Rabu, 23 Februari 2011

Duhai Cinta, Kau Datang Di Saat Tak Tepat!

Tulisan ini dibuat sekitar enam tahun yang lalu. Sebenarnya, tujuan penulisan ini hanya untuk mengasah daya tulis saya pribadi. Sekaligus memang ada aksidental yang sesuai antara ketukan jemari dan gerak hati ketika awal-awal mengecup dunia pubertas. Namun, ternyata saya baru sadar bahwa di dalam artikel ini ada jawaban dari pertanyaan para pembaca buku TUHAN, IZINKAN AKU PACARAN yang sempat saya buat. Inilah pertanyaan yang paling sering saya terima. Sebelumnya saya mengharap maaf jika ada gaya bahasa yang terkesan kaku, karena tulisan ini – sekali lagi – adalah mediasi saya ketika itu – duduk di bangku SMP – untuk mengasah daya tulis. Saya tidak edit dengan tujuan mengenang badai jerih diri ini Tentunya, gaya tulisan ini tidak sebagus yang tertuang di dalam buku TUHAN, IZINKAN AKU PACARAN yang memang saya yakini lebih membaik dan sedikit menyastra. Sekali lagi, tulisan ini sekedar bahan latihan saya. Juga untuk Anda yang ingin jadi penulis, ya sering-sering berlatilah. Seperti ini. Insya Allah, akan ada manfaat suatu saat. Dan terakhir, semoga tulisan ini bermanfaat buat Anda. Selamat membaca.


Selasa, 22 Februari 2011

Pemesanan Buku dan Kontrak Bedah Buku

ASSALAAMUALAIKUM WR. WB. Kepada seluruh komunitas group, blog, yang bergabung maupun yang saya gabungkan, Alhadmulillah, mulai sekarang kami menerima pemesanan buku TUHAN, IZINKAN AKU PACARAN untuk seluruh Indonesia. Caranya? Untuk sementara (karena manajer lagi sibuk pulang kampung) silakan menghubungi nomor pribadi saya di 0852 60 444 747. Transaksi bisa dilakukan via sms/fb ketika admin dalam posisi online. Pemesanan bisa hingga di atas 100 ex dengan harga semakin murah. Namun kami tetap menjanjikan harga yang tak lebih dari Rp. 32.000/-buku (dari harga asli di toko-toko buku besar Rp. 36.900). Jika pemesanan semakin banyak, harga bisa sampai turun drasitis hingga 25.000. Pembayaran nantinya bisa melalui transfer ke BNI 0197060543 atas nama Fikri Habibullah Muharram Cabang Margonda Depok. Kami berusaha untuk memberikan pelayanan terbaik dengan ongkos kirim yang relatif murah (dengan estimasi waktu tertentu pula). Terbukti, beberapa hari yang lalu kami mengirimkan 100 exemplar ke daerah Aceh (pelosok) dengan ongkos kirim tak sampai Rp. 500.000. Jika dikirim via jasa lain seperti TIKI bisa mencapai 1.700.000. Kami sering pula menghadiri undangan-undangan bedah buku ke berbagai daerah. Namun kami mohon maaf jika saat jadwal kuliah kami aktif, acara yang berbentrokan dengan jadwal kuliah kami (smester 2) , akan dipertimbangkan waktu kembali. Kami ucapkan terima kasih bagi seluruh pemesan buku yang mempercayai layanan ini. Semoga bermanfaat dan menggairahkan para pembacanya. Salam bahagia...... Fikri Habibullah Muharram (penulis)

Minggu, 20 Februari 2011

Saat Rasa Menyergah Hati, Namun Alasan Menjadi Kokoh

Aku merenung, saat usia bertambah. Duhai, Salim, indahnya kau menempuh hidup di dua puluh tahunmu yang lebih. Hilang Satu Kekhawatiran Jika usia kita 20 tahun, lebih kurang 6 atau 7 tahun sudah kita didera kegelisahan. Jika ejawantah rasa gelisah itu beraneka, maka memang ianya kembali pada masing-masing pribadi kita. Selalu ada pilihan. Dan konsekuensi dari pilihan adalah tanggung jawab yang akan dipertanyakan. Ada kala sang gelisah menjadi kegenitan yang kita nikmati. Ada kala menjadi ketertekanan jiwa yang tak menghasilkan apa-apa. Atau menjadi motivasi 'amal yang luar biasa saat terampil mengelola. Tetapi bagaimanapun, seperti kata Imam Ahmad, jika seorang pemuda tak berkeinginan untuk segera menikah, hanya ada dua kemungkinannya. Yaitu ?diragukan?, atau banyak berma'shiat. Ada yang bersikukuh menunggu usia 25. Sunnah Rasul katanya. Padahal Muhammad menjadi Rasul di usia 40, bukan sebelum 25. Mungkin lebih tepat sunnah Muhammad namanya. Dan sunnah Rasul tentunya justru berbunyi: ?Wahai sekalian pemuda, siapapun di antara kalian berkemampuan dalam ba'ah, maka hendaklah ia menikah. Sungguh ia, lebih tunduk bagi pandangan dan lebih suci bagi kemaluan. Dan barangsiapa belum berkemampuan, maka hendaklah ia berpuasa. Sungguh puasa itu benteng baginya.? (HR Al Bukhari dan Muslim) Tak berkait dengan angka. Begitulah kita memaknai ?usia pernikahan?. Tetapi, kata Ustadz Mohammad Fauzil 'Adhim, kata-kata ?Dan barangsiapa belum berkemampuan? berarti pengecualian. Dan pengecualian berarti sangat sedikit. Maka jika 'Ali menikah di usia 18, Usamah ibn Zaid 17 tahun, berapa tahun lagi kita harus menunggu? Betapa tinggi biaya sosial atas banyaknya pembujang. Biaya untuk kegelisahan-kegelisahan. Biaya untuk pemborosan-pemborosan yang nir pertanggungjawaban. Maka, jika Allah mendeklarasikan akan memperkaya orang yang menikah di Surah An Nuur ayat 32, maka benarlah nikah adalah separuh agama, soal yakin tidak kepada Allah Ar Razzaqul Wahhab. ?Jika seorang hamba menikah, maka menjadi sempurnalah setengah agamanya. Maka hendaklah ia bertaqwa kepada Allah pada setengah yang lainnya.? (HR Al Hakim dan Ath Thabrani, dari Anas ibn Malik. Al Albani berkata: hasan) Jika menikah mengeliminasi kegelisahan-kegelisahan kita yang terakumulasi selama 6, 7, 8, atau 10 tahun, menggantinya dengan kelengkapan separuh agama, maka benarlah kiranya: HILANG SATU KEKHAWATIRAN! Baarakallaahu laka, wa baarakallaahu 'alaika, wa jama'a bainakumaa fii khaiir... -=-=-=-=-=-=-=-=-= salam penuh cinta untuk yang merindukan pernikahan

Menghijrahkan Makna "Jatuh CInta" kepada "Bangun Cinta"




- Ancang-Ancang Hati Menyikapi Valentine –

Salman Al-Farisi merasa telah tiba saatnya untuk menjemput panggilan jodoh, menikah. Seorang wanita Anshar yang memang dikenalnya sebagai wanita shalehah dan berdedikasi tinggi terhadap Islam, telah mengambil tempat di hatinya. Dan tentu saja bukan sebagai sang pacar. Tetapi menjadi sebuah konsekuensi dari sebuah pilihan yang dirasa tepat. Pilihan menurut nalar yang logis dan akal sehat. Pilihan yang berdasarkan nurani juga ruh suci.

Namun bagaimana pun, ia merasa asing di sini. Madinah bukanlah tempat kelahirannya. Madinah bukanlah kota tempat ia tumbuh dan dewasa. Madinah memiliki adat, budaya, bahasa, dan pernak-pernik kehidupan yang berbeda dari tempat kelahirannya, sekaligus belum terlalu ia kenal. Hingga ia berpikir bahwa melamar seorang gadis

Madinah adalah perkara yang memelikkan bagi seorang pendatang sepertinya. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi Madinah dan mau membantu ia menemui sang gadis untuk menyampaikan maksud lisan melamarnya. Maka diceritakanlah unek cintanya itu kepada sahabat Anshar yang dipersaudarakan dengannya, Abu Darda. ”Subhanallah ... Wal hamdulillah...” girang ria Abu Darda mendengar tuturan Salman yang berrencana meminang seorang gadis Madinah.

Mereka tersenyum bahagia dan berpelukkan. Setelah persiapan dirasa memada, beriringanlah kedua sahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru tengah kota Madinah. Itulah rumah seorang gadis shalihah lagi bertaqwa yang telah disiapkan tempatnya di hati Salman. ”Saya adalah Abu Darda, dan ini saudara saya Salman seorang Persia. Sungguh Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islamnya dengan jihad. Dia memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Rasulullah SAW, hingga-hingga Beliau menyebutnya sebagai ahli baitnya.” Fasih lincah Abu Darda menuturkan maksud Salman Al-Farisi dengan bahasa Bani Najjar yang paling murni.

“Adalah kehormatan bagi kami,” ucap tuan rumah dengan sedikit berparas seri, ”Menerima Anda berdua sebagai sahabat yang mulia. Dan adalah kehormatan besar bagi keluarga ini untuk menautkan seorang sahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi, hak jawaban sepenuhnya saya serahkan kepada puteri kami.” Sambil si tuan rumah memberi isyarat ke hijab yang dibelakangnya sang puteri menanti dengan segala debar kecamuk di hati. ”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata seorang wanita yang merupakan Ibu kandung dari gadis shalehah yang ingin dilamar Salman. Ternyata sang ibu mewakili suara sang puteri tercintanya. ”Tetapi karena Anda berdualah yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abu Darda memiliki urusan yang sama, maka puteri kami menyiapkan jawaban mengiyakan.” Jelas dan lugas sudah semua tertutur. Ada badai ironi yang berkecambuk keras meliuk-liuk di antara hati Salman dan Abu Darda`. Ternyata sang puteri lebih tertarik pada Abu Darda dari pada pelamar sesungguhnya!

Ya. Ini sangat mengejutkan dan benar-benar ironi. Emosi membadai yang sulit dijangkah, sekaligus mengindahkan. Mengapa membadai? Karena inilah persaudaraan cinta yang sama-sama berebut tempat di hati. Tapi juga indah. Mengapa? Karena Salman langsung berseru ”Allahu Akbar....! Semua mahar nafkah yang telah kupersiapkan ini akan aku serahkan padamu Abu Darda, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian.” --- Cinta tak harus memiliki! Itu yang sering terucap oleh para remaja saat ini ketika cinta menggelayuti kecambah hatinya. Dan sejatinya, kita memang tidak pernah memiliki apapun dalam kehidupan ini. Seberharga apapun sesuatu itu, tetap ia menjadi prerogatif Allah yang suatu saat bisa diambil kapan saja dan dengan cara apa saja. Terserah Allah. Dari kisah mulia Salman, mengajarkan kepada kita untuk meraih kesadaran tinggi di tengah perasaan yang berkecamuk rumit; malu, kecewa, sedih, merasa bersalah memilih muqaddimah, dan seterusnya.

Sungguh ini tak mudah. Dan kita memang selalu merasa memiliki seseorang yang sangat kita cintai. Maka mari belajar kepada Salman tentang betapa sebuah kesadaran harus dimunculkan dalam situasi yang tak mudah. Ya. Itulah menggeser makna dari jatuh cinta kepada bangun cinta. Dan Salman telah mencetuskan teori indah itu. Mungkin ini yang orang Jawa mempribahasakannya dengan, ”Milik nggendhong lali.”

Maka menjadi seorang manusia yang hakikatnya hamba adalah belajar untuk menikmati sesuatu yang bukan milik kita, sekaligus mempertahankan kesadaran bahwa kita hanya dipinjami. Ah. Inilah letak kesulitannya. Memaknai kisah Salman ini, penulis teringat akan sabda Umar bin Khattab kepada Rasulullah tentang ketulusan hatinya mencintai Rasulullah. ”Ya Rasulallah”, kata Umar perlahan, ”Aku mencintaimu seperti kucintai diriku sendiri.” Beliau SAW menjawab. ”Tidak wahai Umar, engkau harus mencintaiku melebihi cintamu pada diri dan keluargamu.” ”Ya Rasulallah, mulai saat ini engkau lebih kucintai daripada apapun di dunia ini” ”Nah, begitulah wahai Umar.” ---

Membaca kisah ini, Fikri takjub dan bertanya bahwa sebegitu mudahkan bagi Umar untuk menata ulang cintanya dalam sesaat dan hitungan kejap? Sebegitu mudahkah cinta digeser ke bawah untuk memberikan celah yang lebih besar pada cinta sang Nabi? Ya. Dalam waktu yang sangat singkat. Sangat singkat. Mungkin, bagi kita tak semudah itu. Cinta berhubungan dengan buhul-buhul hati yang yang sangat sulit di-remove dari mula posisinya. Tetapi Umar bisa. Dan mengapa dia bisa? Ternyata, bagi seorang Umar yang berjiwa keras dan tegas, cinta cukup dimaknai sebagai kata kerja.

Ya. Cinta adalah kata kerja, bukan kata sifat. Umar tidak rumit-rumit untuk menata ulang kerja cintanya. Cukup dibuktikan dengan amal nyata dalam mencintai. Biarlah hati kita menjadi makmum bagi kerja yang menjadi dasar cinta kita pada suatu objek. Kepada guru misalnya. Maka bersungguhlah kita dalam belajar, sebagaimana anjuran sang guru. Belajar dengan tekun dan giat, merupakan wujud cinta seorang murid kepada guru. Atau buktikan cinta kita kepada orangtua dengan belajar sungguh-sungguh. Begitupun kepada isteri. Nah, dari sini kita bisa memaknai sebagaimana yang ditulis Salim A. Fillah yang mengutip The Art of Loving bahwa; ”Cinta itu seni” tulisnya. ”Maka cinta memerlukan pengetahuan dan perjuangan. Sayang, pada masa ini cinta lebih merupakan masalah dicintai (to be loved), bukan mencinta (to love), atau kemampuan untuk mencintai”.

Singkatnya, cinta itu tak hanya berkorban, tapi diperjuangkan. Maka menggeser makna jatuh cinta kepada bangun cinta berarti mengambil peran besar menjadi seorang pencinta yang sesungguhnya. Dan ketahuilah, tak banyak orang tahu tentang ini.  --- Menyinggung sedikit valentine yang erat kaitannya dengan jatuh cinta, merupakan trend mode yang merusak hakikat dan arti dari cinta itu. Pacaran? Mungkin ini yang menjadi key word inti tulisan ini. Sebagai manusia, kita memang telah difitrikan dengan cinta, sehingga banyak remaja saat ini yang menerjemahkan makna cinta dengan pacaran. Lalu, benarkah pacaran sebagai wujud cinta yang sesungguhnya? Benarkah pacaran mampu mengantarkan sepasang insan kepada pintu cinta abadi? Benarkah pacaran membuat hidup kita meletup-letup keras dengan gairah semangat hidup yang dahsyat? Secara menyeluruh, Fikri pernah menjabarkan panjang lebar tentang pertanyaan-pertanyaan di atas dalam buku Tuhan, Izinkan Aku Pacaran. Pada kesempatan ini, penulis ingin mencoba menjabarkan sedikit point tentang arti dari sebuah pacaran – sebagaimana momentum valentine yang diakrabkan maknanya dengan jatuh cinta – insya Allah.

Fikri berani memberikan jawaban bahwa pacaran adalah hal wajib jika kata pacaran diakronimkan sebagai pakai cara nikah. Itu artinya, jika kita ingin pacaran yang halal, ya menikahlah! Akan tetapi, makna pacaran akan kabur sekaligus suram jika diterjemahkan sebagaimana aktifitas baku hantam haru biru rindu yang sering dilakukan remaja sekarang ini. Pacaran adalah ya seperti yang kita lihat! Karena memang, tidak ada definisi yang jelas tentang arti pacaran. Pacaran ya hanya sekedar pacar yang tujuannya having fun.

Mengapa harus having fun? Karena inilah yang membedakan antara orang yang menikah dulu lalu pacaran, dengan orang yang pacaran dulu baru menikah. Orang yang pacaran dulu lalu nikah, biasanya ia hanya ingin menampakkan sesuatu yang indah-indah saja. Karena sangat jarang, bahkan tidak mungkin sepasang kekasih akan menunjukkan kelemahannya kepada kekasihnya. Malu! Hingga pun jika ada sepasang kekasih yang sedang melakukan transferisasi perasaan masing-masing dengan menyebutkan kekurangannya satu-persatu, sebenarnya ia bukan saling membuka diri, melainkan bahwa ia sedang melakukan proses penopengan diri yang sewaktu-waktu bisa terungkap.

Biasanya setelah menikah. Bumbu-bumbu indah yang semestinya ia gunakan ketika pernikahan nanti bersama kekasih yang halal, telah habis digado selama ia berpacaran dengan kekasih yang tidak jelas statusnya. Hingga nanti jika ia tetap mempertahankan status pacarannya itu, akan terkuak empat atau tiga tahun setelah menikah tentang kejelekan-kejelekan yang tidak terlihat selama masa-masa pacarannya. Ya. Memang pacaran hanya untuk keindahan. Teori kimia cinta inilah yang dituturkan oleh Helleh Fishker, dimana proses emosi cinta manusia akan berkembang cepat dan turun drastis dengan cepat pula selama masa empat tahun. Setelah itu padam. Mungkin ini yang menyebabkan angka perceraian tinggi, setelah membahterai pernikahan selama empat tahun. Lalu retak. Lain halnya dengan orang yang menikah dulu baru pacaran. Biasanya, pernikahan model ini yang tetap terjaga awet dan tetap harmonis. Dimana ketika mereka tidak mengenal sama sekali atau memang tidak terlalu mengenal pasangan hidup yang baru dilihat pertama kalinya, dan itu terjadi setelah aqad nikah ditunai? Bersama seorang kekasih yang halal dan telah sah menjadi isteri, tempat hati bersandar lelah dari beban dan derita? Bukankah kenikmatan-kenikmatan pertemuan pertama itu terjadi ketika salah tingkah? Dan mungkinkah salah tingkah ini akan terjadi jika seseorang sudah terlalu mengenal pasangan hidupnya? Lalu, bagaimana jadinya jika semuanya sudah dilakukan? Mungkinkah salah tingkah ini akan terjadi? Sesuatu apa yang akan dirasakan bersama ketika sebelumnya sudah dirasa semua? Anda paham jawabannya. Maka yang sebenarnya, menyandang status janda atau duda lebih mulia dibanding mantan pacar si A. Mengapa? Karena setidaknya ia telah berani memerdekakan cintanya di jalan yang diridhai Allah melalui pintu pernikahan, walau pun harus kandas ditengah jalan karena berbagai macam hal perceraian, entah karena cerai mati atau keadaan-keadaan tertentu yang mengharuskan untuk membuka pintu perceraian.

Tentu, dengan sebuah konsekuensi bahwa nikah bukan alasan ”dari pada pacaran” Tapi pada dasarnya, sang janda atau duda adalah mujahid cinta yang telah berani menghidupkan dan menghijrahkan makna jatuh cinta kepada bangun cinta. Sebagai penutup, marilah sama-sama kita menghijrahkan cinta dari kata sifat menuju kata kerja, maka peradaban indah akan tersusun damai dan akrab di hati nurani para perindu Illahi. Jadikan cinta sebagai pengiring, bukan tujuan. Biarlah cinta menjadi makmum dari amal-amal shalih kita. Demi Allah, cinta adalah pengiring, bukan tujuan. Jadilah kita imam atas cinta, bukan makmum yang diperkosa oleh cinta. ”Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi kamu mencintai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah : 216) Dalam jihad, cinta menjadi sederhana. Bukan lantaran kita tidak suka melihat darah tumpah, bukan karena kita menyukai anyir peperangan. Perasaan kita boleh tetap membencinya.
Tapi cinta adalah sebuah kata kerja dalam ucapan para sahabat; Kami siap untuk mendengar dan taat, baik dalam keadaan rajin maupun malas, baik dalam suka maupun duka, dalam keadaan rela maupun terpaksa.

(Artikel ini pernah dipublikasikan di buletin Nabawi Darus-Sunnah International for Hadith Sciences)

Dalam Badai Cinta, Dekap Aku Lebih Erat

Jika syarat menulis perlombaan ini didasarkan pada pengalaman pribadi seorang ibu, maka saya bukanlah termasuk darinya. Saya remaja laki-laki yang saat ini masih berusia 19 tahun, selain masih tercatat sebagai mahasiswa semester pertama di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, saya memiliki hobi menulis yang kuat. Melalui menulis yang telah menjadi hobi dan bagian hidup inilah saya tuangkan bakat. Dan Alhamdulillah, pada usia 18 tahun saya berhasil menerbitkan buku dengan judul Tuhan, Izinkan Aku Pacaran, yang diterbitkan oleh Gema Insani Press. Sampai saat naskah ini ditulis, buku saya sudah naik cet

Kamis, 10 Februari 2011

MUSUH BERSELIMUT KACA (Suara Globalisasi, Islamku Internetku)

Untuk Anda yang berbahagia dengan internet, saya rasa tidak masalah. Karena berbicara tentang internet secara global, memang memiliki keunikan tersendiri bagi kita yang selalu meningkahi kehidupan dengannya. Namun, ketika pembicaraan ini kita sodorkan pada user masing-masing, maka berbicara sisi batilnya adalah sesuatu yang tak bisa kita telak. Mafia internet, begitu kita istilahkannya. Insya Allah, kita akan membicarakan tentang sisi ini nanti. Seperti kita tahu saat ini, dunia memang telah menampakkan sisi modernitasnya. Zaman dimana segalanya serba berteknologi. Saat keterjarakan samudera serasa seperti di depan mata. Saat lambatnya hari-hari yang berlalu seperti mengilat cepat. Ya. Karena semua serba dekat dan cepat. Mungkin ini yang sering kita sebut dengan zaman globalisasi. Zaman yang tak lagi menampakkan jarak. Telah kita pahami bahwa era globalisasi salah satunya ditandai dengan semakin dekatnya jarak antarkota, daerah, bahkan negara. Dengan teknologi telepon misalnya, kini telah berkembang telepon seluler tanpa kabel. Tak mampu dibayangkan dulunya kita, saat telepon umum diserbu dimana-mana, warung telepon menjadi tempat domisili utama untuk mengantarkan berita yang sifatnya mengikat tempat. Pastilah merepotkan. Tapi kita tak tahu kalau ternyata dikemudian hari telah berkembang media lain yang lebih memudahkan. Selain telepon, kini ada lagi alat canggih yang tak hanya mengantarkan suara semata, namun juga disertai dengan gambarnya. Sebutlah salah satunya televisi. Dengannya, kita dapat menyaksikan dan mendengarkan suara rakyat dari berbagai seantreo dunia secara langsung. Piala dunia contohnya. Sekali pun pertandingannya diadakan di Afrika, namun masyarakat di Indonesia dapat menyaksikannya secara langsung tanpa harus menunggu kabar berlama-lama hari. Lalu, apa yang paling menerik di kemudian hari? Nah, inilah yang kita tunggu-tunggu; internet. Ialah ruang informasi terluas tanpa batas. Ia mampu menyediakan informasi yang kita butuhkan tanpa harus menunggu lama-lama, apalagi berrepot-repot diri. Cukup hanya menekan tombol, dan klak-klik sana-sini, semua siap disantap dan dilahap. Jika ingin berkeliling dunia, usahlah kita berrepot-repot menggunakan kapal terbang dengan ongkos jutaan rupiah. Jika ingin tahu informasi tentang Amerika misalnya, maka cukup duduk di depan monitor yang ada di dalam kamar kita, lalu dalam hitungan detik, seluruh wilayah di Amerika dapat kita jelajahi dengan ringannya. Apapun, kapan pun, dan dimanapun. Inilah internet, sesuatu yang dapat menolong manusia, namun juga tak sedikit yang terjeblos karenanya. Dari yang sifatnya ibadah sampai dengan haram jaddah, semua ada. Maka berbicara sedikit tentang persiapan kita untuk menggapainya, setidaknya ada yang harus kita asah, sebagai modal terbaik untuk menyongsong hari cerah membahagia. Agar globalisasi tak hanya dijadikan media untuk hidup, namun juga penuh manfaat. Apalagi bagi kita yang merasa diri berhamba, pastilah sangat tepat jika ia dijadikan wasilah untuk beribadah. Menakjubkan sekali urusan orang beriman, kata Rasulullah. Mengapa? Karena segala urusannya adalah untuk kebaikan. Maka semoga, tulisan ini akan membuat Rasulullah kelak takjub. Bukan karena canggihnya internet, padahal Rasulullah tak terlalu perlu tahu itu, namun karena kita berharap agar internet dapat dijadikan wahana untuk kebaikan dan kebenaran. Dan inilah cerminan mukmin sejati. Dalam risalah globalisasi, ada kebaikan dalam berinternet. Dan ini yang kita harap bukan? --- Islam diturunkan ke muka bumi melalui perantara Nabi Muhammad, bukan untuk menelak hadirnya media internet. Namun lebih kepada solusi atas segala permasalahan dunia. Karena Islam adalah langsung datang dari Allah, bukan manusia. Maka Yang Paling Tahu tentang sekelumit permasalahan dunia pastilah Allah. Islam membawa konsep yang sempurna dalam berbagai bidang, seperti internet. Islam membebaskan kita untuk berekspresi apapun dengan internet, asal tidak melanggar rambu-rambu yang Allah gariskan. Tentu, ini tak hanya sekadar perintah, namun ada hikmah yang terkandung di balik larangan tersebut. Peradaban internet dalam Islam, selalu memberikan warna dan solusi bagi kita. Islam menjadi tata hidup terbaik bagi dunia per-internetan. Sebab yang datangnya dari Allah, pastilah ia benar. Sedang internet dikembangkan oleh manusia, maka segala sistem yang dibuat manusia pasti memiliki sisi-sisi kebatilan yang jiwa-jiwa shalih dan sehat tak membenarkan akan itu, sekali pun hal-hal kecil. Karena kesalahan pastilah ada. Ada yang secara sengaja, ada juga yang memang disengajakan untuk salah. Maka internet, dalam hal ini, tak jua memungkiri akan sisi tak diharapkan itu. Kita pernah mendengar fatwa haram ber-facebook beberapa silam lalu, bukan? Nah, inilah sebabnya. Kalau begitu, Islam dengan segala yang teratur di dalamnya, pastilah sangat relevan dengan kehidupan modern. Ia mempersilakan kepada kita untuk menggunakan internet kapan pun dan dimana pun kita perlu, asal dengan tujuan baik. Karena internet adalah air putih, jika diteteskan cairan tinta yang hitam, walalu pun satu tetes, maka segalanya akan hitam memburam. Namun, jika ditaburi dengan gula yang manis, internet pun akan terasa manis dan nikmat untuk disuguhi. Maka berbicara tentang internet dalam Islam, yang lebih harus dititikberartkan bukan di internetnya, tapi kepada user/penggunanya. Internet adalah mobil. Dan kitalah supirnya. Terserah, kemana kita ingin membawa internet itu. Entah ke jurang, ke tempat yang bermanfaat, atau kemana pun, terserah! Namun tetap, akibatnya akan kita rasakan sendiri. Jika internet kita kemudikan ke jalan yang salah, maka pastilah Islam melarangnya. Namun jika ia membawa kemaslahatan, toh Islam mempersilakan dengan sangat hormat. Karena internet memudahkan, dan Allah suka bermudah-mudah, bukan untuk mempersulit hamba-Nya. Tentu, kita tak ingin mendengar Republika yang mencatat statistit suram tentang internet, bahwa lebih dari 60% anak-anak kelas IV SD di kota-kota besar, telah mampu mengkonsumsi situs-situs internet yang berbau pornografi. Maka skill kita saat ini bukan untuk menambah daftar urut angka itu. Lantas, apa yang harus kita lakukan untuk meminimalisir angka itu? Masing-masing punya teori. Yang jelas, Rasulullah datang membawa tawaran surga dan neraka. Lalu mendidik para sahabatnya dalam tarbiyyah/pendidikan yang intens. Agar yang kita pilih adalah surga, dan yang kita jauhi adalah neraka. --- Ada aksioma yang kita yakini, bahwa di dunia ini senantiasa terjadi pertarungan antara yang hak dengan yang batil. Dan itu terjadi pada dunia maya. Masalahnya, harus diakui bahwa setiap manusia mempunyai kepentingan masing-masing. Nah, kepentingan saja berbenturan. Apalagi latar dari kepentingan yang ada dalam dada dan kepala manusia itu masing permasingnya, pastilah harus melewati jalan pemikiran yang dirasa rumit. Mengukur mana yang haq dan yang batil tak perlu repot kita mempermasalahkannya. Di sana, dalam landasan konsepsi, metode gerak, dan hasil serta dampak dari internet hanya ada dua: Hizbullah dan Hizbus Syaithani. User Allah dan user syaithan. Sebutlah demikian. Di sini terlihat, kata Sayyid Quthb dalam Zilal-nya, medan yang membentang luas, penuh sesak oleh manusia dalam dinamika yang saling mendesak, saling berlomba, dan saling mendorong mencapai berbagai tujuan. Tetapi di belakang itu semua, ada tangan yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengatur, yang memegang semua kendali dan menuntun parade yang saling berdesakan, saling menjatuhkan, dan saling berlomba cepat itu, ke arah kebaikan, kemashlahatan, dan pertumbuhan, di akhir perjalanan.” Ya. Sayyid Quthb memang benar. Jika kita kaitkan dengan karakter internet yang berbau batil memang pastilah zahuuq (lenyap), tertutup, dan kalah. Ketika Rasulullah membuka Makkah bersama 10.000 bala tentaranya, beliau memasuki Ka`bah, lalu menghancuri berhala-berhala, dan membaca ayat ini, Dan katakanlah, “Yang benar telah datang dan yang batil akan lenyap” Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap,” (Q.S. Al-Israa : 81) Tetapi mengapa kini kita menyaksikan kebathilan dalam internet itu seolah senantiasa eksis? Karena yang benar tidak datang untuk mendesak yang batil. Karena kebenaran berdiam-diam di masjid-masjid, dan bersembunyi dalam mihrab-mihrab, sibuk dengan status dakwahnya di facebook, atau bahkan mengelola situs yang memiliki manfaat sejuta ummat. Karena kebenaran lebih memilih diam di saat kebatilan berbicara. Karena kebenaran tak pernah mendesak dan memusnahkan syaithan internet itu dengan aplikasi canggihnya. Islam dalam risalah globalisasinya memang mulia. Sekali lagi, sungguh mulia. Dulu, kita baca sejarah-sejarah ketika jalan dakwah buntu, ketika para Rasul telah habis-habisan berusaha untuk bekerja dalam dakwah, lalu tertatih-tatih dan terseot-seot langkah itu bergerak, Allah sendirilah yang kemudian menurunkan azhab-Nya kepada hamba-Nya yang enggan untuk mengikuti jalan kebenaran, bukan jalan batil. Kita, sebagai insan beriman, dalam berinternet tentu memiliki persepsi dashyat. Ketika Nabi diusir, dilempari bebatuan, dikejar-kejar hingga berdarah-darah, ia tak berdoa seperti Nuh untuk membinasakan kaum itu. Ia justru berdoa agar Allah mengampuni karena ketidaktahuan mereka. Ia justru berharap jikapun mereka tak beriman, kelak anak-anak mereka yang akan beriman. Dan Allah, sekali lagi menegaskan keistimewaan itu untuk kita, Perangilah mereka, niscaya Allah yang akan menyiksa mereka dengan tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman. (Q.S. At-Taubah : 14) Jika untuk menghancurkan kaum sebelum Allah menggerakkan kekuatan tentara alam, kini Allah memanggil kita untuk berpartisipasi. Maka dalam moment lomba menulis ini, adalah saat yang tepat bagi saya untuk mencurahkan hal ini kepada mereka yang lalai dalam berinternet bahwa, adzab Allah bagi penentang dan perusak negara, apalagi agama, akan datang lewat tangan-tangan dan ketukan jemari orang-orang mukmin di atas tuts keyboard tulisannya, bukan bencana alam. Siksa itu akan kelak mereka rasakan sebagai sebuah desakan dari kebenaran atas kebatilan melalui upaya yang sistematis dan terprogram. Karena saat ini, kita tak hanya mengenal kriminal dalam dunia nyata, tetapi maya pun ada. Dan kadang-kadang ini yang lebih menyakitkan hati. Bersiaplah, berperanglah untuk membasmi kebatilan dalam berinternet. Selebihnya, Allah-lah Sang Penolong. Seperti doa yang menjerti di hati mulia di padang Badar, “Ya Allah, jika golongan ini Engkau biarkan binasa, Engkau tak akan disembah lagi di muka bumi… Ya Allah, kecuali jika memang Engkau menghendaki untuk tidak disembah lagi selamanya setelah hari kami ini!” Saya berpikir, jika para ulama dan umara yang ingin membasmi kemungkaran itu bergerak dalam dunia non-maya, lantas, jika bukan saya (baca : diri kita), siapa lagi? --- Medan sejati kita, insya Allah memang perang mempertaruhkan jiwa, hingga tulisan ini berbicara dalam lomba. Tetapi agaknya di luar medan final ketika besi bertemu besi dan api bertemu api, hari-hari ini kebatilan memilih satu sarana untuk perang dan membungkam kebenaran. Tulisan. Ya. Tulisan. Dominasi yang terkuat ditentukan oleh tulisan. Karena internet tak banyak bersuara, namun berkata dengan kata-kata dalam menulis. Maka semoga, Bhineka Blog Competition memangkan tulisan ini bukan karena ihwal bagusnya tulisan, atau indahnya berkata, atau pun beda dari yang lainnya, melainkan sebuah tulisan yang berani berbahasa dengan kata-kata untuk mewaspadai musuh berselimut kaca. Karena dari sinilah kekhawatiran itu bermula, kita terjebak permainan lawan yang batil, padahal kita memperjuangkan kebenaran. Karena dimana ada dakwah kebenaran, di situ Allah kan hadir membantu. Dakwah lebih sulit bersikap menghadapi tiran-tiran sosialis mapupun raja dan emir yang berlindung di balik beningnya kaca. Ah, maaf jika saya menggunakan kata “musuh”. Kata orang Betawi, “Musuh jangan dicari. Kalau ketemu jangan lari. Lu jual, gue beli!” Begitulah keberanian tulisan ini. Karena ia tak menjual kebenaran dalam berinternet, melainkan membeli kebatilan untuk kita hancurkan bersama-sama. Dan mungkin inilah perwakilan dari suara-suara da`i di dunia internet. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Kalau bukan kita, siapa lagi? Karena kebenaran memang ditaqdirkan untuk menang. Karena kita ingin senantiasa bersama kebahagiaan dalam dunia internet. Kalau tulisan ini dianggap kesalahan, maka semoga kami dikaruniai kesabaran, hingga syahid sebagai orang muslim yang berserah pasrah. Ya. Dalam bersuara atas atas nama globalisasi di internet, dengan apa kita menghadapi musuh atau sebut saja mafia internet? Tentu saja dengan cinta. Karena cinta bukan hanya pelukan hangat, belaian lembut, atau kata-kata penuh dayu. Kita belajar apa itu cinta dari apa yang terjadi di muka bumi, atau pun di muka bermayakan internet. Dari cahaya matahari, dari sepasang merpati, dari sujud dan tengadah doa. Dari kebencian musuh, dari iri dengki para lawan. Dari ketidaktahuan orang yang ingkar degilnya pikiran si munafiq. Dari apapun! Karena inilah suara globalisasi. Islamku, internetku..! http://www.bhinneka.com