dikiaskan kepadanya), mahmul
`alalih (yang dijadikan pertanggungan), dan musyabbah bih (yang
diserupakan dengannya)
2. Al-Furu`,
yaitu : sesuatu yang
tidak ada nash hukumnya. Ia juga dinamakan al-maqiis (yang diqiyaskan), al-mahmuul
(yang dipertanggungjawabkan), dan al-musyabbah (yang diserupakan).
3. Hukum asal, yaitu hukum
syara` yang ada nashnya. Dan ia dimaksudkan untuk menjadi hukum pada al-furu`.
4. Al-`illat,
yaitu suatu sifat yang
dijadikan dasar untuk membentuk hukum pokok, dan berdasarkan adanya keberadaan
sifat itu pada cabang (far`), maka ia disamakan dengan pokoknya dari segi
hukum.
8. Istihsan,
Sumber Hukum Kelima Yang Digunakan Abu Hanifah
Istihsan
meurut bahasa adalah menganggap sesuatu itu baik. Sedangkan menurut
istilah ulama ushulfiqih istihsan ialah : Berpalingnya seorang mujtahid dari
tuntutan qiyas yang jali (nyata) kepada tuntutan qiyas yang khafy
(samar), atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum Istitsnaiy (pengecualian)
karena ada dalil yang menyebabkan dia memilih dan memenangkan perpalingan ini.
Selanjutnya
pada diri mujtahid terdapat dalil yang mengunggulkan segi analisis yang
tersembunyi, lalu ia berpaling aspek analisis yang nyata, maka ini disebut
dengan Istihsan. Demikian pula apabila ada hukum yang pengecualian kasuistis
dari hukum yang bersifat kulli (umum)dan menurut hukum lainya, maka ini juga
menurut syara’ disebut dengan Istihsan.
A.
Macam-macam Istihsan
Dari
penjelasan istihsan menurut syara’ – sebagaimana pemaparan – jelaslah bahwasanya istihsan ada dua macam,
yaitu:
Pertama, pertarjihan qiyas khafy
(yang tersembunyi) atas qiyas jali
(nyata) karena ada suatu dalil. Diantara contoh dari macam yang pertama
Istihsan ialah seorang pewakaf apabila mewakapkan sebidang tanah pertanian,
maka masuk pula secara otomatis hak pengairan (irigasi), hak air minum, hak
lewat ke dalam wakaf, tanpa harus menyebutkanya, berdasarkan istihsan.
Menurut qiyas semuanya itu tidak termasuk
kecuali bila terdapat nash yang mana menyebutkanya sebagaimana jual beli. Segi
istihsan ialah, bahwasanya yang menjadi tujuan dari pada wakaf adalah
pemanfaatan sesuatu yang diwakafkan kepada mereka. Padahal pemanfaatan tanah
pertanian tidak akan ada kecuali dengan meminum airnya, saluran airnya, dan
jalanya. Oleh karena itu, hal- hal tersebut juga termasuk dalam wakaf meskipun
tanpa menyebutkannya. Karena tujuan tersebut tidak akan terealisasi kecuali
dengan hal-hal itu, sebagaimana sewa-menyewa.
Dalam contoh yang diatas tersebut terdapat
pertentangan pada suatu kasus antara dua qiyas, yang pertama qiyas nyata yang
mudah dipahami, dan kedua qiyas yang tersembunyi yang agak rumit untuk
dipahami, namun seorang mujtahid mempunyai dalil yang memenangkan qiyas yang
tersembunyi, kemudian ia
berpaling dari qiyas yang nyata. Perpalingan ini adalah “istihsan”.
Sedangkan dalil yang menjadi dasarnya adalah segi istihsanya.
B.
Kehujjahan Istihsan
Dari definisi istihsan dan penjelasan terhadap
kedua macamnya jelaslah bahwasanya pada hakekatnya istihsan bukanlah sumber
hukum yang berdiri sendiri, karena sesungguhnya hukum istihsan bentuk yang
pertama dari kedua bentuknya berdalilkan qiyas tersembunyi yang mengalahkan
qiyas yang jelas, karena adanya beberapa faktor yang memenangkan dan membuat
tenang hati seorang mujtahid. Itulah
segi istihsan. Sedangkan bentuk yang kedua dari istihsan ialah bahwa dalilnya
adalah maslahat, yang menuntut pengecualian kasuistis dari hukum kulli (umum),
dan ini juga yang disebut dengan segi istihsan.
Mereka yang menggunakan hujjah berupa istihsan,
mereka ini kebanyakan dari Ulama Hanafiyah, maka dalil mereka terhadap
kehujjahanya ialah dengan istihsan merupakan istidlal dengan dasar qiyas yang
nyata, atau ia merupakan pentarjihan suatu qiyas atas qiyas yang kontradiksi
denganya adanya dalil yang menuntut pentarjihan ini, atau ia merupakan istidlal
dengan kemaslahatan mursalah (umum) berdasarkan pengecualian kasuistis dari
hukum kulli (umum). Semuanya ini merupakan istidlal yang shahih.
C.
Kesamaran orang yang
tidak berhujjah dengan istihsan
Sekelompok mujtahid mengingkari terhadap istihsan sebagai
hujjah dan mereka mengangapnya sebagai beristimbath terhadap hukum syara’
berdasarkan hawa nafsu dan seenaknya sendiri. Tokoh utama kelompok ini adalah
Imam As-syafii’. Menurut sebuah riwayat, bahwa ia berkata
مَنْ اِسْتَحْسَنِ فَقَدْ شَرَّعَ
Artinya:
“ Barang siapa yang beristihsan, maka ia
telah membuat syaria’t
Maksudnya orang tersebut telah
memulai hukum syara’ dari dirinya sendiri. Dalam kitab Risalah Ushuliyah, As-
Syafii’ menetapkan:
مَثَلُ مَنْ اِسْتَحْسَن حَكْمًا مِثْلُ مِنِ اتَّجَه
فِي الصَّلاَةِ اِلَي جِهَةٍ
اِسْتَحْسَنَ اَنَّهَا الكَعْبَةُ مِنْ
غَيْرِ اَنْ يَقُوْمَ لَهُ دَلِيْل مِنَ الْاَدِلَّةَ الَّتِى اَقَا مَهَا الشَّارِعُ لِتَعْيِيْنِ الْاِتْجَاَهِ اِلَى الْكَعْبَةِ
.
Artinya
:
Perumpamaan
orang beriatihsan terhadapa hukum adalah seperti orang yang menghadap suatu
arah di dalam shalatnya dimana ia beranggapan baik bahwa arah tersebut adalah
ka’bah, namun tidak ada dalil baginya dari berbagai yang telah dikemukakan oleh
Syari’ untuk menentukan arah kiblat”.
Dan di
dalam kitab tersebut ia juga berkata:
اَلْاِسْتِحْسَانُ تَلَذُّذ. وَلَوْ جَازَ الاخْذُ بِالاِسْتِحْسَانِ فِى
الدّيْنِ جَازَ ذللكَ لِاَهْلِ الْعَقُوْلُ مِنْ خَيْرٍ اَهْلِ العِلْمِ،
وَلَوْجَازَ اَنْ يَشْرِعَ فى الدّين فى كُلّ بَابٍ وَاَنْ يَخْرجَ كُلٌّ اَحَدٍ
لِنَفْسِه شَرْعًا .
Artinya:
Istihsan
adalah mencari enak. Kalau sekiranya berdasarkan istihsan dalam agama itu boleh
juga bagi kaum rasional yang tidak ahki agama, dan niscaya boleh pula
mensyari’atkan agama pada setiap bab, serta boleh pula setip orang mengeluarkan
hukum syara’ untuk dirinya sendiri”.
Menurut Abdul Wahab Khallaf, ia mengatakan bahwasanya
kedua kelompok yang bertentangan pendapat mengenai isthsan tidak sepakat
mengenai pembatasan pengertianya. Orang-orang yang mempergunakan istihsan
sebagai hujjah memaksudkan makna istihsan tidak seperti yang dikehendaki oleh
orang-orang yang tidak menjadikanya sebagai hujjah, kalau sekiranya mereka
sepakat terhadap batasan pengertianya, niscaya mereka tidak akan berbeda
pendapat mengenai menjadikan istihsan sebagai hujjah, karena sesungguhnya
istihsan setelah di tahqiqkan adalah perpindahan dari dalil yang zhahir atau
dari hukum yang kulli(umum) karena ada dalil yang menuntut dalil ini. Jadi ia bukan
semata-mata pembentukan syari’at berdasarkan hawa nafsu.
Setiap hakim terkadang muncul pada akalnya suatu
kemaslahatan yang hakiki dalam berbagai kasus, yang menuntut pemalingan hukum
pada kasus tersebut dari apa yang dituntut oleh zhahir undang-undang. Hal ini
tidak lain adalah bentuk dari pada istihsan.
Yang mempergunakan dalil istihsan, ia tidaklah kembali kepada
semata-mata perasaanya dan kemauanya saja, akan tetapi ia kembali kepada apa
yang telah ia ketahui dari pada tujuanya syari’ secara keseluruhan pada
berbagai contoh hal yang di ajukan, sebagaimana beberapa hal yang menurut
qiyas, hanya saja hal itu akan membawa kepada hilangnya kemaslahatannya dari
satu segi atau dari segi lainya ia bisa mendatangkan kerusakan.
9. `Uruf
(adat), Sumber Hukum Keenam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah
menggunakan `Urf usebagai salah satu metode hukum yang dijadikan sumber dalam
ijtihadnya. `Urf adalah segala sesuatu yang telah dikenal oleh orang banyak dan
telah menjadi tradisi mereka, baik berupa perkataan, atau perbuatan, atau
keadaan meninggalkan. Ia juga disebut adat istiadat. Sedangkan menurut istilah
para ahli syara`, tidak ada perbedaan antara `urf dan kebiasaan. Maka `urf yang
bersifat perbuatan adalah seperti saling pengertian manusia terhadap jual beli,
dengan cara saling memberikan tanpa ada shifhat lafzhiyyah (ungkapan transaksi
melalui perkataan).
`Urf tersebut terbentuk
dari saling pengertian orang banyak, sekalipun mereka berlainan stratifikasi
sosial mereka, yaitu kalangan awam dari masyarakat, dan kelompk elite mereka.
Ini berbeda dengan ijma`, karena sesungguhnya ijma` terbentuk dari kesepakatan
para mujtahid secara khusus, dan orang awam tidak ikut campur tangan dalam
membentuknya.
Uruf terbagi kepada dua
macam, yaitu
a.
`Urf yang shahih
b.
`Urf yang fasid
`Urf yang shahih ialah sesuatu yang dikenal oleh manusia, dan
tidak bertentangna dengan dadlil syara`, tidak menghalalkan sesuatu yang
diharamkan, tidak mengharamkan sesuatu yang dihalalkan, dan tidak pula
membatalkan sesuatu yang wajib, sebagaimana kebiasaan mereka mengadakan akad
jasa pembuatan (produksi), kebiasaaan mereka membagi maskawin kepada maskawin
yang didahulukan (seserahan) jugaa maskawin yang diakhirkan penyerahannya. Tradisi
seperti ini dinamakan `Urf, dan ia dibenarkan dalam Islam karena tidak ada
dalil yang melarangnya, juga tidak ada dalil yang menganjurkan.
Adapun `Urf yang fasid adalah sesuatu yang sudah menjadi tradisi
manusia, akan tetapi tradisi itu bertentangan dengan syara`. Tradisi `urf fasid
yang masyhur di zaman sekarang seperti pacaran sebelum nikah.
Terkait `Urf yang shahih ini, Abdul Wahab Khalaf menjelaskan bahwa
ianya wajib dipelihara dalam pembentukan hukum dan dalam pengadilan. Seorang
mujtahid haruslah jeli dalam memperhatikan tradisi dalam pembentukan hukumnya.
Di dalam pengadilan, seorang hakim pun demikian. Karena sesungguhnya sesuatu
yang telah menjadi adat manusia dan sesuatu yang telah biasa mereka jalani,
maka hal itu telah menjadi bagian dari kebutuhan mereka dan sesuai pula dengan
kemaslahatan mereka. Oleh karena itu, maka sepanjang ia tidak bertentangan
dengan syara`, maka `Urf wajib diperhatikan.
Oleh karena itu, para ulama ushul mengatakan
العادة
شريعة محكمة
Adat merupakan syariat yang dikukkuhkan sebagai hukum.
Sebagai bukti legalitas `urf, Abu Hanifah dan para pengikutnya
berbeda pendapat mengani sejumlah hukum berdasarkan perbedaan `urf mereka. Ketika
tiba di Mesir, Imam as-Syafi`i merubah beberapa pendapatnya ketika masih berada
di Baghdad. Perubahan ini terjadi karena `urf[14].
Inilah yang kita kenal dengan istilah qoul qodiim dan qoul jadiid.
10. Master-Piece Imam Abu Hanifah
Prof. Dr. Huzaemah
Tahido Yanggo yang mengutip Jamil Ahmad dalam bukunya Hundred Great Muslems mengemukakan
bahwa, Abu Hanifah meninggalkan tiga karya besar yaitu
1.
Fiqhul Akbar
2.
Al-`Aalim wal Muta`allim
3.
Musnad Fiqh (majalah ringkas yang sangat
populer)[15]
Menurut Syed Ameer Ali
dalam bukunya The Spirit of Islam, karya-karya Abu Hanifah, baik
mengenai fatwa-fatwanya, maupun ijtihad-ijtihadnya ketika itu (pada masa beliau
masih hidup) belum dikodifikasikan. Setelah beliau meninggal, buah pikirannya
dikodifikasikan oleh murid-murid dan pengikut-pengikutnya sehingga menjadi
mazhab ahlur ra`yi yang hidup dan berkembang sampai sekarang.
D.
METODE IJTIHAD YANG DIGUNAKAN
IMAM MALIK (93-179 H)
1.
Biografi Singkat Imam
Malik
Bernama lengkap Anas bin Malik, imam yang kedua dari imam-imam
empat serangkai dalam Islam dari segi umur. Beliau dilahirkan di kota Madinah,
suatu daerah di negeri Hijaz. Wafatnya bertepatan pada hari Ahad, 10 Rabi`ul
Awwal 179 H/798 M di Madinah pada masa pemerintahan Abbsiyah di bawah kekuasaan
Harun Ar-Rasyid. Nama lengkapnya ialah Abu Abdillah Malik ibn Anas ibn Malik
ibn Abu `Amir ibn Al-Haarits. Beliau adalah keturunan bangsa Arab dusun Dzu
Ashbah, sebuah dusun di kota Himyar, jajahan negeri Yaman. Ibunya bernama
Siti Al-`Aliyyah binti Syuraik ibn Abd. Ada riwayat yang mengatakan bahwa Imam
Malik berada dalam kandungan rahim ibunya selama dua tahun, ada pula yang
mengatakan sampai tiga tahun.
Imam Malik adalah seorang yang berbudi mulia, dengan pikiran yang
cerdas, pemberani dan teguh mempertahankan kebenaran yang diyakininya. Beliau
seorang yang mempunyai sopan santun dan lemah lembut, suka membesuk orang yang sakit, mengasihani orang miskin
dan suka memberi bantuan kepada orang yang membutuhkannya. Beliau juga seorang
yang sangat pendiam, kalau berbicara dipilihnya mana yang perlu dan beguna,
serta menjauhkan diri dari segala macam perbuatan yang tidak bermanfaat. Di
samping itu, beliau juga seorang yang suka bergaul dengan handai taulan,
orang-orang yang mengerti agama terutama pada gurunya, bahkan bergaul dengan
para pejabat pemerintah atau wakil-wakil pemerintahan serta kepala negara.
Beliau tidak pernah melanggar batasan agama.[16]
Imam Malik terdidik di kota Madinah pada masa pemeintahan Khalifah
Sulaiman ibn Abdul Malik dari Bani Umaiyah VII. Pada waktu itu di kota tersebut
hidup beberapa golongan pendukung Islam, antara lain: golongan sahabat Anshar
dan Muhajirin serta para cerndik pandai ahli hukum Islam. Dalam suasana seperti
itulah Imam Malik tumbuh dan mendapat pendidikan dari beberapa guru yang
terkenal. Pelajaran pertama yang diterimanya adalah Al-Quran, yakin bagaimana
cara membaca, memahami makna dan tafsirnya. Dihafalnya Al-Quran itu di uar
kepala. Kemudian ia mempelajari hadis Nabi Muhammad SAW dengan tekun dan giat,
sehingga mendapat julukan sebagai ahli hadis.
Sebagai seorang ahli hadis, beliau sangat menghormati dan
menjunjung tinggi hadis Nabi SAW, sehingga bila hendak memberi pelajaran hadis,
beliau selalu berwudhu terlebih dahulu, kemudian duduk di atas alas dan
sembahyang tawadhu`. Beliau sangat tidak suka memberikan pelajaran hadis
sambil berdiri di tengah jalan atau dengan cara tergesa-gesa. Inilah beberapa
sifat contoh cara beliau memuliakan ilmu, terutama ilmu hadis.
Adapun guru yang pertama dan bergaul lama serta erat adalah Imam Abdurrahman ibn Hurmuz, salah
seorang ulama besar di Madinah. Kemudian beliau belajar fiqih kepada salah
seorang ulama besar kota Madinah yang bernama Rabi`ah Ar-Ra`yi (wafat 136 H).
Selanjutnya Imam Malik belajar ilmu hadis kepada Imam Nafi`, maula Ibnu Umar
(wafat 117 H), juga belajar kepada Imam ibn Syihab Az-Zuhry.
Menurut riwayat yang dinukil Munawwar Cholil, bahwa di antara para
guru Imam Malik yang utama itu tidak kurang dari 700 orang. Di antara sekian
banyak gurunya itu, terdapat 300 orang yang tergolong masuk ke dalam thobaqot
tabi`in.
2.
Al-Quran,
Tentang Al-Quran sebagai sumber hukum, kami telah berusaha
memaparkannya pada metode ijtihad yang digunakan Imam Hanafi.
3.
