Senin, 17 Agustus 2009

MENINGGALKAN SHALAT FARDHU

Ulama-ulama serta ummat Islam di Indonesia sedari dulu telah bersepakat bahwa sembahyang yang tertinggal wajib diqadha, dibayar, baik yang tertinggal karena lupa atau karena tertidur atau juga yang sengaja ditinggalkan. Mengerjakan sembahyang yang tertinggal ialah dengan mengerjakan sembayang tersebut bukan lagi pada waktunya, tetapi pada waktu dibelakangnya. Oleh karena begitu hukumnya, maka orang takut meninggalkan sembahyang, karena shalat yang semua shalat yang tertinggal selama ia hidup itu wajib dibayar satu persatu, tidak boleh kurang. Bahkan, andai ada sembahyang yang tertinggal itu belum dibayar (belum diqadha) dan ia wafat, maka ahli warisnya wajib membayar fidyah sembahyang yang tertinggal itu, yaitu memberi makan kepada fakir miskin sebagaimana yang telah ditetapkan dalam rambu fikih. Tetapi kepercayaan yang baik itu menjadi goncang, karena ada segelintir orang yang baru belajar agama kemarin sore lantas berfatwa bahwa sembahyang yang pernah ditinggalkan dengan sengaja tidak wajib diqadha. Katanya, sembahyang yang ditinggalkan dengan sengaja tidak dapat diburu lagi, tidak dapat dibayar lagi, tetapi yang meninggalkan sudah dicap berdosa dan akan menanggung kelak resikonya nanti di akhirat. Oke, fatwa yang semacam ini bisa merangsang dan memberanikan orang untuk meninggalkan sembahyang, dengan meremehkan dosa itu dan mengatakan bahwa setelah hampir mati ia tobat saja. Pendeknya, fatwa macam ini menimbulkan rangsangan untuk meninggalkan sembahyang dengan cara yang disengaja. Terlepas dari itu semua, banyak orang yang bertanya tentang masalah ini kepada para Ustadz-ustadz. Maka dalam rangka membuka pikiran tentang hal ini, saya mecoba membahas sedikit kurangnya tentang masalah ini dengan segala keterbatasan ilmu yang saya miliki. Semoga ada bermanfaat khususnya bagi pribadi saya sendiri dan umumnya untuk pembaca sekalian yang dirahmati Allah. Marilah kita perhatikan baik-baik. HUKUM TARKUS SHALAH DALAM MAZHAB SYAFI`I Imam Nawawi, seorang mujtahid fatwa dalam lingkungan mazhab Syafi`i, menerangkan dalam kitabnya Syarah Muslim, Juzu V, halaman 181 begini artinya : Kesimpulan dalam mazhab Syafi`i adalah : a. Seseorang yang ketinggalan sembahyang yang fardhu wajib diqadhakan. b. Andaikata ketinggalan itu karena udzur yang memaksa, maka qadha boleh dilambatkan, tetapi sunnat untuk menyegerakannya. Mengundur-undurkan tanpa sebab adalah dosa. c. Andaikata ketinggalan itu tanpa uzur sama sekali, umpamanya ditinggal karena disengaja, maka wajib qadha dengan segara. Meskipun demikian ia tetap berdosa (besar). d. Membayar sembahyang yang banyak tertinggal harus dibayar menurut tertib cara tinggalnya, yang dahulu didahulukan dan yang kemudian dikemudiankan. Tertib ini hukumnya sunnat bukan wajib. (Ada pahala bila dikerjakan secara tertib) e. Kalau yang tinggal itu sembayang sunnat rawatib, yakni sembahyang sunnat yang biasa dikerjakan sebelum dan sesudah shalat fardhu, maka sembahyangnya harus juga diqadha. Tetapi sembahyang sunnat yang dikerjakan karena sebab khusus, umpamanya sembahyang kusuf matahari, sembahyang khusuf bulan, sembahyang istisqa, maka tidaklah disyari`atkan mengqadhanya, kalau sudah terlepas dari waktunya. Demikian hukum fiqih yang bertalian dengan mazhab Syafi`i yang bertalian dengan orang yang ketinggalan sembahyang. Dalil-dalil yang menguraikan demikian antara lain tersebut dalam kitab hadits yang artinya Dari Abu Hurairah Rda. Bahwasannya Nabi Muhammad SAW ketika kembali dari peperangan Khaibar, beliau berjalan malam hari, sampai beliau mengantuk dan lalu berhenti untuk tidur. Nabi memerintahkan kepada para sahabat beliau bernama Bilal (tukang adzan) supaya berjaga-jaga, jangan tidur, dikhawatirkan jangan tidur semuanya. Nabi terus tidur dan Bilal terus sembahyang pada malam buta itu. Tetapi setelah dekat fajar, Bilal pun mengantuk pula, tidak tahan matanya, maka beliau bersandar pada kendaraannya dan lalu teridur pulas juga. Maka Rasulullah dan sahabat-sahabat, begitu juga Bilal yang disuruh berjaga-jaga, dibangunkan oleh matahari yang sudah tinggi dan waktu subuh itu luputlah. Rasulullah SAW mula-mula terbangun dan beliau sangat susah, lalu berkata kepada Bilal : Hai Bilal, bagaimana ini ? Bilal menjawab : Wah, sayapun tertidur pula Ya Rasulullah, saya tidak kuat menahan mata saya. Tidak jauh dari tempat itu beliau berhenti lagi dan langsung berwudu, memerintahkan Bilal supaya Iqamah. Maka Nabi sembahyang subuh bersama-sama mereka, mengqadha sembahyang subuh yang telah luput. Setelah selesai mengqadha sembahyang nabi bersabda : Barangsiapa kelupaan sembahyangnya, maka hendaklah ia bayar (qadha) itu kapan dia ingat, karena Tuhan berfirman “Tegakkanlah sembahyang untuk mengingat Aku” (Hadits ini Riwayat Imam Muslim dll, lihat syarah Muslim Juzu 5 halaman 182 – 183) Dari rangkaian Hadits ini dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa : 1. Berjalan pada malam hari boleh tidak apa-apa (bagi laki-laki). Untuk perempuan ada hukum tersendiri. 2. Kalau mengantuk boleh untuk tidur, tetapi kalau fajar sudah dekat haruslah diadakan seorang penjaga yang tidak tidur untuk membangunkan subuh kalau sudah datang. 3. Qadha sembahyang boleh dilambatkan sedikit, karena dalam hadits ini Nabi setelah bangun tidak langsung sembahyang, tetapi berangkat dulu dan setelah beberapa lama berjalan berhenti lagi untuk sembahyang. Di dalam hadits Muslim yang lain diterangkan pula, bahwa sebabnya beliau berangkat, tidak langsung sembahyang, karena tempat beliau tertidur adalah tempat syaithan. Tetapi qadha yang boleh dilambatkan itu adalah qadha sembahyang yang ditnggalkan tersebab udzur, yaitu tertidur, sebagai keadannya Nabi ketika itu. 4. Mengqadha sembahyang itu boleh dilakukan di luar waktunya karena Nabi sembahyang shubuh yang tertinggal itu seketika mataari sudah naik, sudah di luar waktu subuh. 5. Dalam hadits Muslim lain juga, bertalian dengan masalah ini diterangkan, bahwa Nabi sebelum mengqadha sembahyang subuh beliau sembahyang sunnat dua rakaat, sebagai qadha sunnat shubuh. Ini berarti bahwa sembahyang sunnat rawatib dianjurkan juga mengqadhanya bila tertinggal. 6. Perkataan “barangsiapa yang lupa” dalam hadits ini, maksudnya ialah “barangsiapa yang tertinggal sembahyangnya”, bukan karena lupa betul-betul, karena sebab hadits ini ditetapkan Nabi ialah pada ketika sembahyang teringgal karena tertidur, bukan karena lupa. Maka dapat dikeluarkan hukum dari hadits ini, bahwa sekalian sembahyang yang tertinggal wajib diqadha, yakni dibayar setelah tiba kesempatan, biar tertinggal itu karena lupa, karena tidur, atau karena disengaja meninggalkannya. 7. Qadha itu wajib hukumnya, karena Nabi memerintahkan di sini dengan perkataan suruh, yaitu “hendaklah ia sembahyang setelah ingat”. 8. Sembahyang itu untuk mengingat Tuhan dan untuk jangan melupakan Dia. Jadi, kalau misalnya kita bangun pagi jam delapan, maka bersegeralah mengqadha shalat subuh yang pernah ditinggalkan tadi. Jangan mengundur-undurkan sampai jam 9 nanti, terlebih diundurkan entah sampai kapan waktunya. Tersebut dalam kitab Shahih Muslim juga : “ketahuilah bahwasannya dalam keadaan tertidur tidak ada sia-sia; Yang sia-sia (yang akan mendapat hukuman) ialah orang yang tidak mengerjakan sembahyang sampai datang waktu sembahyang yang lain. Maka barang siapa memperbuat demikian hendaklah ia bayar ketika ia ingat akan sembahyang itu.” (H.R. Imam Muslim – Shahih Muslim I hal. 275) Dari Hadits ini dapat dipetik hukum : 1. Sembahyang yang tertinggal karena tertidur tidaklah berdosa. Yang berdosa ialah meninggalkan sembahyang dengan sengaja. 2. Waktu sembahyang itu selain subuh adalah panjang; Waktu zuhur sampai Ashar, waktu Ashar sampai Maghrib, waktu sembahyang Maghrib sampai Isya`, dan Waktu Isya sampai Shubuh, kecuali subuh yang pendek waktunya; yaitu dari mulai terbit fajar shadiq sampai terbit matahari. Setiap orang wajib sembahyang pada mesti sembahyang pada waktunya, kalau tak dapat pada awal waktu ditengahnya atau diakhirnya. Tidak boleh sama sekai ditinggalkan. Dan sedikit catatan mengenai maksud tidur dalam hadits ini adalah tidur yang memang sama sekali tidak ada sedikitpun rencana untuk meninggalkan shalat. Jadi misalkan sudah pukul 14.12 siang (untuk WIB DKI) ia belum juga shalat zuhur lantas ia tidur dengan sengaja hingga bangun-bangun telah habis waktu zuhur, maka tidur yang seperti ini sama saja dengan meninggalkan sembahyang dan hukumnya berdosa. Tersebut juga dalam hadits lain yang artinya : Barang siapa yang terlupa sembayang atau tertidur maka ia harus membayarkan sembahyangnya itu apabila ia ingat, ada bayaran bagi mereka selain itu. (Hadits Riwayat Imam Muslim) Dari Hadits ini dapat dipetik hukum : 1. Meninggalkan sembahyang dengan sebab tertidur atau karena lupa tidak berdosa, karena lupa atau tidur diluar kekuasaan manusia. Tetapi tentu asal jangan lupa dan dilupa-lupakan. 2. Membayar sembahyang yang tinggal itu ialah mengqadha sembahyang itu apabila sudah ingat waktunya. 3. Sebaliknya, kalau ia menginggalkan sembahyang dengan sengaja maka ia mendapatkan hukuman dua : 1. Berdosa 2. Mengqadha. 4. Ada tiga waktu dimana manusia terbebas dari dosa yaitu ketika tidur, lupa, dan gila. Dari berbagai rangkaian dalil di atas, sehingga dalam putaran hukum fiqih dibuatlah hukum yang menyebutkan hanya ada dua sebab yang termasuk udzur dalam sembahyang (tidak ada dosa) namun tetap wajib diqadha. Kedua perkara tersebut adalah tidur dan lupa. Jadi selain kedua waktu itu tidak ada jalan sama sekali untuk menginggalkan sembahyang –lain dengan wanita yang ada sebab lain seperti haidh – juga selain orang gila (orang gila tidak wajib shalat). Jelaslah bagi kita ummat Islam bahwa selama tidak ada jalan sama sekali untuk menginggalakan sembahyang. Sekalipun dalam keadaan takut (khawf) maka dalam keadaan ini ia boleh shalat bagaimana yang memungkinkan baginya, seperti misalnya apabila perlu sambil berlari, tiarap, dsb. Shalat juga merupakan amalan yang paling pertama ditanyakan dalam kubur. Untuk itu perhatikanlah kembali shalat kita, segeralah kita qadha sembahyang yang pernah kita tinggalkan sebelum umur kita habis. Karena setiap detik kita melalaikan waktu qadha yang padahal kita mampu waktu itu untuk mengerjakannya, maka kita selalu dijerat dengan tali dosa. Waspadalah meninggalkan sembahyang. Kemelaratan ketika hidup di dunia ini, ketika sakratul maut, ketika di alam kubur, ketika hari qiamat, ketika padang mahsyar, sampai ketika neraka nanti selalu mengiringi mereka yang meninggalkan shalat. Maka, shalatlah sebelum kita di shalati. Semoga ulasan singkat ini ada manfaatnya khususnya bagi saya dan umumnya bagi pembaca sekalian. Penulis akan coba menyambung tulisan ini dilain kesempatan dengan tema siksa orang yang meninggalkan shalat. Waspada, wapada, waspadalah meninggalkan shalat. Hanya kepada Allah kita memohon segalanya. Fikri Habibullah Muharram Kalau ada yang salah di edit yah. And kalau mau kasih saran atau kritik yang membangun dipersilahkan dengan senang hati dan penuh harap

Tidak ada komentar: