Selasa, 18 Agustus 2009

ikhlas bahan bakar mukmin sejati

Jika ada dua orang yang selalu sukses dalam kehidupannya ia diberikan anugrah dan kesempatan yang cukup oleh Allah hidup di dunia ini. Sukses pekerjaannya, ibadahnya, menjadi orang yang terhormat dikalangan masyarakat, harmonis dalam berkeluarga, dan mereka memenuhi seluruh amanah dan tanggung jawabnya di hadapan Allah dan manusia. Kemudian apabila ditanya, manakah diantara keduanya yang paling sukses, mungkin mereka akan menjawab “orang yang bekerja lebih keras”. Akan tetapi, kalau ditinjau dari jawaban tadi lebih seksama lagi, kita akan menyadari bahwa definisi sukses tersebut adalah bedasarkan kriteria duniawi dan tidak berdasarkan Al-Qur`an. Menurut Al-Qur`an suksesnya seseorang dalam beramal adalah bukan dari kerasnya dalam bekerja, bukan pula mencapai penghormatan atau cinta dari orang lain, terlebih mengharapkan imbalan atas kerjanya selama ini. Melainkan keyakinan dari dalam hati mereka akan Islam. Amal baik yang mereka kerjakan adalah semata untuk mengharapkan keridhaan dari Allah, dan niat baik mereka terpelihara dalam hati. Itulah yang disebut dengan kriteria unggul dalam penilaian ikhlasnya seseorang dalam beramal dihadapan Allah. Sebagaimana termaktub dalam Al-Qur`an “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketaqwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (al-Hajj [22]: 37) Sebagaimana disebutkan diatas, amalan yang dilakukan seseorang dengan menyembelih seekor binatang karena Allah. Akan dinilai-Nya bergantung pada ketaatan atau rasa takutnya kepada Allah. Daging atau darah apapun yang disembelih dengan menyebut nama Allah itu tidak ada nilainya apapun sama sekali jika tidak dilakukan karena Allah. Dalam agama, ikhlas kepada Allah berarti berusaha mendapatkan keridhaan Allah dan kepuasan-Nya tanpa mengharapkan keuntungan pribadi lainnya. Allah juga telah menekankan pentingnya hal ini di dalam ayat lainnya. Ia telah menunjukkan bahwa agama hanya dapat dijalankan dalam sikap berikut. “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (al-Bayyinah [98]: 5) Dalam perbuatan dan ibadahnya, seorang mukmin sejati tidak pernah berusaha untuk mendapatkan cinta, kepuasan, penghargaan, perhatian, dan pujian dari siapa pun kecuali Allah. Adanya keinginan untuk mendapatkan semua itu dari manusia adalah tanda bahwa ia gagal menghadapkan wajahnya kepada Allah dengan keikhlasan dan kesucian. lain, bukan Allah. Seorang mukmin sejati harus benar-benar cermat menghindarkan dirinya untuk pamer saat menolong orang lain, bertingkah laku baik, beribadah, ataupun berkorban. Satu-satunya tujuan orang yang ikhlas beriman kepada Allah hanyalah mendapatkan keridhaan Allah. Al-Qur`an juga menekankan bagaimana para nabi menjalankan ritual-ritual keagamaan demi keridhaan Allah dan tidak pernah mengharapkan balasan ataupun keuntungan pribadi.

PANDANGAN ISLAM SEPUTAR BOM BUNUH DIRI

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin (semoga Allah merahmatinya) berkata tatkala menceritakan hadits tentang kisah “Ashaabul Ukhdud” (orang-orang yang menanam parit), ketika menyebutkan tentang faidah-faidah yang terdapat dalam kisah tersebut, “bahwasannya seseorang dibenarkan mengorbankan dirinya untuk kepentingan orang banyak, karena pemuda ini memberitahukan kepada raja cara membunuhnya yaitu dengan mengambil anak panah milik pemuda ini.”. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : karena hal ini merupakan jihad fii sabilillah, yang menyebabkan orang banyak beriman, sedangkan pemuda tadi tidak rugi karena ia ia telah mati, dan memang ia akan mati cepat atau lambat.” Adapun perbuatan sebagian orang yang mengorbankan dirinya dengan cara membawa bom kemudian ia datang kepada kaum kuffar (kafir) lalu meledakannya merupakan bentuk bunuh diri – semoga Allah melindungi kita – terhadap dirinya sendiri. Barang siapa yang melakukan bunuh diri maka ia kekal di Neraka Jahannam selamanya, seperti yang telah disinyalir oleh sebuah hadits nabi, karena orang tersebut melakukan bunuh diri bukan untuk kemaslahatan agama Islam. Sebab jika ia membunuh dirinya serta membunuh sepuluh, seratus, atau dua ratus orang, hal itu tidak mendatangkan manfaat bagi Islam dan tidak ada orang yang mau masuk Islam, berbeda dengan kisah pemuda tadi. Bahkan boleh jadi hal ini akan membuat sebagian orang merasa was-was sebagaimana yang terjadi di Indonesia beberapa hari yang lalu. Hal ini pun bukan malah meninggikan Islam justru menghancurkan Islam itu sendiri. Ditambah polemik yang bercampur dalam kasus ini justru membawa nama agama Islam yang menyebabkan Islam – khususnya di Indonesia – semakin dipandang buruk oleh mata dunia. Contoh lainnya, seperti apa yang pernah diperbuat oleh orang-orang Yahudi terhadap orang-orang Palestina. Jika di antara penduduk Palestina satu orang yang mengorbankan dirinya dan ia bisa membunuh enam, atau tujuh orang, maka orang-orang Yahudi akan membalasnya dengan memakan korban enam puluh orang atau lebih. Hal tersebut tidaklah memberikan manfaat bagi kaum muslimin, dan tidak pula orang yang melakukannya. Oleh karena demikian, maka kami berpendapat dalam hal ini bahwasannya perbuatan yang dilakukan oleh sebagian orang dengan mengorbankan dirinya termasuk perbuatan bunuh diri yang tidak sesuai dengan jalan kebenaran, dan menyebabkan pelakuknya masuk ke neraka – semoga Allah melindungi kita – hinnga ia akan merasakan penyesalan yang tiada arti. Pun demikian, pelaku bom itu tidak dikatagorikan sebagai syahid. Akan tetapi jika pelakunya beranggapan bahwa hal itu dibenarkan, maka kami berharap mudah-mudahan ia terbebas dari dosa, tetapi tetap saja tidak dikatagorikan sebagai syahid, karena ia tidak menempuh jalan-jalan yang semestinya ditempuh oleh orang yang syahid. Karena barangsiapa yang berijtihad lalu ia salah maka baginya adalah satu pahala. Pertanyaan : Bagaimana hukum syar`i terhadap orang yang membawa bom ditubuhnya kemudian meledakkan dirinya di tengah kerumunan orang-orang kafir dengan maksud untuk menghancurkan mereka? Apakah bisa dibenarkan beralasan dengan kisah pemuda yang memerintahkan raja untuk membunuh dirinya? Jawaban : Orang yanag meletakkan bom dibadannya lalu meledakkan dirinya dikerumunan musuh merupakan suatu bentuk bunuh diri dan akan disiksa di Nereka Jahannam selamanya, disebabkan perbuatan tersebut, sebagaimana yang telah disabdakan Nabi SAW bahwasannya siapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu ia akan disiksa karenanya di Neraka Jahannam. Kalau kita fikirkan lebih mendalam tentang hal ini sungguh sangat aneh melihat para pelaku bom bunuh diri seperti yang terjadi di Hotel JW. Marriot dan Ritz Carlton beberapa waktu lalu. Adakah tidak mereka membaca firman Allah “Dan janganlah kamu membunuh diri, sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. (Q.S. An-Nisa : 29). Akan tetapi mereka tetap saja melakukannya, apakah mereka akan mendapatkan sesuatu? Apakah musuh telah kalah? Ataukah sebaliknya, mereka semakin keras terhadap orang-orang yang melakukan perbuatan ini, seperti yang sedang terjadi di negeri Yahudi, dimana perbuatan-perbuatan tersebut menjadikan mereka jsemakin sombong, bahkan ada ditemukan data bahwasannya pada pertemuan terakhir golongan kanan menang yaitu mereka yang ingin menguasai bangsa Arab. Akan tetapi orang yang berbuat seperti ini beranggapan bahwa ini adalah pengorbanan di jalan Allah SWT, kami mohon kepada Allah agar ia tidak disiksa karena ia telah menakwilkan dengan takwil yang salah. Dan khusus untuk kejadian di Indonesia hal ini adalah perbuatan yang mutlak salah. Karena bom bunuh diri yang mengatasnamakan jihad – kata mereka – ternyata lebih banyak mengandung unsur mafasid dari pada mashalih yang ada. Seperti membuat sebagian masyarakat merasa resah dan takut apabila berada di suatu tempat yang sangat berpeluang terjadinya hal-hal seperti demikian. Selain itu, perbuatan ini menimbulkan cap buruk kepada sebagian kaum berjanggut yang memang mereka sama sekali tidak ikut terlibat dalam kasus ini. Padahal salah satu ciri-ciri ummat Nabi Muhammad SAW nanti di yaumil mahsyar akan ditandai dengan mereka yang berjanggut, dan ciri-ciri ummat Yahudi adalah mereka yang memanjangkan kumisnya. Yang pada akhirnya kelestarian sunnah ini jadi dipandang buruk akibat ulah para pembom bunuh diri yang mengatasnamakan agama Islam dan berciri-ciri seperti demikian. Adapun beralasan dengan kisah pemuda ashaabul ukhdud tadi, maka perbuatan pemuda tersebut menjadikan orang masuk islam bukannya menghancurkan musuh. Oleh karena itu, ketika raja mengumpulkan orang banyak lalu ia mengambil anak panah dari tempat-tempat pemuda itu seraya berkata “Dengan nama Allah, tuhan pemuda ini, orang-orang pun berteriak : Tuhan adalah Tuhannya pemuda ini, sehingga menghasilkan ke-Islaman orang banyak. Apabila hal ini terjadi seperti kisah pemuda ini maka bolehlah beralasan dengan kisah tersebut. Nabi SAW menceritakan kepada kita agar diambil sebagai pelajaran. Akan tetapi orang-orang yang beranggapan bahwasannya boleh membunuh diri mereka jika mampu membunuh sepuluh atau seratus pihak musuh, hal itu hanyalah menimbulkan kemarahan dalam diri musuh serta mereka semakin brutal dan berpegang kepada keyakinan mereka. Kita do`akan semoga Negara Kita Indonesia tidak ada lagi kejadian seperti ini, dan Allah SWT memberikan hidayah kepada mereka yang melakukan dan akan melakukan perbuatan ini agar mereka insaf dan tahu bahwasannya seorang muslim adalah mereka yang memberikan keselamatan/kesejahteraan dengan tangan dan lidahnya kepada saudara muslim yang lain, bukan dengan memberikan kemudharatan dengan membom musuh yang justru malah melukai saudara mereka sendiri. Wallahua`lam. FIKRI HABIBULLAH MUHARRAM (ikhie_haem@yahoo.co.id)

Senin, 17 Agustus 2009

MENINGGALKAN SHALAT FARDHU

Ulama-ulama serta ummat Islam di Indonesia sedari dulu telah bersepakat bahwa sembahyang yang tertinggal wajib diqadha, dibayar, baik yang tertinggal karena lupa atau karena tertidur atau juga yang sengaja ditinggalkan. Mengerjakan sembahyang yang tertinggal ialah dengan mengerjakan sembayang tersebut bukan lagi pada waktunya, tetapi pada waktu dibelakangnya. Oleh karena begitu hukumnya, maka orang takut meninggalkan sembahyang, karena shalat yang semua shalat yang tertinggal selama ia hidup itu wajib dibayar satu persatu, tidak boleh kurang. Bahkan, andai ada sembahyang yang tertinggal itu belum dibayar (belum diqadha) dan ia wafat, maka ahli warisnya wajib membayar fidyah sembahyang yang tertinggal itu, yaitu memberi makan kepada fakir miskin sebagaimana yang telah ditetapkan dalam rambu fikih. Tetapi kepercayaan yang baik itu menjadi goncang, karena ada segelintir orang yang baru belajar agama kemarin sore lantas berfatwa bahwa sembahyang yang pernah ditinggalkan dengan sengaja tidak wajib diqadha. Katanya, sembahyang yang ditinggalkan dengan sengaja tidak dapat diburu lagi, tidak dapat dibayar lagi, tetapi yang meninggalkan sudah dicap berdosa dan akan menanggung kelak resikonya nanti di akhirat. Oke, fatwa yang semacam ini bisa merangsang dan memberanikan orang untuk meninggalkan sembahyang, dengan meremehkan dosa itu dan mengatakan bahwa setelah hampir mati ia tobat saja. Pendeknya, fatwa macam ini menimbulkan rangsangan untuk meninggalkan sembahyang dengan cara yang disengaja. Terlepas dari itu semua, banyak orang yang bertanya tentang masalah ini kepada para Ustadz-ustadz. Maka dalam rangka membuka pikiran tentang hal ini, saya mecoba membahas sedikit kurangnya tentang masalah ini dengan segala keterbatasan ilmu yang saya miliki. Semoga ada bermanfaat khususnya bagi pribadi saya sendiri dan umumnya untuk pembaca sekalian yang dirahmati Allah. Marilah kita perhatikan baik-baik. HUKUM TARKUS SHALAH DALAM MAZHAB SYAFI`I Imam Nawawi, seorang mujtahid fatwa dalam lingkungan mazhab Syafi`i, menerangkan dalam kitabnya Syarah Muslim, Juzu V, halaman 181 begini artinya : Kesimpulan dalam mazhab Syafi`i adalah : a. Seseorang yang ketinggalan sembahyang yang fardhu wajib diqadhakan. b. Andaikata ketinggalan itu karena udzur yang memaksa, maka qadha boleh dilambatkan, tetapi sunnat untuk menyegerakannya. Mengundur-undurkan tanpa sebab adalah dosa. c. Andaikata ketinggalan itu tanpa uzur sama sekali, umpamanya ditinggal karena disengaja, maka wajib qadha dengan segara. Meskipun demikian ia tetap berdosa (besar). d. Membayar sembahyang yang banyak tertinggal harus dibayar menurut tertib cara tinggalnya, yang dahulu didahulukan dan yang kemudian dikemudiankan. Tertib ini hukumnya sunnat bukan wajib. (Ada pahala bila dikerjakan secara tertib) e. Kalau yang tinggal itu sembayang sunnat rawatib, yakni sembahyang sunnat yang biasa dikerjakan sebelum dan sesudah shalat fardhu, maka sembahyangnya harus juga diqadha. Tetapi sembahyang sunnat yang dikerjakan karena sebab khusus, umpamanya sembahyang kusuf matahari, sembahyang khusuf bulan, sembahyang istisqa, maka tidaklah disyari`atkan mengqadhanya, kalau sudah terlepas dari waktunya. Demikian hukum fiqih yang bertalian dengan mazhab Syafi`i yang bertalian dengan orang yang ketinggalan sembahyang. Dalil-dalil yang menguraikan demikian antara lain tersebut dalam kitab hadits yang artinya Dari Abu Hurairah Rda. Bahwasannya Nabi Muhammad SAW ketika kembali dari peperangan Khaibar, beliau berjalan malam hari, sampai beliau mengantuk dan lalu berhenti untuk tidur. Nabi memerintahkan kepada para sahabat beliau bernama Bilal (tukang adzan) supaya berjaga-jaga, jangan tidur, dikhawatirkan jangan tidur semuanya. Nabi terus tidur dan Bilal terus sembahyang pada malam buta itu. Tetapi setelah dekat fajar, Bilal pun mengantuk pula, tidak tahan matanya, maka beliau bersandar pada kendaraannya dan lalu teridur pulas juga. Maka Rasulullah dan sahabat-sahabat, begitu juga Bilal yang disuruh berjaga-jaga, dibangunkan oleh matahari yang sudah tinggi dan waktu subuh itu luputlah. Rasulullah SAW mula-mula terbangun dan beliau sangat susah, lalu berkata kepada Bilal : Hai Bilal, bagaimana ini ? Bilal menjawab : Wah, sayapun tertidur pula Ya Rasulullah, saya tidak kuat menahan mata saya. Tidak jauh dari tempat itu beliau berhenti lagi dan langsung berwudu, memerintahkan Bilal supaya Iqamah. Maka Nabi sembahyang subuh bersama-sama mereka, mengqadha sembahyang subuh yang telah luput. Setelah selesai mengqadha sembahyang nabi bersabda : Barangsiapa kelupaan sembahyangnya, maka hendaklah ia bayar (qadha) itu kapan dia ingat, karena Tuhan berfirman “Tegakkanlah sembahyang untuk mengingat Aku” (Hadits ini Riwayat Imam Muslim dll, lihat syarah Muslim Juzu 5 halaman 182 – 183) Dari rangkaian Hadits ini dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa : 1. Berjalan pada malam hari boleh tidak apa-apa (bagi laki-laki). Untuk perempuan ada hukum tersendiri. 2. Kalau mengantuk boleh untuk tidur, tetapi kalau fajar sudah dekat haruslah diadakan seorang penjaga yang tidak tidur untuk membangunkan subuh kalau sudah datang. 3. Qadha sembahyang boleh dilambatkan sedikit, karena dalam hadits ini Nabi setelah bangun tidak langsung sembahyang, tetapi berangkat dulu dan setelah beberapa lama berjalan berhenti lagi untuk sembahyang. Di dalam hadits Muslim yang lain diterangkan pula, bahwa sebabnya beliau berangkat, tidak langsung sembahyang, karena tempat beliau tertidur adalah tempat syaithan. Tetapi qadha yang boleh dilambatkan itu adalah qadha sembahyang yang ditnggalkan tersebab udzur, yaitu tertidur, sebagai keadannya Nabi ketika itu. 4. Mengqadha sembahyang itu boleh dilakukan di luar waktunya karena Nabi sembahyang shubuh yang tertinggal itu seketika mataari sudah naik, sudah di luar waktu subuh. 5. Dalam hadits Muslim lain juga, bertalian dengan masalah ini diterangkan, bahwa Nabi sebelum mengqadha sembahyang subuh beliau sembahyang sunnat dua rakaat, sebagai qadha sunnat shubuh. Ini berarti bahwa sembahyang sunnat rawatib dianjurkan juga mengqadhanya bila tertinggal. 6. Perkataan “barangsiapa yang lupa” dalam hadits ini, maksudnya ialah “barangsiapa yang tertinggal sembahyangnya”, bukan karena lupa betul-betul, karena sebab hadits ini ditetapkan Nabi ialah pada ketika sembahyang teringgal karena tertidur, bukan karena lupa. Maka dapat dikeluarkan hukum dari hadits ini, bahwa sekalian sembahyang yang tertinggal wajib diqadha, yakni dibayar setelah tiba kesempatan, biar tertinggal itu karena lupa, karena tidur, atau karena disengaja meninggalkannya. 7. Qadha itu wajib hukumnya, karena Nabi memerintahkan di sini dengan perkataan suruh, yaitu “hendaklah ia sembahyang setelah ingat”. 8. Sembahyang itu untuk mengingat Tuhan dan untuk jangan melupakan Dia. Jadi, kalau misalnya kita bangun pagi jam delapan, maka bersegeralah mengqadha shalat subuh yang pernah ditinggalkan tadi. Jangan mengundur-undurkan sampai jam 9 nanti, terlebih diundurkan entah sampai kapan waktunya. Tersebut dalam kitab Shahih Muslim juga : “ketahuilah bahwasannya dalam keadaan tertidur tidak ada sia-sia; Yang sia-sia (yang akan mendapat hukuman) ialah orang yang tidak mengerjakan sembahyang sampai datang waktu sembahyang yang lain. Maka barang siapa memperbuat demikian hendaklah ia bayar ketika ia ingat akan sembahyang itu.” (H.R. Imam Muslim – Shahih Muslim I hal. 275) Dari Hadits ini dapat dipetik hukum : 1. Sembahyang yang tertinggal karena tertidur tidaklah berdosa. Yang berdosa ialah meninggalkan sembahyang dengan sengaja. 2. Waktu sembahyang itu selain subuh adalah panjang; Waktu zuhur sampai Ashar, waktu Ashar sampai Maghrib, waktu sembahyang Maghrib sampai Isya`, dan Waktu Isya sampai Shubuh, kecuali subuh yang pendek waktunya; yaitu dari mulai terbit fajar shadiq sampai terbit matahari. Setiap orang wajib sembahyang pada mesti sembahyang pada waktunya, kalau tak dapat pada awal waktu ditengahnya atau diakhirnya. Tidak boleh sama sekai ditinggalkan. Dan sedikit catatan mengenai maksud tidur dalam hadits ini adalah tidur yang memang sama sekali tidak ada sedikitpun rencana untuk meninggalkan shalat. Jadi misalkan sudah pukul 14.12 siang (untuk WIB DKI) ia belum juga shalat zuhur lantas ia tidur dengan sengaja hingga bangun-bangun telah habis waktu zuhur, maka tidur yang seperti ini sama saja dengan meninggalkan sembahyang dan hukumnya berdosa. Tersebut juga dalam hadits lain yang artinya : Barang siapa yang terlupa sembayang atau tertidur maka ia harus membayarkan sembahyangnya itu apabila ia ingat, ada bayaran bagi mereka selain itu. (Hadits Riwayat Imam Muslim) Dari Hadits ini dapat dipetik hukum : 1. Meninggalkan sembahyang dengan sebab tertidur atau karena lupa tidak berdosa, karena lupa atau tidur diluar kekuasaan manusia. Tetapi tentu asal jangan lupa dan dilupa-lupakan. 2. Membayar sembahyang yang tinggal itu ialah mengqadha sembahyang itu apabila sudah ingat waktunya. 3. Sebaliknya, kalau ia menginggalkan sembahyang dengan sengaja maka ia mendapatkan hukuman dua : 1. Berdosa 2. Mengqadha. 4. Ada tiga waktu dimana manusia terbebas dari dosa yaitu ketika tidur, lupa, dan gila. Dari berbagai rangkaian dalil di atas, sehingga dalam putaran hukum fiqih dibuatlah hukum yang menyebutkan hanya ada dua sebab yang termasuk udzur dalam sembahyang (tidak ada dosa) namun tetap wajib diqadha. Kedua perkara tersebut adalah tidur dan lupa. Jadi selain kedua waktu itu tidak ada jalan sama sekali untuk menginggalkan sembahyang –lain dengan wanita yang ada sebab lain seperti haidh – juga selain orang gila (orang gila tidak wajib shalat). Jelaslah bagi kita ummat Islam bahwa selama tidak ada jalan sama sekali untuk menginggalakan sembahyang. Sekalipun dalam keadaan takut (khawf) maka dalam keadaan ini ia boleh shalat bagaimana yang memungkinkan baginya, seperti misalnya apabila perlu sambil berlari, tiarap, dsb. Shalat juga merupakan amalan yang paling pertama ditanyakan dalam kubur. Untuk itu perhatikanlah kembali shalat kita, segeralah kita qadha sembahyang yang pernah kita tinggalkan sebelum umur kita habis. Karena setiap detik kita melalaikan waktu qadha yang padahal kita mampu waktu itu untuk mengerjakannya, maka kita selalu dijerat dengan tali dosa. Waspadalah meninggalkan sembahyang. Kemelaratan ketika hidup di dunia ini, ketika sakratul maut, ketika di alam kubur, ketika hari qiamat, ketika padang mahsyar, sampai ketika neraka nanti selalu mengiringi mereka yang meninggalkan shalat. Maka, shalatlah sebelum kita di shalati. Semoga ulasan singkat ini ada manfaatnya khususnya bagi saya dan umumnya bagi pembaca sekalian. Penulis akan coba menyambung tulisan ini dilain kesempatan dengan tema siksa orang yang meninggalkan shalat. Waspada, wapada, waspadalah meninggalkan shalat. Hanya kepada Allah kita memohon segalanya. Fikri Habibullah Muharram Kalau ada yang salah di edit yah. And kalau mau kasih saran atau kritik yang membangun dipersilahkan dengan senang hati dan penuh harap