As-Sunnah, Al-Ijma`, dan
Al-Qiyaas
Sebagaimana yang telah kami ulas sebelumnya bahwa keempat sumber
hukum utama yang tersebut di atas adalah sumber hukum yang muttafaq, maka dalam
hal Imam Malik pun beristidlal dengan empat sumber hukum tersebut, sebagaimana
yang juga dilakukan oleh Imam Abu Hanifah sebelumnya. Ke empat sumber pokok ini
telah kami paparkan, sehingga kami merasa tidak perlu untuk menjelaskan lagi. Hanya
ada beberapa perbedaan terkait interpretasi dari masing-masing pemahaman mereka
terhadap Al-Quran dan As-sunnah. Adapun metode-metode lain yang digunakan Imam
Malik selain dari empat sumber ini adalah
1.
Atsar Ahli Madinah
2.
Mashlahah Al-Mursalah (istishlaah)
3.
Qoul Shohabi (perkataan para sahabat)
4.
Khabar Ahad
5.
Al-Istihsaan
6.
Sadd Ad-Dzara`i
7.
Istishaab
8.
Syar`u Man Qoblanaa
4.
Itsar Ahli Madinah
Ijma` ahli Madinah ini ada dua macam, yaitu ijma` ahlul Madinah
yang asalnya dari An-Naql, hasil dari mencontoh Rasulullah SAW,
bukan dari hasil ijtihad ahlul Madiinah, seperti tentang ukuran kadar mudd,
sho`, dan penentuan suatu tempat, seperti tempat mimbar Nabi Muhammad, atau
tempat dilakukannya amalan-amalan rutin seperti adzan di tempat yang tinggi dan
lain-lain. Ijma` semacam ini dijadikan hujjah oleh Imam Malik.[17]
Menurut Ibnu Taimiyyah, yang dimaksud dengan ijma` ahlul
madiinah tersebut adalah ijma` ahlul madiinah pada masa lampau yang
menyaksikan amalan-amalan yang berasal dari Nabi Muhammad SAW. Sedangkan
amalan-amalan ahli Madinah di kemudian hari, sama sekali tidak dijadikan hujjah
oleh Imam Malik.
Di kalangan mazhab Maliki sendiri, ijma` ahlil Madiinah lebih
diutamakan dari pada khabar Ahad, sebab ijma` ahlil Madiinah merupakan
pemberitaan oleh jama`ah, sedang khabar ahad hanya merupakan pemberitaan
perorangan.
Ijma` Ahlil Madiinah ini ada beberapa tingkatan, yaitu
a.
Kesepakatan ahli Madinah yang sumbernya dari naql.
b.
Amalan ahli Madinah sebelum terbunuhnya
Utsman bin Affan. Sebelum terjadinya peristiwa pembunuhan Saidina Utsman
tersebut, amalan ahli Madinah menjadi hujjah bagi Imam Maliki.
c.
Amalan ahli Madinah itu dijadikan pendukung
atau pentarjih atas dua dalil yang saling bertentangan. Artinya apabila ada dua
dalil yang satu sama lain bertentangan, sedang untuk mentarjih salah satu dari
dua dalil tersebut ada yang merupakan amalan ahli Madinah, maka tarjih itulah
yang dimenangkan menurut Imam Maliki. Hal ini pula yang dilakukan Imam
As-Syafi`i, muridnya.
d.
Amalan ahli Madinah sesudah masa keutamaan
yang menyaksikan amalan Nabi SAW. Ijma` ahlil Madiinah seperti ini bukan
hujjah, baik menurut as-Syafi`i, Ahmad bin Hambal, Abu Hanifah, maupun menurut
para ulama di kalangan mazhab Malik
5.
Mashalahah Al-Mursalah
(Istishlaah)
1)
Pengertian
Maslahah mursalah terdiri dari dua kata yaitu مصلحة dan مُرْسلة . Maslahah artinya baik (lawan dan buruk), manfaat atau terlepas
dari kerusakan. Adapun kata mursalah secara bahasa artinya terlepas dan
bebas. Maksudnya ialah terlepas dan bebas dari keterangan yang menujukan boleh
atau tidaknya sesuatu yang dilakukan. Adapun menurut istilah syara’
sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam al-Ghazali dalam kitabnya musytasyfaya.
مَا لَمْ يَشْهَدْ لَهُ مِنَ الشَّرْعِ بِاالْبُطْلاَنِ وَلاَ
بِاالْاِعْتِبَارِ نَصٌّ مُعَيَّنٌ
Sesuatu
yang tidak ada bukti baginya dari syara’ dalam bentuk nash yang membatalkannya
dan tidak ada pula yang menetapkanaya.
Abdul Wahab Khalaf mendefiniskan maslahah
mursalah adalah “Sesuatu yang di anggap maslahah umum namun tidak ada
ketegasan hukum untuk merealisasikannya dan tidak pula ada dalil tertentu baik
yang mendukung maupun yang menolaknya”.
Dari dua defenisi diatas dapat dipahami
bahwa:
a.
Mashlahah mursalah adalah
sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dalam al-Qur’an maupun hadist.
b.
Mashlahah mursalah adalah
sesuatu yang baik menurut akal. Dengan pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan
dan meghindari keburukan. Sesuatu yang baik menurut akal sehat pada hakikatnya
tidak bertentangan dengan tujuan syara’ secara umum.
2)
Kehujaan Maslahah
Mursalah
Jumhur ulama sepakat bahwa maslahah
mursalahah adalah bukan dalil yang berdiri sendiri. Maslahah mursalah tidak terlepas dari petunjuk syara’. Ulama
tidak akan menggunakan maslahah mursalah dalam menghukumi sesuatu itu
mendatangkan manfaat menurut tinjauan akal dan sejalan dengan tujuan syara’
(mendatangkan keselamatan ), tetapi hal itu bertentangan dengan prinsip nash,
maka ketika itu nash harus didahulukan. Dan ketika itu ada maslahah mursalah tidak dapat digunakan .
Imam Malik dan pengikutnya adalah kelompok yang
secara jelas menggunakan maslahah mursalah sebagai salah satu metode
ijtihadnya. Tetapi Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’I tidak memakainya sebagai
metode ijtihad.
Kelompok yang menggunakan maslahah mursalah sebagai
metode ijtihad tidak begitu menerimanya kecuali maslahah itu memenuhi
syarat yang cukup ketat. Syarat yang besifat umum adalah ketika sesuatu itu
tidak ditemukan hukumnya dalam nash yang sharih. Selain itu, ada syarat-syarat
yang bersifat Khusus yang harus di penuhi yaitu:
a.
Maslahah
mursalah itu bersifat hakiky dan
bukan maslahah yang bersifat perorangan dan bersifat zhan, dapat
diterima oleh akal sehat bahwa hal itu benar-benar mendatangkan manfaat bagi
manusia dan menghindarkan dari madharat secara utuh dan menyeluruh sejalan
dengan tujuan syara’ tidak berbenturan dengan prinsip dalil syara’ yang
telah ada baik dalam al-Qur’an maupun hadist. Contohnya, menjatuhkan talak itu
bagi hakim saja dalam segala keadaan.
b.
Sesuatu yang dianggap maslahah
itu hedaknya bersifat kepentingan umum bukan kepentingan pribadi.
c.
Sesuatu yang dianggap
maslahah itu tidak bertentangan dengan nash al-Qur’an, hadist dan ijma.
3.
Macam-macam Maslahah :
a.
Al-Maslahah
al-mu’tabara’h ialah maslahah yang secara tegas akui oleh
syariat oleh syariat dan telah ditetapkan ketenyuan hukum-hukum untuk
merealisasikan. Contoh: hukumanan untuk peminum khamar demi jaga kelangsungan jiwa dan akal, atau perintah berjihad untuk
memelihara agama dari gempuran musuh.
b.
Al- Malahah al-Mulgah
ialah sesuatu yang dianggap maslahah oleh akal pikiran, tetapi kemudinan
dianggap palsu karena kenyataan bertentangan dengan syariat.
Contoh: Ada yang beranggapan bahwa menyamakan
pembagian warisan antara anak laki-laki dan perempuan adalah sebuah maslahah,
tapi anggapan ini bertentangan dengan syariat yang menegaskan bahwa bagian anak
laki-laki dua kali bagian anak perempuan.
c.
Maslahah Mursalah. Maslahah
ini yang menjadi kajian khusus dalam pembahasan ini sebagaimana telah di
jelaskan diatas. Maslahah mursalah adalah maslahah yang tidak ada
ketentuan hukumnyan baik dalam al-Qur’an maupun hadist dalam bidang muamalat.
Kendati demkian mampu mendatangkan manfaat dan menolak kemudharatan. Contohnya,
peraturan lampu lalu lintas, tidak ada hukumnya dalam al-Qur’an dan hadist
namun peraturan lalu lintas sejalan debgan tujuan hukum syariat yaitu menjaga
jiwa.
6.
Qoul
Shohabi
Yang dimaksud dengan sahabat di sini adalah
sahabat besar, yang pengetahuan mereka terhadap suatu masalah itu didasarkan
pada an-naql. Ini berarti, yang
dimaksudkan dengan fatwa sahabat itu adalah berwujud hadis-hadis yang wajib
diamalkan. Menurut Imam Malik, para sahabat besar tersebut tidak akan memberi
fatwa, kecuali atas dasar apa yang dipahami dari Rasulullah SAW. Namun
demikian, beliau mensyaratkan fatwa sahabat tersebut tidak boleh bertentangan
dengan hadis marfu` yang dapat diamalkan dan fatwa sahabat yang demikian ini
lebih didahulukan dari pada qiyas. Juga adakalanya Imam Malik
menggunakan fatwa tabi`in besar sebagaimana peganngan dalam menentukan hukum.
Fatwa sahabat yang bukan hasil dari ijtihad
sahabat, tidak diperselisihkan oleh para ulama untuk dijadikan hujjah, begitu
pula ijma` sahabat yang masih diperselisihkan di antara para ulama adalah fatwa
sahabat yang semata-mata hasil ijtihad mereka. Di kalangan mutaakkhirin mazhab
Maliki, fatwa sahabat yang semata-mata hasil ijtihad mereka dijadikan sebagai
hujjah.[18]
7.
Khabar
Ahad dan Qiyas
Imam Malik tidak mengakui khabar ahad sebagai
sesuatu yang datang dari Rasulullah, jika kahabar ahad itu bertentangan dengan
sesuatu yang sudah dikenal oleh masyarakat madinah, sekali pun hanya dari hasil
istimbat, kecuali khabar ahad itu dikuatkan oleh dalil-dalil lain yang sifatnya
qoth`i. dalam menggunakan khabar ahad ini, Imam Malik terkadang
inkonsisten. Kadang-kadang ia mendahulukan qiyas dari pada khabar
ahad. Kalau khabar ahad itu tidak dikenal atau tidak populer di kalangan masyarakat
Madinah, maka hal ini dianggap sebagai petunjuk bahwa khabar ahad tersebut
tidak benar berasal dari Rasulullah SAW.
8.
Istihsaan
Dengan digunakannya istihsan dalam mazhab
Maliki, maka di antara imam empat mazhab yang memegang istihsan sebagai sumber
hukum adalah Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Adapun As-Syafi`i dan Ahmad tidak
menggunakan istihsan sebagai sumber hukum. Bahkan as-Syafi`i mendebat keras
siapapun yang menggunakan istihsan sebagai sumber hukum.
9.
Sadd
Ad-Dzara`i
Imam Malik menggunakan Sadd Ad-Dzara`i sebagai
landasan dalam menetapkan hukum. Menurutnya, semua jalan atau sebab yang menuju
kepada yang haram atau terlarang, hukumnya haram atau terlarang. Dan semua
jalan atau seba yang menuju kepada halal, maka hukumnya halal.
10. Istishaab
Imam Malik menjadikan istishaab sebagai landasan
dalam menetapkan hukum. Istishab adalah tetapnya suatu ketentuan hukum untuk
masa sekarang atau yang akan datang, berdasarkan atas ketentuan hukum yang
sudah ada di masa lampau. Jadi sesuatu yang telah diyakini adanya, kemudian
datang keraguan atas hilangnya sesuatu yang telah diyakini sebelumnya, maka
keraguan tersebut tidak dapat merubah status hukum yang lampau. Artinya ia
masih tetap berhukum seperti hukum yang lama. Contohnya seseorang yang sudah
dalam posisi berwudhu, ia dalam keadaan suci. Bahkan diyakini baru saja usai
mendirikan shalat. Kemudian ia ragu apakah terjadi hal-hal yang membatalkan
atau tidak. Dalam kasus ini, berlakukan hukum istishaab yang berarti
mengembalikan kepada asal hukum; yaitu adanya wudhu. Jika asalnya memang tidak
berwudhu, kemudian ia ragu apakah detik ini ia memiliki wudhu atau tidak, maka
hukumnya pun kembali pada yang asal, yaitu tidak ada wudhu. Inilah yang disebut
dengan istishaab.
11. Syar`u Man Qoblanaa
Menurut Abdul Wahab Khallaf, bahwa Imam Malik
menggunakan kaidah syar`u man qoblanaa syar`un lanaa sebagai dasar
hukum. Tetap menurut Sayyid Muhammad Musa, tidak kita temukan secara jelas
pernyataan Imam Malik yang mengatakan demikian.
Menurut Abdul Wahab Khallaf, bahwa apabila
Al-Quran dan As-Sunnah mengisahkan tentang suatu hukum buat ummat sebelum ummat
nabi Muhammad, maka hukum-hukum tersebut berlaku pula buat kita. contoh yang
paling sering kita dengar adalah ayat tentang puasa di surat Al-Baqoroh ayat
183 yang menjelaskan bahwa puasa ternyata telah diwajibkan pula kepada para
ummat terdahulu, sebelum datangnya syariat nabi Muhammad SAW.
Kemudian bila di dalam Al-Quran ada penjelasan
bahwa hukum tersebut telah dinasakh, maka hukum syar`u man qoblanaa tersebut tidaklah berlaku lagi.
Demikianlah pemaparan singkat dari metode-metode
ijtihad yang digunakan oleh Imam Malik.
12. Master-Piece Imam Malik
Di antara karya-karya Imam Malik yang fenomenal
adalah kitab al-Muwattho. Kitab-kitab tersebut ditulis pada tahun 144 H,
atas anjuran khalifah Ja`far al-Manshur. Menurut hasil penelitian yang
dilakukan Abu Bakar Al-Abhary, atsar Rasulullah SAW sahabat dan tabi`in
yang tercantum dalam kitab al-muwattho
berjumlah 1.720. Uniknya, kitab Muwattho yang ditulis Imam Malik ini
telah dihafal Imam As-Syafi`i.
E.
KESIMPULAN
Berdasarkan
apa yang telah kami uraikan sebelumnya, Imam Hanafi berijtihad dengan
menggunakan sumber yaitu
1.
Al-Quran
2.
As-Sunnah
3.
Al-Ijma`
4.
Al-Qiyas
5.
Al-Istihsaan
6.
Al-`Urf
Adapun
sumber hukum yang digunakan Imam Malik terlihat lebih banyak dari apa yang
digunakan Imam Hanafi, yaitu
1.
Al-Quran
2.
As-Sunnah
3.
Al-Ijma`
4.
Al-Qiyas
5.
Al-Istishlaah
6.
Al-Istihsan
7.
Al-`Urf
8.
Khabar Ahad dan Qiyas
9.
Qoul Shohabi
10.
Amal Ahli Madinah
11.
Sadd Ad-Dzari`ah
12.
Istishaab
13.
Syar`u Man Qoblanaa
Menurut
hemat kami, sumber hukum yang digunakan Imam Malik tersebut jika diteliti akan
kembali lagi kepada 10 hukum utama, baik yang muttafaq maupun mukhtalaf
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu
Ushul Fiqih, (Mesir, Maktabah ad-Da`wah al-Islaamiyyah)
2. Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh
Al-Islaami, (Damaskus, Daarul Fikri, 1986)
3. Waliyyullah
Ad-Dahlawi, Al-Inshoof Fii Bayaanil Asbaabil Ikhtilaaf, (Beirut: Daarun
Nafaa-is, 1404 H) Versi Maktabah As-Syamilah
4. Prof.
Dr. Khuzaimah Tahido Yanggo, MA, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Tanggerang
Selatan, Logos Wacana Ilmu, 2003)
5. Drs.
Sapiudin Shidiq, M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta, Prenada Media Group, 2011)
[1]
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Mesir, Maktabah ad-Da`wah
al-Islaamiyyah) hlm. 20
[2] Ibid.hlm.
21
[3]
Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh Al-Islaami, (Damaskus, Daarul Fikri, 1986),
Cet. Ke-1 juz : 1, halaman 417
[4]
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Damaskus, Daarul Fikri, 1999),
Cet ke-2, hlm. 22
[5]
Waliyyullah Ad-Dahlawi, Al-Inshoof Fii Bayaanil Asbaabil Ikhtilaaf, (Beirut:
Daarun Nafaa-is, 1404 H) hlm. 34 Versi Maktabah As-Syamilah
[6] M.
Hasan Ali, Perbandingan Mazhab Fiqih, (Jakarta, Raja Grafindo Persada,
2000), cetakan kedua, hlm. 12
[7]
Prof. Dr. Khuzaimah Tahido Yanggo, MA, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Tanggerang
Selatan, Logos Wacana Ilmu, 2003) Cet ke. 3 hal. 96
[8] Ibid.
hal 97
[9]
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushuul Fiqh, (Mesir: Maktabah Ad-Da`wah
Al-Islamiyyah, tanpa tahun) hlm. 22
[10]
Drs. Sapiudin Shidiq, M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta, Prenada Media Group,
2011), hlm. 27
[11]
Drs. Sapiudin Shidiq, M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta, Prenada Media
Group, 2011), hlm. 63
[12]
Drs. Sapiudin Shidiq, M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta, Prenada Media Group,
2011),hlm, 64
[13]
Dengan tetap mengedepankan nash-nash yang sharih (pemakalah)
[14]
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushuul Fiqh, (Mesir: Maktabah Ad-Da`wah Al-Islamiyyah,
tanpa tahun) hlm. 124
[15]
Prof. Dr. Khuzaimah Tahido Yanggo, MA, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Tanggerang
Selatan, Logos Wacana Ilmu, 2003) Cet ke. 3 hal. 100
[16] Ibid.
hal. 103
[17] Ibid.
106
[18] Ibid.
hal 108
nb : makalah ini pernah saya presentasikan di mata kuliah Metode Perbandingan Mazhab, dan sempat dikoreksi beberapa point oleh dosen. Artinya, masih banyak celah yang dapat dikoreksi kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar