Pengertian
Iddah
Dalam Bahasa Arab, iddah di
ambil dari kata-kata al-`adad (العدد) yang berarti bilangan. Hal ini karena
ketika berbicara tentang iddah, biasanya akan berbicara tentang
bilangan-bilangan kurun waktu seperti bulan, tahun, dan lain-lain.
Imam Zainuddin Al-Malibari dalam
kitabnya, Fathul Mu`in memberikan definisi iddah menurut syarah sebagai
berikut :
مدة تتربص فيها المرأة لمعرفة براءة رحمها من
الحمل أو للتعبد
Jangka waktu dimana seorang perempuan menahan diri (menunggu) agar
dapat diketahui rahimnya itu bebas dari hamil atau karena alasan ta`abbud.[1]
Dari definisi di atas dapat ditarik beberapa
point :
1.
Iddah
akan terjadi karena sebab terputusnya nikah seorang wanita dengan suaminya,
baik karena sebab wafat suaminya, atau karena ditalaq (cerai).
2.
Berbicara
tentang iddah secara tidak langung akan berbicara pula tentang bilangan masa (muddah)
yang akan menentukan berapa lama seorang perempuan akan menahan diri (tarabbuhs)
sejak terputusnya nikah sampai masa iddahnya selesai
3.
Tujuan
iddah yang dapat diterima dengan akal (ta`qqul) adalah untuk memastikan
bahwa dalam rahim si wanita yang telah berpisah dengan suaminya itu bersih dari
kehamilan. Sebab, seandainya tidak ada iddah, bisa jadi ketika si wanita itu
langsung menikah dengan lelaki lain, akan sulit dibedakan anak dari suami mana
yang akan kelak dilahirkan. Permasalahan ini otomatis akan sambung-menyambung
tentang hak waris.
4.
Alasan
lain karena ta`abbud. Ta`abbud adalah lawan dari ta`aqqul, dimana sebuah
hukum apabila tidak ditemukan alasan yang logis menurut akal, maka sebagai
hamba kita tetap wajib melaksanakan hukum iddah tersebut karena semata-mata
taat kepada Allah.
Dalil dan Hukum Iddah
Seluruh kaum muslimin sepakat atas wajibnya `iddah, pada
sebagian landasan pokoknya diambil dari Al-Quran dan Sunnah Rasul, setelah itu
ijma` para ulama. Yang diambil dari kitabullah terdapat dalam surat Al-Baqoroh
ayat 228:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ
إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ
بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي
عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ
حَكِيمٌ
Dan para isteri yang
diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru`. Tidak boleh
bagi mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahim mereka, jika
mereka beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan para suami mereka lebih berhak kembali
kepda mereka dalam (masa) itu, jika mereka menghendaki perbaikan. Dan mereka
(para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
patut. Tetapi para suami, mempunyai kelebihan atas mereka. Dan Allah
Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (Al-Baqoroh : 228)
Adapun dalil dari Sunnah Rasulullah
yang mewajibkan seorang wanita untuk ber-iddah adalah
حَدَّثَنِى
زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا سَيَّارٌ وَحُصَيْنٌ
وَمُغِيرَةُ وَأَشْعَثُ وَمُجَالِدٌ وَإِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِى خَالِدٍ وَدَاوُدُ
كُلُّهُمْ عَنِ الشَّعْبِىِّ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ
فَسَأَلْتُهَا عَنْ قَضَاءِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَلَيْهَا
فَقَالَتْ طَلَّقَهَا زَوْجُهَا الْبَتَّةَ. فَقَالَتْ فَخَاصَمْتُهُ إِلَى
رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى السُّكْنَى وَالنَّفَقَةِ - قَالَتْ -
فَلَمْ يَجْعَلْ لِى سُكْنَى وَلاَ نَفَقَةً وَأَمَرَنِى أَنْ أَعْتَدَّ فِى
بَيْتِ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ.
Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb telah menceritakan
kepada kami Husyaim telah mengabarkan kepada kami Sayyar, Hushain, Mughirah,
Asy'ats, Mujalid, Isma'il bin Abi Khalid, dan Daud, semuanya dari Asy Sya'bi
dia berkata; Saya pernah menemui Fathimah binti Qais untuk menanyakan tentang
keputusan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam atas dirinya. Dia menjawab;
Dulu suamiku pernah menceraikanku dengan talak tiga. Dia melanjutkan; Kemudian
saya mengadukannya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengenai
tempat tinggal dan nafkah. Dia melanjutkan; Namun beliau tidak menjadikan
tempat tinggal untukku dan tidak juga nafkah, bahkan beliau menyuruhku menunggu
masa iddah di rumah Abdullah bin Ummi Maktum." Dan telah menceritakan
kepada kami Yahya bin Yahya telah mengabarkan kepada kami Husyaim dari Hushain,
Daud, Mughirah, Isma'il, dan Asya'asy dari Asy Sya'bi bahwa dia berkata; Saya
pernah menemui Fathimah binti Qais. Seperti hadits Zuhair dari 'Ashi (H.R
Muslim no. 3778)
Dua dalil di atas
menunjukkan bahwa iddah bagi seorang perempuan hukumnya wajib. Artinya ia akan
berdosa apabila tidak mengazamkan diri untuk melaksanakan iddah seperti
langsung menikah dengan lelaki ajnabi lain sebelum masa iddahnya selesai.
Pembagian Iddah
Dr. Musthafa Diibul Bigha dalam bukunya Fiqih Syafi`i yang menukil
dari matan At-Tahziib membagi klasifikasi seorang wanita yang menjalani `iddah
kepada beberapa macam[2].
1.
Iddah
wanita yang ditinggal mati suaminya.
2.
Iddah
wanita yang tidak ditinggal mati oleh suaminya/talaq.
3.
Iddah
wanita amah (budak wanita).
4.
Iddah
wanita yang melakukan hubungan seksual
secara syubhat (watho syubhat).
5.
Iddah
wanita yang berzina.
Dari empat pembagian ini akan terbagi lagi kepada masing-masing
bagiannya, yang mana satu dari setiap bagian tersebut memiliki penjelasan
masing-masing.
Iddah Wanita Yang Wafat Suaminya
A.
Iddah Wanita Yang Wafat Suaminya dan Tidak Dalam Masa Kehamilan
Seorang wanita yang ditinggal suaminya karena sebab wafat, ia harus
menunggu masa iddahnya selama empat bulan sepuluh hari. Masa empat bulan
sepuluh hari ini dengan catatan ia tidak dalam keadaan hamil. Baik dia itu
wanita yang dewasa atau pun anak kecil (shabiyyah), dalam usia menopause
atau tidak, sudah dicampur atau belum. Hal ini didasari oleh firman Allah SWT
yang berbunyi :
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ
أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ
بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Dan orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri, (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya
(ber-iddah) selama empat bulan sepuluh hari. (Q.S Al-Baqoroh : 234)
Seluruh
imam mazhab sepakat bahwa masa iddah empat bulan sepuluh hari ini berlaku
apabila rahim si wanita yang ditinggal mati suaminya benar-benar bersih dari
hamil. Apabila dalam masa empat bulan sepuluh hari ternyata si wanita tersebut
hamil, maka iddahnya berubah kepada hukum iddah wanita wafat suaminya sedang ia
dalam keadaan hamil.
a.
Iddah Wanita Yang Suaminya Wafat Sedang Ia Dalam
Keadaan Hamil
Adapun wanita yang ditinggal wafat suaminya sedang ia
dalam keadaan hamil, maka masa tunggu iddahnya adalah sampai ia melahirkan. Hal
ini didasari pada firman Allah SWT
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka
itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. (Q.S At-Thalaq : 4)
Umpamanya
setelah satu bulan berpisah dengan suaminya ternyata si wanita tersebut
melahirkan, maka masa iddahnya selama satu bulan. Masa iddah akan selesai
setelah ia melahirkan kandungannya.
Dalam
kitab `Umdatul Ahkaam dijelaskan bahwa hamil yang berpisah dengan suaminya
diperbolehkan untuk menikah lagi, meskipun masa nifasnya belum selesai. Namun
suami yang barunya tiak boleh mencampurinya hingga wanita tersebut suci dari darah
nifasnya.[3]
o Wanita hamil yang berpisah dengan
suaminya, diperbolehkan untuk menikah lagi, setelah dia melahirkan, meskipun
masa nifasnya belum selesai. Namun suami yang barunya tidak boleh mencampurinya
hingga wanita tersebut suci dari darah nifasnya. [Lihat Umdatul Ahkaam Kitab Ath-Thalaq bab 'Iddah (no.
325) dan Terj. Subulus Salam (III/108-109)]
Iddah Wanita Yang Tidak Wafat Suaminya
A.
Iddah Wanita Yang Hamil
Seperti hukum iddah wanita yang ditinggal wafat oleh
suaminya, seorang wanita yang tidak ditinggal wafatnya apabila ia dalam keadaan
hamil, maka iddahnya sampai dengan melahirkan. Hal ini didasari oleh keumuman
firman Allah dalam surat At-Thalaq ayat empat sebagaimana yang telah disebutkan
sebelumnya. Dalam ayat tersebut tidak dibeda-bedakan antara wanita yang iddah
karena bercerai atau pun wafat suaminya. Kedua-duanya sama, batas iddahnya
sampai dengan melahirkan.
B.
Iddah Wanita Dithalaq Suaminya Dalam Tidak Keadaan
Hamil
Seorang wanita yang dithalaq suaminya sedangkan ia
tidak dalam keadaan haidh maka masa iddahnya adalah tiga quru. Hukum ini
diambil dari Kitaabullah yang ayatnya sebagai berikut :
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
Wanita-wanita yang ditalaq hendaklah menahan diri
(menunggu) selama tiga quru. (Q.S. Al-Baqoroh : 228)
Seorang
wanita yang dithalaq suaminya dalam keadaan tidak hamil, maka masa tunggu
`iddahnya selama tiga quru, sebagaiamana yang tertulis dalam ayat di
atas. Terkait jumlah berapakah lamanya tiga quru tersebut terjadi
perbedaan pendapat antara para ulama ahli Fiqih. Imam Nawawi dalam kitabnya
Al-Majmu` Syarah Al-Muhadzzab memaknai quru dengan arti suci.[4]
Jadi,
semenjak ia dithalaq oleh suaminya, terhitung sejak saat itu ia harus melewati
tiga kali fase haidh dan tiga kali fase suci. Misalnya ia haidh, kemudian suci,
setelah itu haidh, setelah itu suci, haidh lagi, sampai pada fase suci (selepas
haidh) yang ketiga berlalu, tandanya masa `iddahnya selesai. Bersamaan dengan
itu si suami tidak boleh merujuk kembali ke isteri yang telah diceraikannya.
C.
Iddah Wanita Yang Dithalaq Ketika Dalam Keadaan Haidh
Seorang wanita yang dithalaq oleh suaminya dalam
keadaan haidh, sebenarnya masa tunggu iddahnya sama seperti wanita tersebut
dithalaq dalam keadaan suci. Yang membedakan hanya pada saat ia ia dithalaq,
haid tersebut tidak dihitung ke dalam haid pertama. Artinya setelah haid
pertama berlalu si wanita itu masih belum masuk fase quru yang pertama.
Setelah suci ia harus menunggu haid dan di suci yang pertama itulah fase quru
pertama dimulai.
Hal ini tentu saja membuat masa iddah si wanita
tersebut semakin panjang bila dibandingkan senadainya wanita tersebut ditalaq
dalam keadaan suci. Karena talaq bisa
jatuh kapan pun, entah ketika si wanita dalam keadaan suci, haid, atau hamil.
Maka dari itu talaq semacam ini sangat dicela dalam
Islam. Bahkan dikatagorikan talaq bid`ah yang haram. Terkait permasalahan ini
dapat dilirik dari hadis-hadis Rasulullah
SAW yang mencela seorang suami yang mentalaq isterinya dalam keadaan
haid. Rasulullah memerintahkan orang tersebut agar ia merujuk lagi kepada
isterinya. Setelah suci, ia boleh mentalak kembali (apabila bersikukuh untuuk
tetap menceraikan isterinya), atau bahkan dianjurkan apabila ia mengurungkan
niatnya untuk mencerai isterinya. Dan inilah hikmah yang sebenarnya sangat
dianjurkan oleh syara`. Rasulullah SAW bersabda
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ ، حَدَّثَنَا اللَّيْثُ ، قَالَ : حَدَّثَنِي
عُقَيْلٌ ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ : أَخْبَرَنِي سَالِمٌ أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ
عُمَرَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ أَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَهْيَ
حَائِضٌ فَذَكَرَ عُمَرُ لِرَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَتَغَيَّظَ فِيهِ رَسُولُ
اللهِ صلى الله عليه وسلم ثمَّ قَالَ لِيُرَاجِعْهَا ثُمَّ يُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ
ثُمَّ تَحِيضَ فَتَطْهُرَ فَإِنْ بَدَا لَهُ أَنْ يُطَلِّقَهَا فَلْيُطَلِّقْهَا طَاهِرًا
قَبْلَ أَنْ يَمَسَّهَا فَتِلْكَ الْعِدَّةُ كَمَا أَمَرَهُ اللَّه
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair Telah
menceritakan kepada kami Al Laits ia berkata, Telah menceritakan kepadaku
'Uqail dari Ibnu Syihab ia berkata, Telah mengabarkan kepadaku Salim bahwa Abdullah
bin Umar radliallahu 'anhuma Telah mengabarkan kepadanya; Bahawasanya ia pernah
mentalak isterinya dalam keadaan haidl. Maka Umar pun menyampaikan hal itu pada
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam marah dan bersabda: "Hendaklah ia meruju'nya kembali, lalu
menahannya hingga ia suci dan haidl hingga ia suci kembali. Bila ia (Ibnu Umar)
mau menceraikannya, maka ia boleh mentalaknya dalam keadaan suci sebelum ia
menggaulinya. Itulah Al 'Iddah sebagaimana yang telah diperintahkan Allah 'azza
wajalla."
Sekali
lagi, dari hadis di ini dapat diambil hukum bahwa talaq seorang suami kepada
isterinya yang sedang menjalani masa haid tetap tembus, hanya saja hal ini
sangat dilarang keras oleh Rasulullah SAW.
Kendati pun seorang suami harus mentalaq isterinya, maka seharusnya ia
mentalaq ketika si isteri sedang dalam keadaan suci (tidak haid), agar masa
iddahnya tidak terlalu lama.
D.
Iddah Wanita Yang Belum Dicampuri Oleh Suami
Seluruh ulama sepakat tentang tidak adanya kewajiban
iddah bagi wanita yang belum dicampuri oleh suaminya. Kembali pada tujuan
`iddah ialah untuk memastikan bahwa dalam rahim wanita tersebut bersih dari
janin yang dikandungnya. Logikanya, bagaimana mungkin seorang wanita akan hamil
apabila ia belum melakukan hubungan suami isteri. Beda lagi hukumnya apabila
wanita tersebut pernah melakukan hubungan suami isteri, walau pun hanya sekali,
maka ia wajib menjalani masa iddahnya.
Terkait hal ini Allah SWT berfirman dalam surat
Al-Ahzab ayat 49
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ
طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ
تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-
perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu
mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang
kamu minta menyempurnakannya.
Sekali lagi, tentu
akan kita yakini secara pasti bahwa seorang wanita yang belum dicampuri oleh
suaminya, rahimnya bersih dari unsur kehamilan. Sedangkan tujuan iddah itu
sendiri adalah memastikan tidak adanya janin dalam rahim wanita yang ditalaq.
E.
Iddah Wanita Yang Tidak Menjalani Masa Haid
Bagi wanita yang monopause (tidak ada kemungkinan haid)
seperti yang sudah lanjut usia, atau anak kecil yang belum balgih, hal seperti
ini besar kemungkinan akan terjadi. Agama Islam menentukan masa iddah mereka
adalah tiga bulan, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat At-Thalaq ayat 4
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ
ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa
iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang
tidak haid.(Q.S At-Thalaq : 4)
IDDAH AMAH (BUDAK WANITA)
A.
Iddah Budak Wanita Yang Hamil
Seorang budak wanita yang ditalaq oleh suaminya, apabila ia dalam
keadaan hamil masa iddahnya sampai ia melahirkan. Penjelasan tentang iddah
wanita hamil ini telah dijelaskan sebelumnya. Dalil yang berbicara tentang hal
ini terdapat dalam Kitabullah surat At-Thalaq ayat : 4.
B.
Iddah Budak Wania Yang Tidak Hamil
Apabila budak wanita tersebut ditalaq suaminya sedang ia dalam
keadaan tidak hamil, maka lama `iddahnya adalah dua quru. Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu` menuqilkan
dalil yang dipakai terkait hukum ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam
As-Syafi`I, Baihaqi, dan Darul Quthni, dari Umar ibn Khattab, Rasulullah SAW
bersabda “Seorang budak lelaki bisa menikahi dua orang perempuan, dan ia
memiliki dua jatah talaq. Iddah seorang budak wanita adalah dua kali haidh.
Apabila budak wanita itu tidak haid, amka iddahnya adalah dua bulan atau satu
bulan setengah.[5]
Dalam kebanyakan literasi fiqih, terutama di lingkup mazhab
As-Syafi`i, hukum seorang budak – pada kebanyakan – dikurangi setengah dari
hukum seorang budak yang merdeka. Secara otomatis hukum ini akan berlaku pula
bagi iddah wanita yang wafat suaminya yakin setengah dari iddah wanita merdeka;
dua bulan lima hari. Karena iddah wanita merdeka adalah empat bulan sepuluh
hari. Terkait hukum ini tidak ada ikhtilaf antara ulama.[6]
Iddah Wanta Yang Mlakukan Watha Syubhat
Dalam ilmu fiqih
dikenal istilah watha syubhat. Watha berarti jimak, sedangkan syubhat
adalah perkara-perkara yang status hukumnya berada di antara halal dan
haram. Ia tidak dapat dihukumkan halal, karena tidak jelas kehalalannya, dan
juga tidak dapat dihukumkan haram karena alasan yang sama. Hal musykil
(samar/tidak jelas) seperti ini dinamakan dengan syubhat. Contoh syubhat
seperti seseorang menemukan benda tercecer (luqothoh). Barang tercecer tersebut dihukumkan barang
yang syubhat. Kaitannya syubhat dalam watha
syubhat di sini adalah persetubuhan yang dilakukan secara tidak sah, tetapi
dalam keadaan tidak diketahui bahwa hukumnya watha tersebut haram. Misalnya
dalam keadaan gelap seorang lelaki mengira bahwa wanita yang ada di sisinya
adalah isterinya yang sah, sebaliknya si wanita menganggap lelaki yang ada di
sisinya adalah suami sahnya. Watha (jimak) yang mereka lakukan dalam ilmu fiqih
dihukumkan sebagai watha syubhat. Contoh
lain seperti kemiripan seorang wanita dengan isteri si suami tersebut baik dari
segi fisik, gaya bicara, dan lain-lain, sehingga ia menyangka si wanita itu
adalah isterinya, dan keduanya sama-sama mengira suami isteri dalam keadaan
sadar.
Andaikata hal ini terjadi, maka si wanita tersebut terkena
kewajiban`iddah. Karena watha syubhat dihukumkan seperti watha dalam nikah yang
sah dari segi keturunan. Sedangkan watha dalam keadaan telah menikah diwajibkan
adanya iddah, maka begitu pula hukumnya dengan watha syubhat. Selama masa
`iddah, si wanita tidak boleh melakukan jimak dengan suaminya yang sah,
sebagaimana dalam nikah yang sah seorang wanita yang sedang menjalankan masa
`iddah tidak boleh menikah dengan lelaki lain sampai dengan masa `iddahnya
selesai.
Tentang berapa lama masa iddah yang harus dijalani oleh seorang
wanita yang melakukan watha syubhat, hal tersebut melirik pada status si wanita
tersebut dengan mengikuti hukum-hukum yang telah dikemukakan sebelumnya.
Contoh, apabila wanita tersebut dalam keadaan hamil, maka iddahnya sampai
dengan melahirkan, begitu juga apabila dia seorang sahaya, maka iddahnya yang
dia jalani adalah iddah seorang sahaya (amah).
`Iddah Wanita Yang Berzina
Para ulama sepakat
terkait hukum wanita yang melakuakan hubungan zina tidak memiliki masa iddah –
terlepas dari pembicaraan tentang keharaman zina itu sendiri dan tinjauan dari
sisi jinayah yang harus ia jalani. Alasannya, zina adalah perbuatan keji yang
tidak dianjurkan dalam agama atau pun norma kehidupan manusia pada umumnya.
Perbuatan zina selain menghancurkan moral, ia juga menghancurkan keturunan
mansuia. Keturunan-keturunan yang lahir dari hubungan zina tidak dianggap dalam
agama Islam dari segi waris atau pun nasab. Sedangkan tujuan iddah itu sendiri adalah
untuk menjaga nasab agar terpelihara dan jelas statusnya. Hal ini jelas
bertentangan antara terimin iddah dengan zina. Kesimpulannya, wanita yang
berzina tidak dihukumukan dengan watha secara syubhat sekaligus tidak menjalani masa iddah,
karena sperma yang haashil dari perzinaan tidak perlu dihormati.
Adab-Adab
Wanita Yang Menjalankan Iddah
Hikmah Disyariatkan `Iddah Dalam Islam
Tidak ada sesuatu apapun yang Allah
ciptakan dengan sia-sia. Dalam masalah hukum iddah pun tentu ada hikmah-hikmah
yang dapat dipetik sebagai pelajaran bagi orang-orang beriman. Hanya Islam
satu-satunya agama yang memiliki tata hukum yang rapid an jelas, yang belum
tentu dimiliki oleh agama lain. Adapun hikmah disyari’atkannya ‘iddah adalah
sebagai berikut:
1.
Mengetahui terbebasnya rahim, dan sehingga
tidak bersatu air mani dari dua laki-laki atau lebih yang telah menggauli
wanita tersebut pada rahimnya. Sehingga nasab anak yang mungkin dilahirkan
tidak menjadi kacau.
2.
Menunjukkan keagungan, kemulian masalah
pernikahan dan hubungan badan.
3.
Memberi kesempatan bagi sang suami yang telah
mentalak istrinya untuk rujuk kembali. Karena bisa jadi ada suami yang menyesal
setelah mentalak istrinya.
4.
Memuliakan kedudukan sang suami di mata sang
istri. Sehingga dengan adanya masa iddah akan semakin menampakkan pengaruh
perpisahan antara pasangan suami-istri. Karena itu, di masa iddah karena
ditinggal mati, wanita dilarang untuk berhias dan mempercantik diri, sebagai
bentuk berkabung atas meninggalkan sang kekasih.
5.
Berhati-hati dalam menjaga hak suami,
kemaslahatan istri dan hak anak-anak, serta melaksanakan hak Allah yang telah
mewajibkannya. [Lihat I'laamul Muwaqqi'iin (II/85)]
[1]
Zainuddil Al-Malibari, Fathul Mu`in Syarah Qurrotul `Ain, (Beirut:
Daarul Fikr) hal. 37 juz.4
[2]
Dr. Musthafa Diibul Bigha, Fiqih As-Syafi`I Terjemah At-Tahdziib, (Surabaya,
CV Bintang Fajar, tanpa tahun) hal. 411
[3] Umdatul
Kalaam hal. 325
[4]
Imam Muhyiddin An-Nawawi, Al-Majmu` Syarah Al-Muhadzzhab, (Libanon,
Darul Kutub Al-`Ilmiyyah, 2011) juz. 21
hal. 546
[5]
Imam Muhyiddin An-Nawawi, Al-Majmu` Syarah Al-Muhadzzhab, (Libanon, Darul
Kutub Al-`Ilmiyyah, 2011) juz. 21 hal.
559
[6] Ibid,
hal 561
Tidak ada komentar:
Posting Komentar