Minggu, 20 Februari 2011

Menghijrahkan Makna "Jatuh CInta" kepada "Bangun Cinta"




- Ancang-Ancang Hati Menyikapi Valentine –

Salman Al-Farisi merasa telah tiba saatnya untuk menjemput panggilan jodoh, menikah. Seorang wanita Anshar yang memang dikenalnya sebagai wanita shalehah dan berdedikasi tinggi terhadap Islam, telah mengambil tempat di hatinya. Dan tentu saja bukan sebagai sang pacar. Tetapi menjadi sebuah konsekuensi dari sebuah pilihan yang dirasa tepat. Pilihan menurut nalar yang logis dan akal sehat. Pilihan yang berdasarkan nurani juga ruh suci.

Namun bagaimana pun, ia merasa asing di sini. Madinah bukanlah tempat kelahirannya. Madinah bukanlah kota tempat ia tumbuh dan dewasa. Madinah memiliki adat, budaya, bahasa, dan pernak-pernik kehidupan yang berbeda dari tempat kelahirannya, sekaligus belum terlalu ia kenal. Hingga ia berpikir bahwa melamar seorang gadis

Madinah adalah perkara yang memelikkan bagi seorang pendatang sepertinya. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi Madinah dan mau membantu ia menemui sang gadis untuk menyampaikan maksud lisan melamarnya. Maka diceritakanlah unek cintanya itu kepada sahabat Anshar yang dipersaudarakan dengannya, Abu Darda. ”Subhanallah ... Wal hamdulillah...” girang ria Abu Darda mendengar tuturan Salman yang berrencana meminang seorang gadis Madinah.

Mereka tersenyum bahagia dan berpelukkan. Setelah persiapan dirasa memada, beriringanlah kedua sahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru tengah kota Madinah. Itulah rumah seorang gadis shalihah lagi bertaqwa yang telah disiapkan tempatnya di hati Salman. ”Saya adalah Abu Darda, dan ini saudara saya Salman seorang Persia. Sungguh Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islamnya dengan jihad. Dia memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Rasulullah SAW, hingga-hingga Beliau menyebutnya sebagai ahli baitnya.” Fasih lincah Abu Darda menuturkan maksud Salman Al-Farisi dengan bahasa Bani Najjar yang paling murni.

“Adalah kehormatan bagi kami,” ucap tuan rumah dengan sedikit berparas seri, ”Menerima Anda berdua sebagai sahabat yang mulia. Dan adalah kehormatan besar bagi keluarga ini untuk menautkan seorang sahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi, hak jawaban sepenuhnya saya serahkan kepada puteri kami.” Sambil si tuan rumah memberi isyarat ke hijab yang dibelakangnya sang puteri menanti dengan segala debar kecamuk di hati. ”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata seorang wanita yang merupakan Ibu kandung dari gadis shalehah yang ingin dilamar Salman. Ternyata sang ibu mewakili suara sang puteri tercintanya. ”Tetapi karena Anda berdualah yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abu Darda memiliki urusan yang sama, maka puteri kami menyiapkan jawaban mengiyakan.” Jelas dan lugas sudah semua tertutur. Ada badai ironi yang berkecambuk keras meliuk-liuk di antara hati Salman dan Abu Darda`. Ternyata sang puteri lebih tertarik pada Abu Darda dari pada pelamar sesungguhnya!

Ya. Ini sangat mengejutkan dan benar-benar ironi. Emosi membadai yang sulit dijangkah, sekaligus mengindahkan. Mengapa membadai? Karena inilah persaudaraan cinta yang sama-sama berebut tempat di hati. Tapi juga indah. Mengapa? Karena Salman langsung berseru ”Allahu Akbar....! Semua mahar nafkah yang telah kupersiapkan ini akan aku serahkan padamu Abu Darda, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian.” --- Cinta tak harus memiliki! Itu yang sering terucap oleh para remaja saat ini ketika cinta menggelayuti kecambah hatinya. Dan sejatinya, kita memang tidak pernah memiliki apapun dalam kehidupan ini. Seberharga apapun sesuatu itu, tetap ia menjadi prerogatif Allah yang suatu saat bisa diambil kapan saja dan dengan cara apa saja. Terserah Allah. Dari kisah mulia Salman, mengajarkan kepada kita untuk meraih kesadaran tinggi di tengah perasaan yang berkecamuk rumit; malu, kecewa, sedih, merasa bersalah memilih muqaddimah, dan seterusnya.

Sungguh ini tak mudah. Dan kita memang selalu merasa memiliki seseorang yang sangat kita cintai. Maka mari belajar kepada Salman tentang betapa sebuah kesadaran harus dimunculkan dalam situasi yang tak mudah. Ya. Itulah menggeser makna dari jatuh cinta kepada bangun cinta. Dan Salman telah mencetuskan teori indah itu. Mungkin ini yang orang Jawa mempribahasakannya dengan, ”Milik nggendhong lali.”

Maka menjadi seorang manusia yang hakikatnya hamba adalah belajar untuk menikmati sesuatu yang bukan milik kita, sekaligus mempertahankan kesadaran bahwa kita hanya dipinjami. Ah. Inilah letak kesulitannya. Memaknai kisah Salman ini, penulis teringat akan sabda Umar bin Khattab kepada Rasulullah tentang ketulusan hatinya mencintai Rasulullah. ”Ya Rasulallah”, kata Umar perlahan, ”Aku mencintaimu seperti kucintai diriku sendiri.” Beliau SAW menjawab. ”Tidak wahai Umar, engkau harus mencintaiku melebihi cintamu pada diri dan keluargamu.” ”Ya Rasulallah, mulai saat ini engkau lebih kucintai daripada apapun di dunia ini” ”Nah, begitulah wahai Umar.” ---

Membaca kisah ini, Fikri takjub dan bertanya bahwa sebegitu mudahkan bagi Umar untuk menata ulang cintanya dalam sesaat dan hitungan kejap? Sebegitu mudahkah cinta digeser ke bawah untuk memberikan celah yang lebih besar pada cinta sang Nabi? Ya. Dalam waktu yang sangat singkat. Sangat singkat. Mungkin, bagi kita tak semudah itu. Cinta berhubungan dengan buhul-buhul hati yang yang sangat sulit di-remove dari mula posisinya. Tetapi Umar bisa. Dan mengapa dia bisa? Ternyata, bagi seorang Umar yang berjiwa keras dan tegas, cinta cukup dimaknai sebagai kata kerja.

Ya. Cinta adalah kata kerja, bukan kata sifat. Umar tidak rumit-rumit untuk menata ulang kerja cintanya. Cukup dibuktikan dengan amal nyata dalam mencintai. Biarlah hati kita menjadi makmum bagi kerja yang menjadi dasar cinta kita pada suatu objek. Kepada guru misalnya. Maka bersungguhlah kita dalam belajar, sebagaimana anjuran sang guru. Belajar dengan tekun dan giat, merupakan wujud cinta seorang murid kepada guru. Atau buktikan cinta kita kepada orangtua dengan belajar sungguh-sungguh. Begitupun kepada isteri. Nah, dari sini kita bisa memaknai sebagaimana yang ditulis Salim A. Fillah yang mengutip The Art of Loving bahwa; ”Cinta itu seni” tulisnya. ”Maka cinta memerlukan pengetahuan dan perjuangan. Sayang, pada masa ini cinta lebih merupakan masalah dicintai (to be loved), bukan mencinta (to love), atau kemampuan untuk mencintai”.

Singkatnya, cinta itu tak hanya berkorban, tapi diperjuangkan. Maka menggeser makna jatuh cinta kepada bangun cinta berarti mengambil peran besar menjadi seorang pencinta yang sesungguhnya. Dan ketahuilah, tak banyak orang tahu tentang ini.  --- Menyinggung sedikit valentine yang erat kaitannya dengan jatuh cinta, merupakan trend mode yang merusak hakikat dan arti dari cinta itu. Pacaran? Mungkin ini yang menjadi key word inti tulisan ini. Sebagai manusia, kita memang telah difitrikan dengan cinta, sehingga banyak remaja saat ini yang menerjemahkan makna cinta dengan pacaran. Lalu, benarkah pacaran sebagai wujud cinta yang sesungguhnya? Benarkah pacaran mampu mengantarkan sepasang insan kepada pintu cinta abadi? Benarkah pacaran membuat hidup kita meletup-letup keras dengan gairah semangat hidup yang dahsyat? Secara menyeluruh, Fikri pernah menjabarkan panjang lebar tentang pertanyaan-pertanyaan di atas dalam buku Tuhan, Izinkan Aku Pacaran. Pada kesempatan ini, penulis ingin mencoba menjabarkan sedikit point tentang arti dari sebuah pacaran – sebagaimana momentum valentine yang diakrabkan maknanya dengan jatuh cinta – insya Allah.

Fikri berani memberikan jawaban bahwa pacaran adalah hal wajib jika kata pacaran diakronimkan sebagai pakai cara nikah. Itu artinya, jika kita ingin pacaran yang halal, ya menikahlah! Akan tetapi, makna pacaran akan kabur sekaligus suram jika diterjemahkan sebagaimana aktifitas baku hantam haru biru rindu yang sering dilakukan remaja sekarang ini. Pacaran adalah ya seperti yang kita lihat! Karena memang, tidak ada definisi yang jelas tentang arti pacaran. Pacaran ya hanya sekedar pacar yang tujuannya having fun.

Mengapa harus having fun? Karena inilah yang membedakan antara orang yang menikah dulu lalu pacaran, dengan orang yang pacaran dulu baru menikah. Orang yang pacaran dulu lalu nikah, biasanya ia hanya ingin menampakkan sesuatu yang indah-indah saja. Karena sangat jarang, bahkan tidak mungkin sepasang kekasih akan menunjukkan kelemahannya kepada kekasihnya. Malu! Hingga pun jika ada sepasang kekasih yang sedang melakukan transferisasi perasaan masing-masing dengan menyebutkan kekurangannya satu-persatu, sebenarnya ia bukan saling membuka diri, melainkan bahwa ia sedang melakukan proses penopengan diri yang sewaktu-waktu bisa terungkap.

Biasanya setelah menikah. Bumbu-bumbu indah yang semestinya ia gunakan ketika pernikahan nanti bersama kekasih yang halal, telah habis digado selama ia berpacaran dengan kekasih yang tidak jelas statusnya. Hingga nanti jika ia tetap mempertahankan status pacarannya itu, akan terkuak empat atau tiga tahun setelah menikah tentang kejelekan-kejelekan yang tidak terlihat selama masa-masa pacarannya. Ya. Memang pacaran hanya untuk keindahan. Teori kimia cinta inilah yang dituturkan oleh Helleh Fishker, dimana proses emosi cinta manusia akan berkembang cepat dan turun drastis dengan cepat pula selama masa empat tahun. Setelah itu padam. Mungkin ini yang menyebabkan angka perceraian tinggi, setelah membahterai pernikahan selama empat tahun. Lalu retak. Lain halnya dengan orang yang menikah dulu baru pacaran. Biasanya, pernikahan model ini yang tetap terjaga awet dan tetap harmonis. Dimana ketika mereka tidak mengenal sama sekali atau memang tidak terlalu mengenal pasangan hidup yang baru dilihat pertama kalinya, dan itu terjadi setelah aqad nikah ditunai? Bersama seorang kekasih yang halal dan telah sah menjadi isteri, tempat hati bersandar lelah dari beban dan derita? Bukankah kenikmatan-kenikmatan pertemuan pertama itu terjadi ketika salah tingkah? Dan mungkinkah salah tingkah ini akan terjadi jika seseorang sudah terlalu mengenal pasangan hidupnya? Lalu, bagaimana jadinya jika semuanya sudah dilakukan? Mungkinkah salah tingkah ini akan terjadi? Sesuatu apa yang akan dirasakan bersama ketika sebelumnya sudah dirasa semua? Anda paham jawabannya. Maka yang sebenarnya, menyandang status janda atau duda lebih mulia dibanding mantan pacar si A. Mengapa? Karena setidaknya ia telah berani memerdekakan cintanya di jalan yang diridhai Allah melalui pintu pernikahan, walau pun harus kandas ditengah jalan karena berbagai macam hal perceraian, entah karena cerai mati atau keadaan-keadaan tertentu yang mengharuskan untuk membuka pintu perceraian.

Tentu, dengan sebuah konsekuensi bahwa nikah bukan alasan ”dari pada pacaran” Tapi pada dasarnya, sang janda atau duda adalah mujahid cinta yang telah berani menghidupkan dan menghijrahkan makna jatuh cinta kepada bangun cinta. Sebagai penutup, marilah sama-sama kita menghijrahkan cinta dari kata sifat menuju kata kerja, maka peradaban indah akan tersusun damai dan akrab di hati nurani para perindu Illahi. Jadikan cinta sebagai pengiring, bukan tujuan. Biarlah cinta menjadi makmum dari amal-amal shalih kita. Demi Allah, cinta adalah pengiring, bukan tujuan. Jadilah kita imam atas cinta, bukan makmum yang diperkosa oleh cinta. ”Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi kamu mencintai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah : 216) Dalam jihad, cinta menjadi sederhana. Bukan lantaran kita tidak suka melihat darah tumpah, bukan karena kita menyukai anyir peperangan. Perasaan kita boleh tetap membencinya.
Tapi cinta adalah sebuah kata kerja dalam ucapan para sahabat; Kami siap untuk mendengar dan taat, baik dalam keadaan rajin maupun malas, baik dalam suka maupun duka, dalam keadaan rela maupun terpaksa.

(Artikel ini pernah dipublikasikan di buletin Nabawi Darus-Sunnah International for Hadith Sciences)

Tidak ada komentar: