Selasa, 26 Juni 2012

EPILOG "TUHAN, IZINKAN AKU PACARAN"


Fikri Minta Izin

           
          Menulis buku ini, Tuhan! Izinkan Aku Pacaran, Cinderamata Untuk Kamu Yang Sedang Jatuh Cinta, dengan berkat perjuangan keras tiada henti, akhirnya Allah mengabulkan doa saya untuk bisa menyalurkan minta bakat yang selalu saya redam. Ya. Setidaknya, saya sudah punya gelar ’Penulis’. Karena yang membuat saya panas ketika masuk toko buku besar adalah buku-buku yang belum terpajang nama saya di dalamnya.

            Alhamdulillah, semula adalah mimpi, lalu sedikit-sedikit saya rangkai dalam tempo 1.5 bulan menjadi sebuah aksi. Semula adalah upaya saya untuk membuktikan kepada orangtua bahwa saya, Fikri Habibullah Muharram, akan membuat mereka tersenyum dengan sebuah karya ini. Sederhana memang. Namun di mata beliau, ini mempunyai arti yang saya yakin, tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Karena berupaya menjadi seorang anak yang shaleh itu butuh kerja keras. Dan saya sendiri masih jauh dari gelar itu. Betapa pengorbanan harus benar-benar dilakukan untuk Abi dan Ummi. Ya. Merekalah cinta sejati yang tak pernah henti menemani jalan cinta saya. Merekalah yang sedari saya lahir paling setia menemani akhlak-akhlak bobrok saya. Tapi Demi Allah, ruangan kertas ini terlalu murah untuk melukiskan jasa-jasa emas beliau kepada saya. Rabbana ighfir dzunuubahumaa. Karena Fikri Minta Izin untuk menuliskan buku ini, Tuhan! Izinkan Aku Pacaran, Karena Aku Mencintainya.

            Aduh, sejujurnya, saya sempat minder di depan Abi dan Ummi, karena judul ini agak menyeleneh. Tapi Alhamdulillah, semoga mereka memahami bahwa saya bukan lagi anak kecil. Tapi inilah, haa anaa dzaa. Eh... jadi curhat nih.

            Maaf bangat, buat para pembaca, jika judul ini membuat Anda merasa terusik, atau bahkan tertawa. Ya. Itu karena ada seorang ikhwan yang menjadi sahabat dekat saya, tak lain dan tak bukan, setiap akhir pembicaraan kita pasti mentog ke pernikahan. Atau minimal ke akhwat. Ups. Kena deh aib saya. Sekali lagi, semoga Anda memahami, bahwa buku ini memang arena agar suatu saat saya dapat meneguk kebahagiaan ini, dalam sebuah cinta Illahi, Abi, Ummi, Isteri, dan Bidadari. Ya. Memulai dari mimpi yang besar. Star with big dream, begitu kata mujahidin HPA.

            Menulis, itu karena Imam As-Syafi`i menasehatkan kepada kita untuk mengikat ilmu dengan pena. Maka saya ingin coba merintis kata-kata beliau melalui menulis dalam episode yang sedang saya jalani. Saat menulis buku ini, sebagian adalah pengalaman penulis sendiri. Saat menyadari bahwa betapa lemah iman untuk mudah terlunglai hanya oleh sebias wajah yang sebenarnya mereka pun sama kurangnya seperti saya. Dari sinilah saya ingin berusaha untuk mencoba dan memandang sedikit jiwa dan raga ini dengan lensa baru. Semoga, buku yang Anda pegang ini menjadi manfaat bagi diri saya, khususnya, dan umumnya Anda yang ingin menikmati masa-masa indah yang basah dengan senarai keharmonian cinta.

            Semoga, Anda pembaca memahami betul bahwa saya ini benar-benar masih di bawah umur sadar untuk memaknai hakikat cinta dari sebuah pernerjemahan maknanya kepada pernikahan. Ya. Bujang atuh...! Karena judul buku ini sudah saya catat di buku agenda ketika saya duduk di bangku SMA kelas II, dan akhirnya, melalui perjuangan saya untuk memperpustakakan buku ini kepada alam, barulah di tahun kemudian, menjelang saya masuk kuliah, buku ini menjadi biduk bagi saya untuk menciptakan prestasi, menjadi penulis muda, bahkan sebelum kuliah.

            Ini adalah karya pertama saya, dengan harapan dapat memberi keberkahan dan manfaat bagi siapapun, bak air zam-zam. Karena dasar setting basic buku ini adalah pesantren salafi. Semua menjadi unik jika pesantren tampil di tengah-tengah badai. Mengingat – kata sebagian orang – bahwa pesantren atau yang orang Aceh menyebutnya dengan dayah, itu kolot! Hm...! Gak juga sih...!

            Afwan, ini bukan soal pantas atau pun tidak pantas. Tetapi, apakah kita akan terus bergaruk kepala yang tak gatal saat buku-buku rusak dan panas disentuh oleh pemuda kritis iman? Lalu, kapan kita bergerak dan tampil ke tengah masyarakat? Di sana ada kerancuan, di sana ada kebocoran, di sana ada kejanggalan yang disifati ilmiah. Ilmiah yang tidak berdasarkan kepada Illahiah, alamiah, apalagi fikriah. Lalu, dimanakah mereka yang ingin bergerak? Dimana cinta mereka? Apa hanya di ambang kata?

            Orang shalih memang banyak, tapi berapa banyak mereka-mereka yang berani tampil menjamakkan keshalihannya di tengah badai gurun yang melanda? Tapi demi Allah. Mereka itu mulia. Selama kain sarung itu di gosok, jilbab berderai, mukena diputihkan, sorban diikatkan, kitab kuning dimainkan, Al-Quran difungsikan, dan Al-Hadits diuraikan, lalu anggota badan mengamalkan itu semua.

            Sejak itu, saya memang benar-benar merasa bahwa saya telah banyak menulis tentang cinta. Saya pun hampa dalam mengingat, dari mana permulaan ini terbit? Jika ada Abi dan Ummi di sini, ketika saya menulis buku ini selama di pesantren, mungkin mereka akan kaget, pesantren ada jurusan cinta yah? Hehe...

            Untuk teman saya di pesantren, kita sama-sama santri dan makan ikan asin selama di dayah, ada sebuah sembilu yang kita harus akui di sini, bahwa tidak semua santri bisa memasuki dunia kata-kata menulis. Salafi? bukanlah alasan yang tepat untuk dijadikan `illat, karena ulama-ulama salaf dahulu pun menulis. Mereka menulis apa yang Anda baca di atas bale hampir setiap hari. Subhanallah!

            Dengan kehadiran buku ini, berarti saya juga telah melepaskan sebuah tantangan yang – secara pribadi – saya artikan itu sebagai dzimmah yang keluar dari mulut seorang sahabat saya di Dayah Mudi ; “kalau emang ente penulis, tunjukin dong ama publik bahwa kita itu penulis. Kan jadi ngalir manfaatnya.” Tuh kan... bener! Bisa juga diterbitin. Makasih yah atas sokongannya. Meski saya telah berhijrah di sisi rembulan yang menambat hati. Tapi kita tetap satu.

            Tetapi, saya berusaha untuk menahkodai Anda dalam suasana yang berbeda. Maaf, bukan bermaksud menyaingi, tapi inilah saya yang sedang belajar dan akan terus belajar. Belajar adalah menutupi kekurangan yang ada, kata guru Matematika saya sewaktu di SMA, menuju kesempurnaan di kemudian hari agar kita semua mampu belajar dan mencoba menjadi sempurna dari kesalahan yang ada. Justru bukan menyalahkan yang salah. Karena orang yang takut salah, dia salah. Orang yang takut gagal, dia gagal. Orang yang takut mati, pasti mati.

            Kita juga mengetahui, bahwa memperkuat pola pikir secara realis dan meninggalkan dogmatis bagi kelompok santri haruslah melalui sebuah model yang mampu berdialog di zamannya. Mungkin yang selama ini saya cita-citakan adalah “ini”.

            Sempurna? Sungguh jauh dari itu. Saya pun menyadari akan hal ini. Sejujurnya, saya telah berusaha menerbitkan buku ini semaksimal mungkin. Dan ini tentunya tidak akan pernah terlepas dari ketidaksempurnaan dan kekurangan-kekurangan yang membuat Anda tersenyum kecut tanpa merasa perlu dipandang. Ah, tetapi, “Ketidakmampuan untuk mencapai kesempurnaan,” kata Abu Bakar As-Shiddiq, “Itulah kesempurnaan.”

            Lalu, saya hanya bisa berharap semoga TIAP bisa menjadi pembangkit saat stamina menurun. Ke hadapan bentangan sajadah, jalan cinta itu bisa terbuka. Hanya cinta saya pada Allah yang membuat diri ini harus bersujud syukur atas nikmat yang tiada pernah terputus setiap detiknya.



***

           Akhirnya, saya hanya bisa berdoa semoga ini adalah usaha awal yang baik, serta berakhir dalam kebaikan pula, asyraqat bidaayatuhu wa asyraqat nihaayatuhu. Lain dari itu, semoga embrio-embrio semangat menulis saya dapat dikecup oleh generasi berikutnya. Ayo... saya tunggu wahai jundi-jundi Allah.

            Untukmu wahai Abi (Ust. Drs. Dadi Eddie Kurnia) dan Ummi (Laila Jamilah), tak hentinya daku selalu mendoakan. Tanpa ridha Abi dan Ummi, mustahil ini bisa ada. Buat adikku Habib Fadhlizzain, semoga kita bisa menjadi Qurrata A`yun yang baik. Kalahin Aa yah...!

            Tak lupa pula, ta`zhim saya kepada pimpinan Dayah Riyadhul Mubarak (RIMU) Tgk. Bushairi Yahya beserta Ummi, syukran jaziila atas suri tauladan yang tak pernah surut berhembus mengisi relung-relung jiwa kami yang nakal-nakal. Juga kepada guru tercinta saya, Tgk. Muzakkir yang tak pernah bosan memberikan kami sesuatu yang baru di setiap episodenya.

            Terima kasih kepada Bupati Bireuen Bpk. Nurdin Abdur Rahman atas dorongan semangat belajar kepada kami semasa di SMA. Jangan berhenti berdakwah dengan memimpin, sebelum mengijnakkan kaki ke dalam surga. Kepada Pak Camat Samalanga, Darmawansyah Bsc. Semoga Allah membalas usaha Bapak dengan berlipat ganda. Tanpa dukungan dari Bapak, buku ini tidak akan ada di tangan para pencari cinta. Dan yang khusus spesial, untuk rekan Abi saya, Pak Yudi Pramoko yang telah mengubah jiwa saya dari penulis pasif, menjadi penulis aktif. Syukran atas metode menulis pram-nya yang luar biasa. Semoga buku ini bisa menjadi awal bagi karya-karya saya berikutnya. Juga buat Ustadz Nurrahim, syukran atas semangatnya, semoga FLP Bogor semakin hidup dan di isi oleh penulis-penulis berbakat dan berghira Islami.

            Buat Abuku, Na. H. Djalaluddin, semoga Allah menjadikan umur beliau penuh dengan barokah Allah. Buat Jaddah (Ummi Aini) dan keluarga, semoga dalam lindungan Allah di setiap nafas ibadah. Juga keluarga Fikri semua. Tante Niar, Tante Shalihah, Tante Wita, Tante Lian, Om Mulyo, Om Faisal, Om Mamo, Om Dedi. Allahumma irdha lahum fid dun-yaa wal aakhirah. Wasqihim birahmatika ya arhamar raahimin.

            Salam hormat saya juga kepada semua teman-teman seperjuangan yang selalu memberikan sokongan kepada saya. Yang teristimewa kepada Akhi Tgk. Tarmizi dan Manzarul Akhyaar, ingat yah suara jangkrik tengah malamnya? Kepada seluruh santriwati RIMU Al-Banat, maaf kalau ngajar Bahasa Arabnya kasar-kasar. Semoga aku bermanfaat untuk kalian. Tersenyumlah, karena walau pun susah, tapi kita pasti bisa!

            Buat penerbit dan seluruh staff, terima kasih banyak atas jasa dan segala. Semoga Allah selalu memberikan keberkahan yang tak terhingga. Salam istimewa saya juga buat Akhi Dendi, doakan saya semoga bisa terus istiqamah di jalan ini. Karena Elite`s team siap berjalan menghadapi rawa, badai, dan hutan. Untuk Ustadz Amin Sugiharto, jazaakumullah khairan katsiiran, semoga saya bisa cepat-cepat menyandang tiga huruf itu, PJS. HPA, Hanya Pada Allah, Harapan Pasti Ada. Allahu Akbar! Jalan saya masih sangat panjang.

            Buat Akhi Deden, Imam, Ricahad,  Aini,  Amel, Dwi, dan.... Subhanallah, ada banyak nama, tapi halaman sangat terbatas. Jadi mohon maaf kalau ada yang namanya tidak tersebut karena faktor halaman. Ntar penerbit protes. Hehe... Tapi insya Allah, halaman hati saya terbuka untuk mengingat keshalihan yang telah Antum berikan selama ini pada saya. Akhirnya, hanya kepada Allah kita menyembah, dan kepada Allah kita memohon pertolongan. Iyyahu na`budu wa iyyaahu nasta`iin.


Qaddimuu a`maalakum bidaaril aakhirah
Tajiduu `indahaa fauzaw wa najaah

fikri habibullah muharram 


2 komentar:

Sandhi Al Fath mengatakan...

Subhanallah, sungguh sebuah perjuangan yang sarat motivasi kang Fikri, memompa semangat saya untuk tidak pernah lelah membuat sebuah karya seperti yang lain..Syukron.

Unknown mengatakan...

sukses selalu untuk akhi fikri :)