Jumat, 02 Maret 2012

Kereta Api, Inspirasi Tanpa Batas (Railfan)

Setiap orang memiliki karakteristik masing per masingnya, dimana perbedaan sudut pandang dan minat, akan menimbulkan perbedaan cara berpikir dan sudut pandang itu sendiri. Ya. Mungkin denganku pun, tak ubah semisal. Aku mempunyai satu sisi kehidupan unik, yang setiap orang tentu tidak merasakan hal yang sama. Apa itu? Itulah kereta api. Aku adalah pencinta kereta api, khususnya kereta api Indonesia. Dari berbagai sudut mana pun tentang kereta api yang dibicarakan atau di tulis di media-media, pasti aku menyukainya. Intinya, dimana kereta api dilibatkan dalam suatu pembicaraan pribadi maupun publik di media mana pun, aku pasti melibatkan diri.

Read More...


Aku adalah pencinta kereta api Banten Express, Argo Parahyangan, Taksaka, Argo Bromo, KRL Pakuan Express, Depok Express, Jalita, dan KRL Ekonomi. Selain itu, aku juga pengagum Loko CC 201, CC 202, dan yang terbaru saat ini CC 204. Semua itu inovasi-inovasi negaraku Indonesia yang semakin canggih. Statsiun kereta api favoritku ada banyak, dimana setiap statsiun ini merupakan titik akses pertama setiap kali ketika aku ingin berkereta api, yaitu, Depok Baru, Bogor, Serepong, Gambir, Juanda, Jakarta Kota, Bekasi, dan Cikarang. Selain itu, bagian yang paling kusukai dari profesi perkereta-apian adalah menjadi seorang masinis atau minimal asisten masinis.

Cintaku terhadap kereta api tumbuh ketika masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Ayahku yang biasa kupanggil Abi pun memang memiliki sisi kehidupan yang tidak bisa dilepaskan dengan kereta api sejak kecil. Abi tinggal di Cikarang, sebuah daerah yang dilintasi jalur kereta api menuju timur pulau Jawa. Tentu, kereta api siang malam pasti lalu lalang di sana. Kepadaku, beliau sering bercerita tentang perkeretaapian yang membuat cinta-cinta itu terorbit dengan sendirinya. Pada awalnya, dulu, mungkin aku cuek dan tidak peduli. Bahkan sempat takut dengan yang namanya kereta api.

Hingga pada suatu saat ketika masih duduk di bangku Taman Kanak-Kanak (TK), ketika abi mempunyai waktu luang, aku pernah diajak jalan-jalan ke Rangkas Bitung untuk berkunjung ke rumah salah satu saudaraku yang berada di Rangkas Bitung dengan kereta api ekonomi langsam (KRD) dari statsiun Serepong ke Rangkas Bitung. Setibanya benda ular besi yang telah kami tunggu di Serepong, secara sepihak Abiku langsung menggendongku naik ke lokomotif paling depan, tepat di ruang kabin masinis yang ketika itu masih diperbolehkan. Karena aku tidak pernah naik di sana, ditambah suara mesin yang sangat bising menderu, hingga aku pun ketakutan, kelenger dan keukeuh serta lantas ingin turun detik itu juga sebelum kereta api berangkat. Abiku memaksa, namun melihat jeritku yang kian memekik, akhirnya Abi kalah dan perjalanan kali itu dibatalkan.


Ya. Semenjak saat itulah, dari rasa takut yang mendera-dera, timbul rasa penasaran dengan kereta api hingga membuahkan kecintaanku kepada kereta api mulai tumbuh. Seiring perjalanan usiaku menuju remaja, diriku mulai tertantang untuk menikmati kereta api dari segala sisi. Hingga positif pada usia sekolah dasar, aku mengidap sebuah virus unik, itulah kereta api, dimana hampir setiap kali menderita penyakit seperti demam, sakit kepala, paru-paru, atau penyakit apapaun yang proses penyembuhannya terasa lama dan tak kunjung memulih (maklum, dulu penyakitan), ketika diajak naik kereta api, maka penyakit itupun berangsur pulih secara drastis. Hebat kan?

Tamat SD, aku bersyukur disekolahkan di pesantren Qotrun Nada Depok. Selain karena pendidikan agama yang ingin orangtuaku tanam padaku, lensa lain yang menarik adalah karena letak pesantren yang tidak jauh dari statsiun Citayam. Dalam berbagai kesempatan pulang kampung dari pesantren, tidak ada istilah pulang tanpa kereta api. Bahkan, slogan hatiku yang tumbuh unik ketika itu adalah, sebisa mungkin dengan kereta api, kemana pun tujuannya. Meski rumahku jauh dari kereta api, aku bersyukur karena banyak rumah saudara-saudaraku yang jauh mengharuskanku naik kereta api jika aku ingin berkunjung ke tempatnya. Seperti rumah nenekku di Cikarang, uwa di kota Yogjakarta.

Tahun 2004 adalah tahun perpisahan sementara dengan kereta api, karena saat itu aku sudah harus berada di Aceh, sebuah provinsi yang tidak ada kereta api – meski dulu sempat ada -. Selama aku tinggal di Aceh, aku hanya bisa melihat bekas-bekas jalur kereta yang dulunya ada. Kabar yang aku terima dari mulut-mulut masyarakat tentang kereta api Aceh – termasuk kakekku – bahwa dulunya kereta api di Aceh memang ada. Tapi, Aceh adalah daerah yang sedaridulu tidak pernah berhenti dari sulut nyala konflik. Hingga pada akhirnya rel kereta api jadi sasaran konflik dan kereta api tidak bisa lagi beroperasi. Jalur-jalur kereta api dari Medan ke Aceh yang dulu aktif, kini terputus. Besinya dijual oleh warga Aceh yang merasa tertindas oleh kekuasaan pemerintah Jakarta saat itu. Tapi Alhamdulillah, kini pemerintah dan gubernur se-pulau Sumatera dari mulai Aceh sampai Lampung, telah sepakat akan membuat perlintasan kereta api Sumatera. (kapan program ini dilaksanakan dan rampung? Saya tidak tahu). Terakhir aku pantau dari Aceh secara langsung, pemerintah Aceh sedang mempersiapkan jalur kereta api dari kota Lhokseumawe menuju kota Bireueun. Aku menyaksikan langsung bantalan-bantalan rel yang akan dibangun jalur kereta api sepanjang 45 KM itu. Ya. Ini tahap pembangunan awal. Bahkan kabarnya beberapa rangkaian yang didatangkan dari PT. INKA telah tiba di pelabuhan Krueng Geukueh, Aceh Timur. Harapanku, semoga kereta api Aceh akan maju dan bersaing dengan DAOP I Jakarta. Sehingga Indonesia memiliki sarana transportasi yang dapat memudahkan masyarakat untuk mengakses kebutuhan mereka sehari-hari.

Selesai pendidikkan di Aceh selama lima tahun, aku kembali lagi ke tanah airku di Parung – Bogor, Jawa Barat, hingga saat ini aku kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sekaligus menjadi mahasantri di Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darussunnah. Dalam berbagai kesempatan weekand dan liburan kuliah – seperti saat sedang menulis artikel ini -, tidak jarang aku menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan naik kereta api. Walau pun sesaat dan sejenak.
Bahkan, pengalaman yang paling sering ketika jam-jam kosong kuliah pun aku menyempatkan diri untuk menyapa Banten Express dari Statsiun Pondok Kranji menuju st. Merak. Jarak statsiun Pondok Kranji dari kampusku tidak begitu jauh. Dari Statsiun Pondok Kranji pukul 08.15 dan sampai di Merak pukul 12.00. Sambil menunggu kereta Banten Express kembali menuju Jakarta yang melewati Pondok Kranji, aku puas menikmati pelabuhan Merak. Itu karena posisi statsiun kereta api Merak sangat dekat dengan pelabuhan Merak. Pukul 13.00 Kereta Api Banten Express sudah siap kembali berangkat menuju Jakarta. Aku pulang pergi dengan kereta itu. Hanya dengan ongkos Rp. 10.000, aku sudah menempuh perjalanan jauh. Sebuah jarak dimana shalat boleh dilakukan secara jama`.
Pengalaman yang sama, dulu, ketika Kereta Express Merak Jaya (Jakarta – Merak) masih ada, aku pernah menyaksikan langsung bagaimana kereta api saat berkecepatan tinggi yang kunaiki dari kabin masinis (lokomotif), menabrak sebuah mobil hingga mental, terpelanting, dan terbelah dua. Kaca-kaca serpihan mobil innocent itu sampai masuk ke dalam ruang kabin masinis. Ah, aku tidak tahu pasti nasib korban yang tertabrak bagaimana. Yang jelas, antara rumah sakit dan kuburan. Kereta api yang kutaiki tetap berjalan, tanpa berhenti sedikit pun. Hanya mengurangi kecepatan saja. Dan kebetulan yang menjalankan kereta api ketika itu bernama Khairuddin, asisten masinis (aku ingat sekali namanya). Ketika di rem oleh asisten masinis Khairuddin, masinis utamanya langsung memarahi Khairuddin, seraya berkata, “Kamu ini bagaimana, dalam posisi seperti itu kereta api jangan di rem.” Sontak, aku pun terkejut melihat penjelasannya. Bagaimana mungkin, mobil sudah jelas-jelas kepalang di tengah rel ketika kereta api hendak melintas, malah dilarang melakukan pengereman. Apa justru tidak berbahaya bagi si pengendara yang seolah nyawanya berada di ujung lokomotif ini. Tapi aku langsung memahami, ketika menangkap penjelasannya bahwa kereta api, jika dalam posisi pelan menabrak mobil yang kepalang melintang, maka kemungkinan mobil itu akan terseret dan akibatnya bisa lebih fatal. Bisa jadi korbannya meninggal, atau kereta akan anjlog, dan ini yang lebih berbahaya bagi keselamatan penumpang kereta api yang jumlahnya ribuan. Apalagi memakai rem darurat. Tapi, jika kereta api dalam posisi tinggi atau ditambah kecepatan, maka mobil itu akan tertabrak akan terpental dan ada kemungkinan si korban yang tertabrak akan hanya luka berat. Sebagai penutup, masinis yang memiliki jam terbang tinggi dengan kereta api itu menjelaskan bahwa sebagai masinis, harus lebih mementingkan keselamatan para penumpang dibanding satu orang di depan. “Pilih mana, satu orang mati apa ribuan orang mati?” katanya pada asisten masinis yang langsung kudengar.

Ya. Semakin lama aku semakin mengerti tentang dunia kereta api. Hingga pernah suatu saat aku bercita-cita ingin menjadi masinis. Wal hasil, aku hanya menjadi seorang penulis buku. Tapi tak mengapa, jadi masinis atau penulis tak masalah. Yang penting bisa tersenyum manis dan tak sinis.
Di komputerku banyak foto-foto dan video kereta api. Baik jepretanku, maupun dari internet. Kalau mau copas, silakan datang ke rumah. Hehe…
Terakhir, sebagai seorang penulis, aku banyak mendapatkan inspirasi jika sudah berkenala dengan kereta api. Maka, bagiku, makin banyak naik kereta api, makin banyak dapat inspirasi. Ya. Kereta api, inspirasi tanpa batas.

Ya. Itulah kecintaanku tentang kereta api. Bagaimana dengan Anda?

Tidak ada komentar: