Kamis, 21 Juni 2012

Masalah `Iddah Wanita


Pengertian Iddah
            Dalam Bahasa Arab, iddah di ambil dari kata-kata al-`adad (العدد) yang berarti bilangan. Hal ini karena ketika berbicara tentang iddah, biasanya akan berbicara tentang bilangan-bilangan kurun waktu seperti bulan, tahun, dan lain-lain.
            Imam Zainuddin Al-Malibari dalam kitabnya, Fathul Mu`in memberikan definisi iddah menurut syarah sebagai berikut :
مدة تتربص فيها المرأة لمعرفة براءة رحمها من الحمل أو للتعبد
Jangka waktu dimana seorang perempuan menahan diri (menunggu) agar dapat diketahui rahimnya itu bebas dari hamil atau karena alasan ta`abbud.[1]
            
   Dari definisi di atas dapat ditarik beberapa point :
1.      Iddah akan terjadi karena sebab terputusnya nikah seorang wanita dengan suaminya, baik karena sebab wafat suaminya, atau karena ditalaq (cerai).
2.      Berbicara tentang iddah secara tidak langung akan berbicara pula tentang bilangan masa (muddah) yang akan menentukan berapa lama seorang perempuan akan menahan diri (tarabbuhs) sejak terputusnya nikah sampai masa iddahnya selesai
3.      Tujuan iddah yang dapat diterima dengan akal (ta`qqul) adalah untuk memastikan bahwa dalam rahim si wanita yang telah berpisah dengan suaminya itu bersih dari kehamilan. Sebab, seandainya tidak ada iddah, bisa jadi ketika si wanita itu langsung menikah dengan lelaki lain, akan sulit dibedakan anak dari suami mana yang akan kelak dilahirkan. Permasalahan ini otomatis akan sambung-menyambung tentang hak waris.
4.      Alasan lain karena ta`abbud. Ta`abbud adalah lawan dari ta`aqqul, dimana sebuah hukum apabila tidak ditemukan alasan yang logis menurut akal, maka sebagai hamba kita tetap wajib melaksanakan hukum iddah tersebut karena semata-mata taat kepada Allah.

Dalil dan Hukum Iddah
            Seluruh kaum muslimin sepakat atas wajibnya `iddah, pada sebagian landasan pokoknya diambil dari Al-Quran dan Sunnah Rasul, setelah itu ijma` para ulama. Yang diambil dari kitabullah terdapat dalam surat Al-Baqoroh ayat 228:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Dan para isteri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru`. Tidak boleh bagi mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahim mereka, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan para suami mereka lebih berhak kembali kepda mereka dalam (masa) itu, jika mereka menghendaki perbaikan. Dan mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut. Tetapi para suami, mempunyai kelebihan atas mereka. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (Al-Baqoroh : 228)
         
           Adapun dalil dari Sunnah Rasulullah yang mewajibkan seorang wanita untuk ber-iddah adalah
حَدَّثَنِى زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا سَيَّارٌ وَحُصَيْنٌ وَمُغِيرَةُ وَأَشْعَثُ وَمُجَالِدٌ وَإِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِى خَالِدٍ وَدَاوُدُ كُلُّهُمْ عَنِ الشَّعْبِىِّ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ فَسَأَلْتُهَا عَنْ قَضَاءِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَلَيْهَا فَقَالَتْ طَلَّقَهَا زَوْجُهَا الْبَتَّةَ. فَقَالَتْ فَخَاصَمْتُهُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى السُّكْنَى وَالنَّفَقَةِ - قَالَتْ - فَلَمْ يَجْعَلْ لِى سُكْنَى وَلاَ نَفَقَةً وَأَمَرَنِى أَنْ أَعْتَدَّ فِى بَيْتِ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ.

Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami Husyaim telah mengabarkan kepada kami Sayyar, Hushain, Mughirah, Asy'ats, Mujalid, Isma'il bin Abi Khalid, dan Daud, semuanya dari Asy Sya'bi dia berkata; Saya pernah menemui Fathimah binti Qais untuk menanyakan tentang keputusan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam atas dirinya. Dia menjawab; Dulu suamiku pernah menceraikanku dengan talak tiga. Dia melanjutkan; Kemudian saya mengadukannya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengenai tempat tinggal dan nafkah. Dia melanjutkan; Namun beliau tidak menjadikan tempat tinggal untukku dan tidak juga nafkah, bahkan beliau menyuruhku menunggu masa iddah di rumah Abdullah bin Ummi Maktum." Dan telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya telah mengabarkan kepada kami Husyaim dari Hushain, Daud, Mughirah, Isma'il, dan Asya'asy dari Asy Sya'bi bahwa dia berkata; Saya pernah menemui Fathimah binti Qais. Seperti hadits Zuhair dari 'Ashi (H.R Muslim no. 3778)
            Dua dalil di atas menunjukkan bahwa iddah bagi seorang perempuan hukumnya wajib. Artinya ia akan berdosa apabila tidak mengazamkan diri untuk melaksanakan iddah seperti langsung menikah dengan lelaki ajnabi lain sebelum masa iddahnya selesai.

Pembagian Iddah
            Dr. Musthafa Diibul Bigha dalam bukunya Fiqih Syafi`i yang menukil dari matan At-Tahziib membagi klasifikasi seorang wanita yang menjalani `iddah kepada beberapa macam[2].
1.      Iddah wanita yang ditinggal mati suaminya.
2.      Iddah wanita yang tidak ditinggal mati oleh suaminya/talaq.
3.      Iddah wanita amah (budak wanita).
4.      Iddah wanita yang  melakukan hubungan seksual secara syubhat (watho syubhat).
5.      Iddah wanita yang berzina.
Dari empat pembagian ini akan terbagi lagi kepada masing-masing bagiannya, yang mana satu dari setiap bagian tersebut memiliki penjelasan masing-masing.

Iddah Wanita Yang Wafat Suaminya

A.    Iddah Wanita Yang Wafat Suaminya dan Tidak Dalam Masa Kehamilan
Seorang wanita yang ditinggal suaminya karena sebab wafat, ia harus menunggu masa iddahnya selama empat bulan sepuluh hari. Masa empat bulan sepuluh hari ini dengan catatan ia tidak dalam keadaan hamil. Baik dia itu wanita yang dewasa atau pun anak kecil (shabiyyah), dalam usia menopause atau tidak, sudah dicampur atau belum. Hal ini didasari oleh firman Allah SWT yang berbunyi :

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

Dan orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri, (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber-iddah) selama empat bulan sepuluh hari. (Q.S Al-Baqoroh : 234)
            Seluruh imam mazhab sepakat bahwa masa iddah empat bulan sepuluh hari ini berlaku apabila rahim si wanita yang ditinggal mati suaminya benar-benar bersih dari hamil. Apabila dalam masa empat bulan sepuluh hari ternyata si wanita tersebut hamil, maka iddahnya berubah kepada hukum iddah wanita wafat suaminya sedang ia dalam keadaan hamil.

a.      Iddah Wanita Yang Suaminya Wafat Sedang Ia Dalam Keadaan Hamil
Adapun wanita yang ditinggal wafat suaminya sedang ia dalam keadaan hamil, maka masa tunggu iddahnya adalah sampai ia melahirkan. Hal ini didasari pada firman Allah SWT
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. (Q.S At-Thalaq : 4)
            Umpamanya setelah satu bulan berpisah dengan suaminya ternyata si wanita tersebut melahirkan, maka masa iddahnya selama satu bulan. Masa iddah akan selesai setelah ia melahirkan kandungannya.
            Dalam kitab `Umdatul Ahkaam dijelaskan bahwa hamil yang berpisah dengan suaminya diperbolehkan untuk menikah lagi, meskipun masa nifasnya belum selesai. Namun suami yang barunya tiak boleh mencampurinya hingga wanita tersebut suci dari darah nifasnya.[3]
o    Wanita hamil yang berpisah dengan suaminya, diperbolehkan untuk menikah lagi, setelah dia melahirkan, meskipun masa nifasnya belum selesai. Namun suami yang barunya tidak boleh mencampurinya hingga wanita tersebut suci dari darah nifasnya. [Lihat Umdatul Ahkaam Kitab Ath-Thalaq bab 'Iddah (no. 325) dan Terj. Subulus Salam (III/108-109)]


Iddah Wanita Yang Tidak Wafat Suaminya
A.    Iddah Wanita Yang Hamil
Seperti hukum iddah wanita yang ditinggal wafat oleh suaminya, seorang wanita yang tidak ditinggal wafatnya apabila ia dalam keadaan hamil, maka iddahnya sampai dengan melahirkan. Hal ini didasari oleh keumuman firman Allah dalam surat At-Thalaq ayat empat sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. Dalam ayat tersebut tidak dibeda-bedakan antara wanita yang iddah karena bercerai atau pun wafat suaminya. Kedua-duanya sama, batas iddahnya sampai dengan melahirkan.

B.     Iddah Wanita Dithalaq Suaminya Dalam Tidak Keadaan Hamil

Seorang wanita yang dithalaq suaminya sedangkan ia tidak dalam keadaan haidh maka masa iddahnya adalah tiga quru. Hukum ini diambil dari Kitaabullah yang ayatnya sebagai berikut :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
Wanita-wanita yang ditalaq hendaklah menahan diri (menunggu) selama tiga quru. (Q.S. Al-Baqoroh : 228)
            Seorang wanita yang dithalaq suaminya dalam keadaan tidak hamil, maka masa tunggu `iddahnya selama tiga quru, sebagaiamana yang tertulis dalam ayat di atas. Terkait jumlah berapakah lamanya tiga quru tersebut terjadi perbedaan pendapat antara para ulama ahli Fiqih. Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu` Syarah Al-Muhadzzab memaknai quru dengan arti suci.[4]
            Jadi, semenjak ia dithalaq oleh suaminya, terhitung sejak saat itu ia harus melewati tiga kali fase haidh dan tiga kali fase suci. Misalnya ia haidh, kemudian suci, setelah itu haidh, setelah itu suci, haidh lagi, sampai pada fase suci (selepas haidh) yang ketiga berlalu, tandanya masa `iddahnya selesai. Bersamaan dengan itu si suami tidak boleh merujuk kembali ke isteri yang telah diceraikannya.
C.    Iddah Wanita Yang Dithalaq Ketika Dalam Keadaan Haidh
Seorang wanita yang dithalaq oleh suaminya dalam keadaan haidh, sebenarnya masa tunggu iddahnya sama seperti wanita tersebut dithalaq dalam keadaan suci. Yang membedakan hanya pada saat ia ia dithalaq, haid tersebut tidak dihitung ke dalam haid pertama. Artinya setelah haid pertama berlalu si wanita itu masih belum masuk fase quru yang pertama. Setelah suci ia harus menunggu haid dan di suci yang pertama itulah fase quru pertama dimulai.
Hal ini tentu saja membuat masa iddah si wanita tersebut semakin panjang bila dibandingkan senadainya wanita tersebut ditalaq dalam keadaan suci.  Karena talaq bisa jatuh kapan pun, entah ketika si wanita dalam keadaan suci, haid, atau hamil.
Maka dari itu talaq semacam ini sangat dicela dalam Islam. Bahkan dikatagorikan talaq bid`ah yang haram. Terkait permasalahan ini dapat dilirik dari hadis-hadis Rasulullah  SAW yang mencela seorang suami yang mentalaq isterinya dalam keadaan haid. Rasulullah memerintahkan orang tersebut agar ia merujuk lagi kepada isterinya. Setelah suci, ia boleh mentalak kembali (apabila bersikukuh untuuk tetap menceraikan isterinya), atau bahkan dianjurkan apabila ia mengurungkan niatnya untuk mencerai isterinya. Dan inilah hikmah yang sebenarnya sangat dianjurkan oleh syara`. Rasulullah SAW bersabda

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ ، حَدَّثَنَا اللَّيْثُ ، قَالَ : حَدَّثَنِي عُقَيْلٌ ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ : أَخْبَرَنِي سَالِمٌ أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ أَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَهْيَ حَائِضٌ فَذَكَرَ عُمَرُ لِرَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَتَغَيَّظَ فِيهِ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم ثمَّ قَالَ لِيُرَاجِعْهَا ثُمَّ يُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ فَتَطْهُرَ فَإِنْ بَدَا لَهُ أَنْ يُطَلِّقَهَا فَلْيُطَلِّقْهَا طَاهِرًا قَبْلَ أَنْ يَمَسَّهَا فَتِلْكَ الْعِدَّةُ كَمَا أَمَرَهُ اللَّه
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair Telah menceritakan kepada kami Al Laits ia berkata, Telah menceritakan kepadaku 'Uqail dari Ibnu Syihab ia berkata, Telah mengabarkan kepadaku Salim bahwa Abdullah bin Umar radliallahu 'anhuma Telah mengabarkan kepadanya; Bahawasanya ia pernah mentalak isterinya dalam keadaan haidl. Maka Umar pun menyampaikan hal itu pada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam marah dan bersabda: "Hendaklah ia meruju'nya kembali, lalu menahannya hingga ia suci dan haidl hingga ia suci kembali. Bila ia (Ibnu Umar) mau menceraikannya, maka ia boleh mentalaknya dalam keadaan suci sebelum ia menggaulinya. Itulah Al 'Iddah sebagaimana yang telah diperintahkan Allah 'azza wajalla."

            Sekali lagi, dari hadis di ini dapat diambil hukum bahwa talaq seorang suami kepada isterinya yang sedang menjalani masa haid tetap tembus, hanya saja hal ini sangat dilarang keras oleh Rasulullah SAW.  Kendati pun seorang suami harus mentalaq isterinya, maka seharusnya ia mentalaq ketika si isteri sedang dalam keadaan suci (tidak haid), agar masa iddahnya tidak terlalu lama.

D.    Iddah Wanita Yang Belum Dicampuri Oleh Suami
Seluruh ulama sepakat tentang tidak adanya kewajiban iddah bagi wanita yang belum dicampuri oleh suaminya. Kembali pada tujuan `iddah ialah untuk memastikan bahwa dalam rahim wanita tersebut bersih dari janin yang dikandungnya. Logikanya, bagaimana mungkin seorang wanita akan hamil apabila ia belum melakukan hubungan suami isteri. Beda lagi hukumnya apabila wanita tersebut pernah melakukan hubungan suami isteri, walau pun hanya sekali, maka ia wajib menjalani masa iddahnya.
Terkait hal ini Allah SWT berfirman dalam surat Al-Ahzab ayat 49
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.
            Sekali lagi, tentu akan kita yakini secara pasti bahwa seorang wanita yang belum dicampuri oleh suaminya, rahimnya bersih dari unsur kehamilan. Sedangkan tujuan iddah itu sendiri adalah memastikan tidak adanya janin dalam rahim wanita yang ditalaq.

E.     Iddah Wanita Yang Tidak Menjalani Masa Haid

Bagi wanita yang monopause (tidak ada kemungkinan haid) seperti yang sudah lanjut usia, atau anak kecil yang belum balgih, hal seperti ini besar kemungkinan akan terjadi. Agama Islam menentukan masa iddah mereka adalah tiga bulan, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat At-Thalaq ayat 4
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.(Q.S At-Thalaq : 4)
IDDAH AMAH (BUDAK WANITA)
A.    Iddah Budak Wanita Yang Hamil
Seorang budak wanita yang ditalaq oleh suaminya, apabila ia dalam keadaan hamil masa iddahnya sampai ia melahirkan. Penjelasan tentang iddah wanita hamil ini telah dijelaskan sebelumnya. Dalil yang berbicara tentang hal ini terdapat dalam Kitabullah surat At-Thalaq ayat : 4.

B.     Iddah Budak Wania Yang Tidak Hamil
Apabila budak wanita tersebut ditalaq suaminya sedang ia dalam keadaan tidak hamil, maka lama `iddahnya adalah dua quru.  Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu` menuqilkan dalil yang dipakai terkait hukum ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam As-Syafi`I, Baihaqi, dan Darul Quthni, dari Umar ibn Khattab, Rasulullah SAW bersabda “Seorang budak lelaki bisa menikahi dua orang perempuan, dan ia memiliki dua jatah talaq. Iddah seorang budak wanita adalah dua kali haidh. Apabila budak wanita itu tidak haid, amka iddahnya adalah dua bulan atau satu bulan setengah.[5]
Dalam kebanyakan literasi fiqih, terutama di lingkup mazhab As-Syafi`i, hukum seorang budak – pada kebanyakan – dikurangi setengah dari hukum seorang budak yang merdeka. Secara otomatis hukum ini akan berlaku pula bagi iddah wanita yang wafat suaminya yakin setengah dari iddah wanita merdeka; dua bulan lima hari. Karena iddah wanita merdeka adalah empat bulan sepuluh hari. Terkait hukum ini tidak ada ikhtilaf antara ulama.[6]

Iddah Wanta Yang Mlakukan Watha Syubhat
            Dalam ilmu fiqih dikenal istilah watha syubhat. Watha berarti jimak, sedangkan syubhat adalah perkara-perkara yang status hukumnya berada di antara halal dan haram. Ia tidak dapat dihukumkan halal, karena tidak jelas kehalalannya, dan juga tidak dapat dihukumkan haram karena alasan yang sama. Hal musykil (samar/tidak jelas) seperti ini dinamakan dengan syubhat. Contoh syubhat seperti seseorang menemukan benda tercecer (luqothoh).  Barang tercecer tersebut dihukumkan barang yang syubhat.  Kaitannya syubhat dalam watha syubhat di sini adalah persetubuhan yang dilakukan secara tidak sah, tetapi dalam keadaan tidak diketahui bahwa hukumnya watha tersebut haram. Misalnya dalam keadaan gelap seorang lelaki mengira bahwa wanita yang ada di sisinya adalah isterinya yang sah, sebaliknya si wanita menganggap lelaki yang ada di sisinya adalah suami sahnya. Watha (jimak) yang mereka lakukan dalam ilmu fiqih dihukumkan sebagai watha syubhat.            Contoh lain seperti kemiripan seorang wanita dengan isteri si suami tersebut baik dari segi fisik, gaya bicara, dan lain-lain, sehingga ia menyangka si wanita itu adalah isterinya, dan keduanya sama-sama mengira suami isteri dalam keadaan sadar.
Andaikata hal ini terjadi, maka si wanita tersebut terkena kewajiban`iddah. Karena watha syubhat dihukumkan seperti watha dalam nikah yang sah dari segi keturunan. Sedangkan watha dalam keadaan telah menikah diwajibkan adanya iddah, maka begitu pula hukumnya dengan watha syubhat. Selama masa `iddah, si wanita tidak boleh melakukan jimak dengan suaminya yang sah, sebagaimana dalam nikah yang sah seorang wanita yang sedang menjalankan masa `iddah tidak boleh menikah dengan lelaki lain sampai dengan masa `iddahnya selesai.
Tentang berapa lama masa iddah yang harus dijalani oleh seorang wanita yang melakukan watha syubhat, hal tersebut melirik pada status si wanita tersebut dengan mengikuti hukum-hukum yang telah dikemukakan sebelumnya. Contoh, apabila wanita tersebut dalam keadaan hamil, maka iddahnya sampai dengan melahirkan, begitu juga apabila dia seorang sahaya, maka iddahnya yang dia jalani adalah iddah seorang sahaya (amah).
`Iddah Wanita Yang Berzina
            Para ulama sepakat terkait hukum wanita yang melakuakan hubungan zina tidak memiliki masa iddah – terlepas dari pembicaraan tentang keharaman zina itu sendiri dan tinjauan dari sisi jinayah yang harus ia jalani. Alasannya, zina adalah perbuatan keji yang tidak dianjurkan dalam agama atau pun norma kehidupan manusia pada umumnya. Perbuatan zina selain menghancurkan moral, ia juga menghancurkan keturunan mansuia. Keturunan-keturunan yang lahir dari hubungan zina tidak dianggap dalam agama Islam dari segi waris atau pun nasab. Sedangkan tujuan iddah itu sendiri adalah untuk menjaga nasab agar terpelihara dan jelas statusnya. Hal ini jelas bertentangan antara terimin iddah dengan zina. Kesimpulannya, wanita yang berzina tidak dihukumukan dengan watha secara syubhat sekaligus tidak menjalani masa iddah, karena sperma yang haashil dari perzinaan tidak perlu dihormati.

Adab-Adab Wanita Yang Menjalankan Iddah

 Hikmah Disyariatkan `Iddah Dalam Islam
            Tidak ada sesuatu apapun yang Allah ciptakan dengan sia-sia. Dalam masalah hukum iddah pun tentu ada hikmah-hikmah yang dapat dipetik sebagai pelajaran bagi orang-orang beriman. Hanya Islam satu-satunya agama yang memiliki tata hukum yang rapid an jelas, yang belum tentu dimiliki oleh agama lain. Adapun hikmah disyari’atkannya ‘iddah adalah sebagai berikut:
1.      Mengetahui terbebasnya rahim, dan sehingga tidak bersatu air mani dari dua laki-laki atau lebih yang telah menggauli wanita tersebut pada rahimnya. Sehingga nasab anak yang mungkin dilahirkan tidak menjadi kacau.
2.      Menunjukkan keagungan, kemulian masalah pernikahan dan hubungan badan.
3.      Memberi kesempatan bagi sang suami yang telah mentalak istrinya untuk rujuk kembali. Karena bisa jadi ada suami yang menyesal setelah mentalak istrinya.
4.      Memuliakan kedudukan sang suami di mata sang istri. Sehingga dengan adanya masa iddah akan semakin menampakkan pengaruh perpisahan antara pasangan suami-istri. Karena itu, di masa iddah karena ditinggal mati, wanita dilarang untuk berhias dan mempercantik diri, sebagai bentuk berkabung atas meninggalkan sang kekasih.
5.      Berhati-hati dalam menjaga hak suami, kemaslahatan istri dan hak anak-anak, serta melaksanakan hak Allah yang telah mewajibkannya. [Lihat I'laamul Muwaqqi'iin (II/85)]



[1] Zainuddil Al-Malibari, Fathul Mu`in Syarah Qurrotul `Ain, (Beirut: Daarul Fikr) hal. 37 juz.4
[2] Dr. Musthafa Diibul Bigha, Fiqih As-Syafi`I Terjemah At-Tahdziib, (Surabaya, CV Bintang Fajar, tanpa tahun) hal. 411
[3] Umdatul Kalaam hal. 325
[4] Imam Muhyiddin An-Nawawi, Al-Majmu` Syarah Al-Muhadzzhab, (Libanon, Darul Kutub Al-`Ilmiyyah, 2011) juz. 21  hal. 546
[5] Imam Muhyiddin An-Nawawi, Al-Majmu` Syarah Al-Muhadzzhab, (Libanon, Darul Kutub Al-`Ilmiyyah, 2011) juz. 21  hal. 559
[6] Ibid, hal 561

Tidak ada komentar: