Telah menjadi kodrat dari Allah bahwa yang
membedakan manusia dengan makhluk selainnya adalah akal dan hawa nafsu. Jika
Allah hanya memberikan akal kepada malaikat, Allah juga memberikan akal kepada
manusia. Begitu juga ketika Allah memberikan nafsu kepada hewan, Allah
memberikan pula nafsu kepada manusia. Maka sempurnalah manusia dengan segala
kelebihan yang dimilikinya.
Seluruh kehidupan manusia telah diatur secara paripurna
oleh Allah SWT melalui perantara Rasul-Nya. Khusus dalam konteks hawa nafsu
yang dimiliki setiap manusia, syariat telah memberikan jalan dan garis-garis
tersendiri. Syariat memahami betapa vitalnya nafsu sebagai salah satu aksesoris
yang Allah berikan kepada manusia dan tidak diberikan kepada malaikat. Terkait
hawa nafsu ini, Islam tidak pernah membolehkan, apalagi menganjurkan kepada
seluruh pemeluknya untuk melenyapkannya. Sebab, kecenderungan hati setiap
manusia kepada nafsu tidak dapat dipungkiri. Ada banyak keinginan-keinginan
duniawi yang Islam benarkan dan itu berhak dimiliki oleh manusia yang
menginginkannya. Hal ini sesuai dengan yang Allah SWT firmankan dalam Surat
Ali-Imron ayat : 14 :
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ
مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ
وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ
مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
(14)
Dijadikan indah pada (pandangan)
manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita,
anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan,
binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia,
dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).
Sekilas, jika diperhatikan kembali
ayat di atas, memang ada banyak sekali hasrat-hasrat (syahwat) yang diingini
oleh setiap manusia. Akan tetapi, Allah SWT menyebutkan wanita (nisa),
dalam ayat di atas berada pada posisi keinginan yang paling pertama, sebelum
anak-anak, harta dalam macam emas, perak, kendaraan, dll. Ayat ini menyiratkan makna
tentang hasrat atau nafsu kepada wanita pasti dimiliki oleh setiap orang. Lain
halnya dengan harta. Hanya sekelompok orang tertentu yang dapat memiliki dan
memanfaatkannya. Dengan kata lain, setiap laki-laki yang normal pasti menginginkan
wanita, begitupun wanita menginginkan lelaki. Agama Islam jelas tidak melarang
setiap manusia untuk menginginkan keinginan-keinginan seperti yang Allah
firmankan dalam ayat sebelumnya, termasuk untuk menumpahkan hasrat nafsu lelaki
kepada seorang wanita, begitu juga wanita kepada seorang lelaki.
Oleh lantaran demikan, Islam memberikan
pintu masuk bagi siapapun yang ingin menumpahkan nafsu kepada lawan jenisnya
dengan jalan menikah. Dengan pernikahan manusia mampu memiliki
keturunan-keturunan yang baik dan terpelihara. Lebih dari itu, melalui
pernikahan setiap manusia diharapkan mampu membangun sebuah keluarga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah, sehingga kebutuhan manusia secara lahir maupun
batin dapat tersalurkan di jalan yang benar.
Untuk itu, salah satu rambu pernikahan
yang harus diperhatikan oleh setiap manusia dengan pemenuhan kebutuhan hak dan
kewajiban dalam bentuk nafkah. Setiap ada ikatan pernikahan, maka di sana
seseorang suami harus bertanggungjawab untuk memberikan nafkahnya kepada
keluarganya.
Prinsip
Nafkah Dalam Islam
Nafkah dalam terminologi ilmu fiqih
disebut juga dengan النفقة yang
secara bahasa bermakna راج yang
berarti laku, laris.[1]
Sedangkan An-Nafaqoh secara istilaahi, menurut Ulama Mazhab
Syafi`I berarti
طعام مقدر لزوجة و خادمها على
زوج, أو لغيرهما من أصل, و فرع, و رقيق, و حيوان ما يكفيه.
Makanan
yang diberikan untuk istri atau pembantu yang kadarnya telah ditentukan. Ataupun
selain untuk keduanya dari asal seperti furu`, budak, atau binatang ternak yang
sesuai dengan ukurannya.
Definisi
di atas terasa lebih rinci, bahwa nafkah dalam ilmu fiqih tidak hanya
dibebankan untuk sang suami. Dalam kasus budak, kewajiban nafkah jatuh pada
tuannya. Begitu juga dengan binatang ternak, si pemiliknya wajib memberikan
makanan pada binatang ternaknya.
Dalam
sebuah kaidah fiqih dinyatakan, setiap orang yang menahan hak orang lain untuk
kemanfaatannya, maka ia bertanggung jawab untuk membelanjainya.[2]
Hal ini sudah menjadi garis secara umum, termasuk kaitannya dengan pernikahan. Seperti
yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa dengan terselenggarahnya akad nikah
menimbulkan adanya hak dan kewajiban antara suami dan istri. Di antara
kewajiban suami terhadap istri yang paling pokok adalah kewajiban memberikan
nafkah baik dalam bentuk sandang, pangan, pakaian (kiswah), maupun tempat
tinggal.
Berdasarkan kaidah tersebut, maka
tepat kiranya Islam mewajibkan suami untuk memberikan nafkah kepada istrinya.
Adanya ikatan perkawinan yang sah menjadikan seorang istri terikat semata-mata
hanya untu ksuaminya dan tertahan sebagai miliknya, karena ia berhak
menikmatinya secara terus-menerus. Istri wajib taat kepada suami, tinggal di
rumahnya, mengurus rumah tangganya, serta memelihara dan mendidik anak-anaknya.
sebaliknya, suami bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhannya, memberi belanja
kepadanya selama ikatan sebagai suami istri masih terjalin dengan baik. Mafhum
mukholafahnya, nafkah akan gugur apabila seumpama istri durhaka, atau
karena ada hal-hal lain yang menghalangi pemberian nafkah.
Dasar Penetapan Nafkah
Jika
seorang istri hidup serumah dengan suami, maka suaminya wajib menanggung
nafkahnya, mengurus segala kebutuhan seperti makan, minum, pakaian, tempat
tinggal, dan sebagainya. Dalam hal ini istri tidak berhak meminta nafkah dalam
jumlah tertentu, selama suami melaksanakan kewajiban tersebut. Andai kata suami
bakhil (kikir) tanpa memberikan alasan yang dibenarkan secara syara , istri berhak menuntut jumlah nafkah
tertentu baginya untuk keperluan makan, pakaian, dan tempat tinggal. Dan Hakim
boleh memutuskan berapa jumlah nafkah yang harus diterima oleh istri, serta
mengharuskan suami untuk membayarnya jika tuduhan-tuduhan yang dilontarkan
istri ternyata benar. [3]
Hal ini
disandarkan oleh firman Allah SWT
...وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ...
Dan kewajiban ayah adalah memberi makan dan pakaian kepada
para ibu dengan cara yang mar`ruf (baik)…(Q.S. Al-Baqoroh : 233)
Dalam kitab
Tafsir Ahkam, Imam Ibnu `Arabi menafsiri ayat ini sebagai dalil tentang
kewajiban orangtua untuk memberikan nafkah kepada anaknya dengan cara yang baik
(ma`ruf).[4]
Karena seorang anak pada kodratnya tidak mampu mencari nafkah untuk memenuhi
kebutuhannya sendiri. Maka Allah SWT menyerahkan kewajiban itu kepada seorang
orangtuanya agar mereka berusaha memenuhi kehidupan anaknya (juga keluarganya)
dengan cara yang baik. Orangtua dalam konteks ini adalah ayahnya, yang juga
wajib memberikan nafkah kepada ibu (istrinya). Mufassirin-mufassirin lainnya
seperti Imam Ibnu Katsir dan Imam Al-Qurthubi menafsiri ayat ini tentang
kewajiban seorang suami memberikan nafkah kepada keluaganya.[5]
Memang pada ayat tersebut jika ditinjau dari aspek linguistik menggunakan
konsep femina (muanttas). Seakan-akan yang memberikan nafkah adalah istri.
Allah memilih kalimat istri (ibu) untuk merawat anaknya, karena pada dasarnya
seorang ibu memang yang paling mengerti tentang tatacara mendidik, mengurus,
dan meawat anaknya semenjak ia disusui (Q.S At- Thalaq : 6). Namun demikian,
secara adat yang ma`ruf, suamilah yang berhak memberikan nafkah kepada keluarga
baik dalam bentuk sandang, pangan, dan pakaian
Istri boleh mengambil sebagian harta
suaminya dengan cara yang baik, sekalipun tanpa sepengetahuan suami untuk
mencukupi kebutuhan apabila suami melalaikan kewajibannya untuk memberikan
nafkah. Bagi orang yang mempunyai hak, ia boleh mengambil haknya sendiri jika
mampu melakukannya, dengan alasan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhori, Muslim, Ahmad, Abu Daud, dan An-Nasa`i.
Dari Aisyah
R.A. sesungguhnya Hindun binti `Utbah pernah bertanya, “Wahai Rasululallah,
sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang yang kikir. Ia tidak mau memberi nafkah
kepadaku, sehingga aku harus mengambil darinya tanpa sepengetahuannya”. Maka
Rasulullah SAW bersabda, ambillah apa yang mencukupi bagimu dan anakmu dengan
cara yang baik.
Hadis
ini menunjukkan bahwa jumlah nafkah diukur menurut kebutuhan istri, dengan
ukuran yang baik bagi setiap pihak tanpa mengesampingkan kebiasaan yang berlaku
pada keluarga istri. Oleh karena itu, jumlah nafkah ini tidak ada aturan yang
tetap. Lebih tegasnya, ia menyesuaikan pada keadaan, zaman, tempat, dan
keberadaan manusia tersebut. Maka boleh jadi jika seorang suami mempunyai
beberapa istri, kadar nafkah satu istri dengan istri yang lainnya boleh jadi
berbeda.
Kecukupan
dalam hal makanan meliputi semua yang dibutuhkan oleh istri, termasuk di
dalamnya buah-buahan, makanan yang bisa dihidangkan dalam pesta dan segala
jenis makanan yang kalau dihidangkan dapat menambah keromantisan berrumah
tangga. Selanjutnya, termasuk dalam pengertian kebutuhan adalah obat-obatan dan
lain sebagainya. Hal ini sepadan dengan yang Allah SWT firmankan dalam surat Al-Baqoroh : 233.
Jadi
jelas, kewajiban nafkah hanya dapat diberikan oleh mereka yang berhak
menerimanya. Selain dari yang telah diatur, tidak ada kewajiban pernafkahan
dalam agama Islam.
Nafkah Bagi Isteri Yang Beriddah
Iddah
adalah saat dimana seorang istri menahan diri ketika hilangnya nikah, baik
nikah yang sifatnya pasti (mutaakkid) atau nikah yang syubhat..[6] Perempuan dalam masa iddah
raj`I atau hamil, ia berhak mendapatkan nafkah, karena Allah SWT berfirman
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ
مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ
حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ
فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ
فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى
Tempatkanlah mereka (para isteri) di
mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan
mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang
sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga
mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka
berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala
sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh
menyusukan (anak itu) untuknya.
Ayat ini jelas menunjukkan
bahwa perempuan hamil berhak mendapatkan nafkah, baik dalam iddah talak raj`i
ataupun ba`in, atau bahkan dalam iddah kematian yang nantinya akan ditanggung
oleh ahli waris suami. Sedang untuk talak bain, para ahli fiqih berbeda
pendapat tentang hak nafkahnya. Jika dalam keadaan hamil, maka ada tiga
pendapat.[7]
Pendapat pertama, bahwa ia berkah mendapatkan rumah
(sukna), akan tetapi tidak berkah mendapatkan nafkah. Pendapat ini dipegang
oleh Imam Malik dan As-Syafi`i. Mereka beralasan dengan firman Allah
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ
مِنْ وُجْدِكُمْ... (6)
Tempatkanlah mereka (para
istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu.. (Q.S. At-Thalaq :
6)
Pendapat kedua, dikemukakan
oleh Saidina Umar bin Khatab R.A. Umar bin Abdul Aziz dan segolongan ulama
Hanafi, mereka mengatakan bahwa ia berhak mendapatkan nafkah dan rumah. Mereka
juga mengambil dalil pada surat At-Thalaq ayat enam, sebagaimana yang telah
dicantumkan di atas.
Ayat tersebut menunjukkan tentang wajibnya memberikan
tempat tinggal. Jika memberikan tempat tinggal itu hukumnya wajib, maka dengan
sendirinya wajib memberikan nafkah seperti makanan, pakaian, dan lainnya. Allah
SWT berfirman
فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ
بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ
وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ
نَفْسَهُ لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا. (1)
… maka hendaklah kamu mencerikan mereka
pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu
iddah serta bertakwalah kepada Allah, Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari
rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau mereka
mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barang
siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat
zhalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah
mengadakan sesudah itu hal baru. (Q.S. At-Thalaq : 1)
Hal ini tentu tidak berlaku
bagi istri yang telah dijatuhkan talak tiga oleh suaminya.
Pendapat ketiga, bahwa tidak berhak nafkah dan tempat
tinggal. Pendapat ini sedikit lebih keras dari pendapat sebelumnya. Pendapat
ketiga ini dipegang oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, Abu Tsaur, dan Ishaq.
Dalam sebuah riwayat dari Ali, Ibnu Abbas, Jabir, Al-Hasan,
Atha`, Syaibi, Abu Abi Laila, dan Syi`ah Imamiyyah, mereka mengemukakan alasan
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim, dari Fatimah binti Qais, ia
berkata, “Suamiku telah menceraikan aku tiga kali pada masa Rasulullah SAW… ia
tidak memberikan kepadaku nafkah atau tempat tinggal..” Dalam riwayat lain
disebutkan bahwa Rasulullah bersabda, “Tempat tinggal dan nafkah hanyalah
hak bagi perempuan yang suaminya ada hak rujuk.”[8]
Istri Tidak Menuntut Nafkah
Berlebihan
Telah diuraikan sebelumnya bahwa kewajiban
memberikan nafkah ditujukan bagi seorang suami kepada istri dan anak-anak yang
tinggal dalam lingkup keluarganya. Dalam menetapkan hukum ini, syariat tentu
memahami setiap lelaki mempunyai kemampuan yang lebih dibandingkan perempuan
pada umumnya. Imam Nawawi mengatakan bahwa pada sifat seorang lelaki terdapat
kekuatan (quwwah), kesempurnaan akal, serta mampu memikul beban-beban
berat yang tidak dapat dipikul oleh wanita.[9]
Dalam
surat An-Nisa ayat 35 Allah SWT berfirman yang artinya, “lelaki lebih kuat
dari pada wanita.” Ayat ini memberikan ketegasan tentang qodrat laki-laki
yang pada umumnya dapat diandalkan menjadi tulang punggung keluarga dalam hal
penafkahan. Namun, kita pun memaklumi dari sisi lain bahwa setiap manusia pasti
memiliki kekurangan-kekurangan. Ada kalanya kekurangan-kekurangan itu terjadi
pada saat-saat dimana sang suami mendapatkan musibah atau halangan-halangan
yang menyebabkan dirinya tidak mampu mencari nafkah seperti yang diharapkan.
Dalam kondisi-kondisi seperti ini, seorang istri dituntut untuk meluweskan
sifat pengertiannya, dalam kata lain tidak menuntut hak nafkahnya secara
berlebihan. Kendati pun suami memiliki tanggung jawab penafkahan kepada istri
dan keluarga, bukan berarti si istri tidak boleh mencari nafkah sampingan untuk
memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Islam tetap membolehkan apabila istri
bekerja untuk memenuhi kebutuhan tambahan keluarga.
Apabila Suami Tidak Memenuhi
Kewajiban Memberi Nafkah
Sering ditemukan dalam pelbagai kasus dimana seorang suami
menerlantarkan istri dan keluarganya begitu saja. Hal-hal semacam ini sangat
dicela dalam agama. Bahkan ia dianggap telah mempermainkan hukum Allah yang
semestinya tidak dilanggar.
Dalam suatu kasus, apabila sang suami telah bekerja secara
maksimal, sedang di kemudian hari ternyata ia memang tidak mampu memberikan
nafkah yang sesuai dengan kebutuhan keluarga. Maka yang berhak untuk mengambil
tindakan kasus ini adalah Hakim. Menurut kebanyakan ulama, hakim memberikan
kebijakan yang memberikan nafkah pada saat itu adalah baitul maal atau
uang kas negara.
Atas segala
tanggungan-tanggungan yang belum ditunaikan oleh si suami kepada istrinya, itu
semua dijadikan piutang kepada istri yang sewaktu-waktu istri memiliki hak
untuk menuntutnya kembali. Oleh karena itu seorang suami tetap dibebankan untuk
terus berusaha mencari nafkah yang sesuai dengan kemampuannya dan keadaannya.
Allah SWT berfirman
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ
وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لَا
يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا…
Hendaklah orang yang mampu memberi
nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah
memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. rezkinya hendaklah
memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan
beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. (Q.S. At-Thalaq : 7)
Ayat
di atas adalah anjuran kepada seorang suami untuk terus berusaha mencari nafkah
sekuat tenaga. Sebab Allah SWT tidak akan menerlantarkan hamba-Nya di luar
kemapuan. Hal tersebut telah dijamin oleh Allah dalam ayatnya, Allah tidak
memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan
kepadanya. Hal ini semestinya menjadi motivasi bagi setiap suami agar lebih
giat mencari nafkah sebagai ladang amal di dunia dan akhirat. Yang memberikan
garansi kemudahan ini tentu Allah SWT langsung. Allah tidak pernah memberikan
kesukaran-kesukaran - mencari nafkah - pada hamba-Nya melebihi batas kekuatan
yang dimiliki hamba-Nya.
Apakah
Penyelenggaraan Walimah Termasuk Dalam Nafkah Suami?
Walimah dalam bahasa Arab berarti makanan
yang disediakan untuk pesta pernikahan.[10]
Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadis shahih yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dan Muslim
أولم ولو بشاة
Adakanlah walimah walau dengan
seekor kambing.
Hadis
ini menyuruh kepada siapapun yang hendak melangsungkan pernikahan agar
memeriahkannya dengan walimah atau pesta pernikahan. Rasulullah menganjurkannya
kepada siapapun yang hendak melangsungkan pernikahan, hatta walau hanya dengan
seekor kambing. Kata-kata “seekor kambing” adalah kinayah tentang betapa
pentingnya perayaan pernikahan ini dilangsungkan, meski pun tidak
besar-besaran. Tujuan diadakan walimah sebagai media syiar pemberitahuan kepada
masyarakat perihal dua pasang manusia yang telah menikah. Maka kelak jika ada
sesuatu di kemudian hari tidak akan menimbulkan fitnah bagi orang lain. Untuk
pelaksanaan ritual acara walimah itu sendiri menyesuaikan kepada adat dan
daerah masing-masing.
Akan
tetapi, kami tidak menemukan satu pun dalil dalam Al-Quran maupun Al-Hadis yang
menentukan apakah biaya penyelenggaraan walimah ditanggung oleh pihak si suami
sebagai nafkah yang wajib diberikan kepada si istri. Ini artinya
penyelenggaraan walimah dapat dimusyawarahkan kembali oleh kedua pihak
pengantin.
Kesimpulan
1. Nafkah
artinya memberikan makan oleh seseorang yang menahan orang lain untuk mengambil
suatu kemanfaatan darinya.
2. Setiap
orang yang menahan orang lain, seperti suami istri, maka si suami wajib
memberikan nafkah kepada istri. Dan sebagai ganti, ia berhak menikmatinya
secara terus menerus. Dalam contoh lain seperti seorang budak yang ditahan oleh
pemiliknya, maka ia wajib memberikan nafkah kepada budak itu.
3. Nafkah
yang diberikan haruslah dengan nafkah yang halal dan dibenarkan oleh syar`i.
4. Seorang
istri hendaknya memiliki sifat pengertian apabila sewaktu-waktu sang suami
tidak mampu memberikan nafkah sesuai dengan kebutuhan istri.
5. Sebaliknya,
suami agar memiliki kesadaran penuh tentang tanggung jawabnya sebagai tulang
punggung nafkah keluarga, tidak main-main dalam urusan nafkah.
6. Walau
pun suami berkewajiban menanggung hak seorang istri, tidak menutup kemungkinan
istri dapat mencari nafkah sendiri. Hal seperti ini dibenarkan oleh agama,
selama masih beraa dalam batas-batas yang wajar.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quraanul Kariim versi
Departeman Agama Republik Indonesia
Ibnu Hajar Al-`Asqalani, Fathul
Baari Syarah Shahih Bukhari, (Beirut: Daarul Fikri, 1996)
Imam Muhyiddin An-Nawawi, Al-Majmu`
Syarh Al-Muhazzhab, (Libanon: Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 2011)
Drs. Slamet Abidin, Dkk, Fiqih
Munakahat, (Bandung: Pustaka Setia, 1999)
Ibnul Arobi, Ahkaamul Qur`aan,
(Libanon: Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 2008)
Imam Al-Qurthubi, Al-Jaami`ul Ahkaamil Quraan,(Kairo:
Daarul Hadis, 1994)
Muhammad Al-Husaini Al-Hushni Ad-Damsyiqi, Kifaayatul
Akhyaar, (Beirut, Daarul Khoir, 2005)
Ali Al-Jarijaani, At-Ta`riifat, (Beirut: Darul
Kutub Arobi, 1405. H), hal. 192
[1]
Imam Muhyiddin An-Nawawi, Al-Majmu` Syarh Al-Muhazzhab, (Libanon: Darul
Kutub Al-Ilmiyyah, 2011) hal. 149 jilid. 22
[2]
Drs. Slamet Abidin, Dkk, Fiqih Munakahat, (Bandung: Pustaka Setia,
1999), hal. 173 jilid. 1
[3]Ibid.
hal. 124
[4]
Ibnul Arobi, Ahkaamul Qur`aan, (Libanon: Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 2008),
hal. 274 jilid 1
[5]
Imam Al-Qurthubi, Al-Jaami`ul Ahkaamil Quraan,(Kairo: Daarul Hadis,
1994), hal 140 jilid. 2
[6]
Ali Al-Jarijaani, At-Ta`riifat, (Beirut: Darul Kutub Arobi, 1405. H),
hal. 192
[7]
Drs. Slamet Abidin, Dkk, Fiqih Munakahat, (Bandung: Pustaka Setia,
1999), jilid 1 hal. 178
[8] Ibid.
Hal. 179.
[9]
Imam Muhyiddin An-Nawawi, Al-Majmu` Syarh Al-Muhazzhab, (Libanon: Darul
Kutub Al-Ilmiyyah, 2011) hal. 152 jilid. 22
[10]
Muhammad Al-Husaini Al-Hushni Ad-Damsyiqi, Kifaayatul Akhyaar, (Beirut,
Daarul Khoir, 2005) hal. 447
Tidak ada komentar:
Posting Komentar