Kamis, 21 Juni 2012

HUKUM MENAFKAHI KELUARGA



           Telah menjadi kodrat dari Allah bahwa yang membedakan manusia dengan makhluk selainnya adalah akal dan hawa nafsu. Jika Allah hanya memberikan akal kepada malaikat, Allah juga memberikan akal kepada manusia. Begitu juga ketika Allah memberikan nafsu kepada hewan, Allah memberikan pula nafsu kepada manusia. Maka sempurnalah manusia dengan segala kelebihan yang dimilikinya.

          Seluruh kehidupan manusia telah diatur secara paripurna oleh Allah SWT melalui perantara Rasul-Nya. Khusus dalam konteks hawa nafsu yang dimiliki setiap manusia, syariat telah memberikan jalan dan garis-garis tersendiri. Syariat memahami betapa vitalnya nafsu sebagai salah satu aksesoris yang Allah berikan kepada manusia dan tidak diberikan kepada malaikat. Terkait hawa nafsu ini, Islam tidak pernah membolehkan, apalagi menganjurkan kepada seluruh pemeluknya untuk melenyapkannya. Sebab, kecenderungan hati setiap manusia kepada nafsu tidak dapat dipungkiri. Ada banyak keinginan-keinginan duniawi yang Islam benarkan dan itu berhak dimiliki oleh manusia yang menginginkannya. Hal ini sesuai dengan yang Allah SWT firmankan dalam Surat Ali-Imron ayat : 14 :

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ  (14)

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).
           
          Sekilas, jika diperhatikan kembali ayat di atas, memang ada banyak sekali hasrat-hasrat (syahwat) yang diingini oleh setiap manusia. Akan tetapi, Allah SWT menyebutkan wanita (nisa), dalam ayat di atas berada pada posisi keinginan yang paling pertama, sebelum anak-anak, harta dalam macam emas, perak, kendaraan, dll. Ayat ini menyiratkan makna tentang hasrat atau nafsu kepada wanita pasti dimiliki oleh setiap orang. Lain halnya dengan harta. Hanya sekelompok orang tertentu yang dapat memiliki dan memanfaatkannya. Dengan kata lain, setiap laki-laki yang normal pasti menginginkan wanita, begitupun wanita menginginkan lelaki. Agama Islam jelas tidak melarang setiap manusia untuk menginginkan keinginan-keinginan seperti yang Allah firmankan dalam ayat sebelumnya, termasuk untuk menumpahkan hasrat nafsu lelaki kepada seorang wanita, begitu juga wanita kepada seorang lelaki.

          Oleh lantaran demikan, Islam memberikan pintu masuk bagi siapapun yang ingin menumpahkan nafsu kepada lawan jenisnya dengan jalan menikah. Dengan pernikahan manusia mampu memiliki keturunan-keturunan yang baik dan terpelihara. Lebih dari itu, melalui pernikahan setiap manusia diharapkan mampu membangun sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, sehingga kebutuhan manusia secara lahir maupun batin dapat tersalurkan di jalan yang benar.

          Untuk itu, salah satu rambu pernikahan yang harus diperhatikan oleh setiap manusia dengan pemenuhan kebutuhan hak dan kewajiban dalam bentuk nafkah. Setiap ada ikatan pernikahan, maka di sana seseorang suami harus bertanggungjawab untuk memberikan nafkahnya kepada keluarganya.

Prinsip Nafkah Dalam Islam

          Nafkah dalam terminologi ilmu fiqih disebut juga dengan النفقة yang secara bahasa bermakna راج yang berarti laku, laris.[1] Sedangkan An-Nafaqoh secara istilaahi, menurut Ulama Mazhab Syafi`I berarti

طعام مقدر لزوجة و خادمها على زوج, أو لغيرهما من أصل, و فرع, و رقيق, و حيوان ما يكفيه.

Makanan yang diberikan untuk istri atau pembantu yang kadarnya telah ditentukan. Ataupun selain untuk keduanya dari asal seperti furu`, budak, atau binatang ternak yang sesuai dengan ukurannya.
         
Definisi di atas terasa lebih rinci, bahwa nafkah dalam ilmu fiqih tidak hanya dibebankan untuk sang suami. Dalam kasus budak, kewajiban nafkah jatuh pada tuannya. Begitu juga dengan binatang ternak, si pemiliknya wajib memberikan makanan pada binatang ternaknya.

Dalam sebuah kaidah fiqih dinyatakan, setiap orang yang menahan hak orang lain untuk kemanfaatannya, maka ia bertanggung jawab untuk membelanjainya.[2] Hal ini sudah menjadi garis secara umum, termasuk kaitannya dengan pernikahan. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa dengan terselenggarahnya akad nikah menimbulkan adanya hak dan kewajiban antara suami dan istri. Di antara kewajiban suami terhadap istri yang paling pokok adalah kewajiban memberikan nafkah baik dalam bentuk sandang, pangan, pakaian (kiswah), maupun tempat tinggal.

          Berdasarkan kaidah tersebut, maka tepat kiranya Islam mewajibkan suami untuk memberikan nafkah kepada istrinya. Adanya ikatan perkawinan yang sah menjadikan seorang istri terikat semata-mata hanya untu ksuaminya dan tertahan sebagai miliknya, karena ia berhak menikmatinya secara terus-menerus. Istri wajib taat kepada suami, tinggal di rumahnya, mengurus rumah tangganya, serta memelihara dan mendidik anak-anaknya. sebaliknya, suami bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhannya, memberi belanja kepadanya selama ikatan sebagai suami istri masih terjalin dengan baik. Mafhum mukholafahnya, nafkah akan gugur apabila seumpama istri durhaka, atau karena ada hal-hal lain yang menghalangi pemberian nafkah.

Dasar Penetapan Nafkah

Jika seorang istri hidup serumah dengan suami, maka suaminya wajib menanggung nafkahnya, mengurus segala kebutuhan seperti makan, minum, pakaian, tempat tinggal, dan sebagainya. Dalam hal ini istri tidak berhak meminta nafkah dalam jumlah tertentu, selama suami melaksanakan kewajiban tersebut. Andai kata suami bakhil (kikir) tanpa memberikan alasan yang dibenarkan secara syara    , istri berhak menuntut jumlah nafkah tertentu baginya untuk keperluan makan, pakaian, dan tempat tinggal. Dan Hakim boleh memutuskan berapa jumlah nafkah yang harus diterima oleh istri, serta mengharuskan suami untuk membayarnya jika tuduhan-tuduhan yang dilontarkan istri ternyata benar. [3]

Hal ini disandarkan oleh firman Allah SWT

...وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ...

Dan kewajiban ayah adalah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang mar`ruf (baik)…(Q.S. Al-Baqoroh : 233)
           
Dalam kitab Tafsir Ahkam, Imam Ibnu `Arabi menafsiri ayat ini sebagai dalil tentang kewajiban orangtua untuk memberikan nafkah kepada anaknya dengan cara yang baik (ma`ruf).[4] Karena seorang anak pada kodratnya tidak mampu mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Maka Allah SWT menyerahkan kewajiban itu kepada seorang orangtuanya agar mereka berusaha memenuhi kehidupan anaknya (juga keluarganya) dengan cara yang baik. Orangtua dalam konteks ini adalah ayahnya, yang juga wajib memberikan nafkah kepada ibu (istrinya). Mufassirin-mufassirin lainnya seperti Imam Ibnu Katsir dan Imam Al-Qurthubi menafsiri ayat ini tentang kewajiban seorang suami memberikan nafkah kepada keluaganya.[5] Memang pada ayat tersebut jika ditinjau dari aspek linguistik menggunakan konsep femina (muanttas). Seakan-akan yang memberikan nafkah adalah istri. Allah memilih kalimat istri (ibu) untuk merawat anaknya, karena pada dasarnya seorang ibu memang yang paling mengerti tentang tatacara mendidik, mengurus, dan meawat anaknya semenjak ia disusui (Q.S At- Thalaq : 6). Namun demikian, secara adat yang ma`ruf, suamilah yang berhak memberikan nafkah kepada keluarga baik dalam bentuk sandang, pangan, dan pakaian

          Istri boleh mengambil sebagian harta suaminya dengan cara yang baik, sekalipun tanpa sepengetahuan suami untuk mencukupi kebutuhan apabila suami melalaikan kewajibannya untuk memberikan nafkah. Bagi orang yang mempunyai hak, ia boleh mengambil haknya sendiri jika mampu melakukannya, dengan alasan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori, Muslim, Ahmad, Abu Daud, dan An-Nasa`i.

Dari Aisyah R.A. sesungguhnya Hindun binti `Utbah pernah bertanya, “Wahai Rasululallah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang yang kikir. Ia tidak mau memberi nafkah kepadaku, sehingga aku harus mengambil darinya tanpa sepengetahuannya”. Maka Rasulullah SAW bersabda, ambillah apa yang mencukupi bagimu dan anakmu dengan cara yang baik.
           
          Hadis ini menunjukkan bahwa jumlah nafkah diukur menurut kebutuhan istri, dengan ukuran yang baik bagi setiap pihak tanpa mengesampingkan kebiasaan yang berlaku pada keluarga istri. Oleh karena itu, jumlah nafkah ini tidak ada aturan yang tetap. Lebih tegasnya, ia menyesuaikan pada keadaan, zaman, tempat, dan keberadaan manusia tersebut. Maka boleh jadi jika seorang suami mempunyai beberapa istri, kadar nafkah satu istri dengan istri yang lainnya boleh jadi berbeda.

          Kecukupan dalam hal makanan meliputi semua yang dibutuhkan oleh istri, termasuk di dalamnya buah-buahan, makanan yang bisa dihidangkan dalam pesta dan segala jenis makanan yang kalau dihidangkan dapat menambah keromantisan berrumah tangga. Selanjutnya, termasuk dalam pengertian kebutuhan adalah obat-obatan dan lain sebagainya. Hal ini sepadan dengan yang Allah SWT firmankan  dalam surat Al-Baqoroh : 233.

       Jadi jelas, kewajiban nafkah hanya dapat diberikan oleh mereka yang berhak menerimanya. Selain dari yang telah diatur, tidak ada kewajiban pernafkahan dalam agama Islam.

Nafkah Bagi Isteri Yang Beriddah

          Iddah adalah saat dimana seorang istri menahan diri ketika hilangnya nikah, baik nikah yang sifatnya pasti (mutaakkid) atau nikah yang syubhat..[6] Perempuan dalam masa iddah raj`I atau hamil, ia berhak mendapatkan nafkah, karena Allah SWT berfirman

أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى

Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.
   
         Ayat ini jelas menunjukkan bahwa perempuan hamil berhak mendapatkan nafkah, baik dalam iddah talak raj`i ataupun ba`in, atau bahkan dalam iddah kematian yang nantinya akan ditanggung oleh ahli waris suami. Sedang untuk talak bain, para ahli fiqih berbeda pendapat tentang hak nafkahnya. Jika dalam keadaan hamil, maka ada tiga pendapat.[7]

          Pendapat pertama, bahwa ia berkah mendapatkan rumah (sukna), akan tetapi tidak berkah mendapatkan nafkah. Pendapat ini dipegang oleh Imam Malik dan As-Syafi`i. Mereka beralasan dengan firman Allah

أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ... (6)
Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu.. (Q.S. At-Thalaq : 6)
            Pendapat kedua, dikemukakan oleh Saidina Umar bin Khatab R.A. Umar bin Abdul Aziz dan segolongan ulama Hanafi, mereka mengatakan bahwa ia berhak mendapatkan nafkah dan rumah. Mereka juga mengambil dalil pada surat At-Thalaq ayat enam, sebagaimana yang telah dicantumkan di atas.
          Ayat tersebut menunjukkan tentang wajibnya memberikan tempat tinggal. Jika memberikan tempat tinggal itu hukumnya wajib, maka dengan sendirinya wajib memberikan nafkah seperti makanan, pakaian, dan lainnya. Allah SWT berfirman
فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا. (1)

… maka hendaklah kamu mencerikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah serta bertakwalah kepada Allah, Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu hal baru. (Q.S. At-Thalaq : 1)

            Hal ini tentu tidak berlaku bagi istri yang telah dijatuhkan talak tiga oleh suaminya.
          Pendapat ketiga, bahwa tidak berhak nafkah dan tempat tinggal. Pendapat ini sedikit lebih keras dari pendapat sebelumnya. Pendapat ketiga ini dipegang oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, Abu Tsaur, dan Ishaq.

          Dalam sebuah riwayat dari Ali, Ibnu Abbas, Jabir, Al-Hasan, Atha`, Syaibi, Abu Abi Laila, dan Syi`ah Imamiyyah, mereka mengemukakan alasan yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim, dari Fatimah binti Qais, ia berkata, “Suamiku telah menceraikan aku tiga kali pada masa Rasulullah SAW… ia tidak memberikan kepadaku nafkah atau tempat tinggal..” Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah bersabda, “Tempat tinggal dan nafkah hanyalah hak bagi perempuan yang suaminya ada hak rujuk.”[8]

Istri Tidak Menuntut Nafkah Berlebihan

        Telah diuraikan sebelumnya bahwa kewajiban memberikan nafkah ditujukan bagi seorang suami kepada istri dan anak-anak yang tinggal dalam lingkup keluarganya. Dalam menetapkan hukum ini, syariat tentu memahami setiap lelaki mempunyai kemampuan yang lebih dibandingkan perempuan pada umumnya. Imam Nawawi mengatakan bahwa pada sifat seorang lelaki terdapat kekuatan (quwwah), kesempurnaan akal, serta mampu memikul beban-beban berat yang tidak dapat dipikul oleh wanita.[9]

          Dalam surat An-Nisa ayat 35 Allah SWT berfirman yang artinya, “lelaki lebih kuat dari pada wanita.” Ayat ini memberikan ketegasan tentang qodrat laki-laki yang pada umumnya dapat diandalkan menjadi tulang punggung keluarga dalam hal penafkahan. Namun, kita pun memaklumi dari sisi lain bahwa setiap manusia pasti memiliki kekurangan-kekurangan. Ada kalanya kekurangan-kekurangan itu terjadi pada saat-saat dimana sang suami mendapatkan musibah atau halangan-halangan yang menyebabkan dirinya tidak mampu mencari nafkah seperti yang diharapkan. Dalam kondisi-kondisi seperti ini, seorang istri dituntut untuk meluweskan sifat pengertiannya, dalam kata lain tidak menuntut hak nafkahnya secara berlebihan. Kendati pun suami memiliki tanggung jawab penafkahan kepada istri dan keluarga, bukan berarti si istri tidak boleh mencari nafkah sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Islam tetap membolehkan apabila istri bekerja untuk memenuhi kebutuhan tambahan keluarga.

Apabila Suami Tidak Memenuhi Kewajiban Memberi Nafkah

          Sering ditemukan dalam pelbagai kasus dimana seorang suami menerlantarkan istri dan keluarganya begitu saja. Hal-hal semacam ini sangat dicela dalam agama. Bahkan ia dianggap telah mempermainkan hukum Allah yang semestinya tidak dilanggar.

          Dalam suatu kasus, apabila sang suami telah bekerja secara maksimal, sedang di kemudian hari ternyata ia memang tidak mampu memberikan nafkah yang sesuai dengan kebutuhan keluarga. Maka yang berhak untuk mengambil tindakan kasus ini adalah Hakim. Menurut kebanyakan ulama, hakim memberikan kebijakan yang memberikan nafkah pada saat itu adalah baitul maal atau uang kas negara.

           Atas segala tanggungan-tanggungan yang belum ditunaikan oleh si suami kepada istrinya, itu semua dijadikan piutang kepada istri yang sewaktu-waktu istri memiliki hak untuk menuntutnya kembali. Oleh karena itu seorang suami tetap dibebankan untuk terus berusaha mencari nafkah yang sesuai dengan kemampuannya dan keadaannya.

          Allah SWT berfirman

لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا

Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya.  (Q.S. At-Thalaq : 7)

            Ayat di atas adalah anjuran kepada seorang suami untuk terus berusaha mencari nafkah sekuat tenaga. Sebab Allah SWT tidak akan menerlantarkan hamba-Nya di luar kemapuan. Hal tersebut telah dijamin oleh Allah dalam ayatnya, Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Hal ini semestinya menjadi motivasi bagi setiap suami agar lebih giat mencari nafkah sebagai ladang amal di dunia dan akhirat. Yang memberikan garansi kemudahan ini tentu Allah SWT langsung. Allah tidak pernah memberikan kesukaran-kesukaran - mencari nafkah - pada hamba-Nya melebihi batas kekuatan yang dimiliki hamba-Nya.

Apakah Penyelenggaraan Walimah Termasuk Dalam Nafkah Suami?

     Walimah dalam bahasa Arab berarti makanan yang disediakan untuk pesta pernikahan.[10] Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadis shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim
أولم ولو بشاة

Adakanlah walimah walau dengan seekor kambing.

Hadis ini menyuruh kepada siapapun yang hendak melangsungkan pernikahan agar memeriahkannya dengan walimah atau pesta pernikahan. Rasulullah menganjurkannya kepada siapapun yang hendak melangsungkan pernikahan, hatta walau hanya dengan seekor kambing. Kata-kata “seekor kambing” adalah kinayah tentang betapa pentingnya perayaan pernikahan ini dilangsungkan, meski pun tidak besar-besaran. Tujuan diadakan walimah sebagai media syiar pemberitahuan kepada masyarakat perihal dua pasang manusia yang telah menikah. Maka kelak jika ada sesuatu di kemudian hari tidak akan menimbulkan fitnah bagi orang lain. Untuk pelaksanaan ritual acara walimah itu sendiri menyesuaikan kepada adat dan daerah masing-masing.

Akan tetapi, kami tidak menemukan satu pun dalil dalam Al-Quran maupun Al-Hadis yang menentukan apakah biaya penyelenggaraan walimah ditanggung oleh pihak si suami sebagai nafkah yang wajib diberikan kepada si istri. Ini artinya penyelenggaraan walimah dapat dimusyawarahkan kembali oleh kedua pihak pengantin.

Kesimpulan
1.     Nafkah artinya memberikan makan oleh seseorang yang menahan orang lain untuk mengambil suatu kemanfaatan darinya.
2.      Setiap orang yang menahan orang lain, seperti suami istri, maka si suami wajib memberikan nafkah kepada istri. Dan sebagai ganti, ia berhak menikmatinya secara terus menerus. Dalam contoh lain seperti seorang budak yang ditahan oleh pemiliknya, maka ia wajib memberikan nafkah kepada budak itu.
3.      Nafkah yang diberikan haruslah dengan nafkah yang halal dan dibenarkan oleh syar`i.
4.      Seorang istri hendaknya memiliki sifat pengertian apabila sewaktu-waktu sang suami tidak mampu memberikan nafkah sesuai dengan kebutuhan istri.
5.      Sebaliknya, suami agar memiliki kesadaran penuh tentang tanggung jawabnya sebagai tulang punggung nafkah keluarga, tidak main-main dalam urusan nafkah.
6.      Walau pun suami berkewajiban menanggung hak seorang istri, tidak menutup kemungkinan istri dapat mencari nafkah sendiri. Hal seperti ini dibenarkan oleh agama, selama masih beraa dalam batas-batas yang wajar.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Quraanul Kariim versi Departeman Agama Republik Indonesia
Ibnu Hajar Al-`Asqalani, Fathul Baari Syarah Shahih Bukhari, (Beirut: Daarul Fikri, 1996)
Imam Muhyiddin An-Nawawi, Al-Majmu` Syarh Al-Muhazzhab, (Libanon: Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 2011)
Drs. Slamet Abidin, Dkk, Fiqih Munakahat, (Bandung: Pustaka Setia, 1999)
Ibnul Arobi, Ahkaamul Qur`aan, (Libanon: Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 2008)
Imam Al-Qurthubi, Al-Jaami`ul Ahkaamil Quraan,(Kairo: Daarul Hadis, 1994)

Muhammad Al-Husaini Al-Hushni Ad-Damsyiqi, Kifaayatul Akhyaar, (Beirut, Daarul Khoir, 2005)

Ali Al-Jarijaani, At-Ta`riifat, (Beirut: Darul Kutub Arobi, 1405. H), hal. 192




[1] Imam Muhyiddin An-Nawawi, Al-Majmu` Syarh Al-Muhazzhab, (Libanon: Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 2011) hal. 149 jilid. 22
[2] Drs. Slamet Abidin, Dkk, Fiqih Munakahat, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal. 173 jilid. 1
[3]Ibid. hal. 124
[4] Ibnul Arobi, Ahkaamul Qur`aan, (Libanon: Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 2008), hal. 274 jilid 1
[5] Imam Al-Qurthubi, Al-Jaami`ul Ahkaamil Quraan,(Kairo: Daarul Hadis, 1994), hal 140 jilid. 2
[6] Ali Al-Jarijaani, At-Ta`riifat, (Beirut: Darul Kutub Arobi, 1405. H), hal. 192
[7] Drs. Slamet Abidin, Dkk, Fiqih Munakahat, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), jilid 1 hal. 178
[8] Ibid. Hal. 179.
[9] Imam Muhyiddin An-Nawawi, Al-Majmu` Syarh Al-Muhazzhab, (Libanon: Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 2011) hal. 152 jilid. 22

[10] Muhammad Al-Husaini Al-Hushni Ad-Damsyiqi, Kifaayatul Akhyaar, (Beirut, Daarul Khoir, 2005) hal. 447

Tidak ada komentar: