Kamis, 21 Juni 2012

SANAD `ALI DAN NAZIL



MENGENAL ISTILAH SANAD `ALI DAN NAZIL DALAM ILMU HADIS

Selayang Pandang Tentang Sanad

            “Sanad itu bagian dari agama”. Begitulah bunyi kalimat yang dikeluarkan oleh Ibnu Mubarok yang sering berdengung di kalangan para penggelut hadis dan ilmu hadis. Begitu pentingnya sanad dalam mempelajari sebuah hadis, sampai-sampai Ibnu Mubarok menganggap bahwa sanad termasuk dalam bagian dari agama Islam.[1]

            Sumber hukum yang kedua dalam Islam setelah Al-Quran adalah hadis Rasulullah SAW. Untuk itu, segala perkataan yang datang dari Rasulullah harus benar-benar diteliti apakah benar seperti itu yang dikatakan Rasul? Atau kah hadis tersebut hanya perbuatan segelintir oknum tidak bertanggungjawab yang mengatasnamakan perkataan Rasul? Inilah gunanya sanad. Mempelajari sanad akan memudahkan kita mendeteksi sumber berita sampai kepada asalnya. Hal ini sesuai dengan yang difirmankan Allah SWT

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا

Wahai orang-orang yang beriman, jika datang padamu suatu erita dari orang yang fasiq, maka “bertabayyun-lah”. (Q.S. Al-Hujurot : 6)

            Tabayyun dalam bahasa sekarang bisa diartikan sebagai check and recheck, guna memastikan kebenaran berita tersebut dengan meneliti siapa saja orang-orang yang mengatakannya. Jika orang tersebut dianggap sebagai pendusta atau ada hal-hal lain yang membuat kualitasnya diragukan, maka berita yang dibawanya bisa dipastikan akan ditolak. Itulah gunanya sanad.

                Dalam kitab-kitab `Uluumul Hadiits banyak menyebutkan tentang kemulian ummat ini salah satunya dengan adanya sanad. Keistimewaan adanya sanad sebagaimana yang ada di zaman sekarang tidak akan kita dapatkan dari ummat-ummat sebelum Nabi Muhammad SAW, apalagi agama selain Islam.

                Dalam kitab Fathul Mughiits, Muhammad ibn Khatim Al-Muzhaffar mengatakan bahwa Allah memberikan anugrah kemuliaan ummat ini dengan adanya sanad. Sanad ini tidak akan ditemukan pada ummat-ummat terdahulu. Mereka hanya berpedoman dengan lembaran-lembaran catatan yang mereka miliki. Padahal lembaran yang ada di tangan mereka sendiri telah bercampur-baur dengan perkataan mereka sendiri tanpa dapat dibedakan mana yang termasuk firman Allah misalnya kitab Taurat dengan akhbar yang mereka tulis sendiri.[2]

                Beda lagi dengan kita, ummat Nabi Muhammad yang mampu membedakan riwayat-riwayat dari orang-orang tertentu. Dengan adanya sanad, kita bisa lebih mudah mengenal ke-dhabith-an seorang periwayat dari segi kuat hafalannya, kehidupannya, termasuk apakah riwayat yang mereka bawa itu sampai kepada Nabi Muhammad SAW atau tidak.

                Untuk dapat menemukan sanad (transmitter) yang bersambung, diperlukan adanya upaya pengumpulan-pengumpulan sanad dari orang-orang tertentu. Inilah yang dilakukan para perantau ilmu hadis sanad di zaman dahulu, seperti yang dilakukan oleh Muhammad ibn Hatim tentang perjuangan berat dan usahanya melakukan rihlah demi menemukan sanad yang lebih sedikit dan bersumber dekat dengan Rasulullah SAW. Sampai-sampai ia menuturkan “Ketika aku memulai perjalanan, aku telah bersiap-siaga  (dengan berjalan kaki). Aku menghitung berapa jauh perjalanan yang telah kutempuh. Ketika telah sampai jarak seribu farsakh, barulah aku tidak menghitung lagi. Jauh… sangat jauh. Bahkan sampai tak terhitung lagi.”[3]

                Yahya ibn Mu`in menjelang wafatnya pernah ditanya apa yang kau rindukan? Ia menjawab baitu khaalin wa sanad `aali[4]. Begitulah kehebatan orang-orang terdahulu di dalam mencari sanad . Tidak sampai di situ, mereka bahkan mencari suatu riwayat dengan transmitter sanad sedikit mungkin sehingga sampai kepada Rasulullah SAW.  Apa yang mereka hadapi tentu lebih berat dari yang mereka ucapkan. Itulah prestasi-prestasi hebat yang dilakukan penggelut hadis zaman dahulu dalam mencari dan menelusuri jejak sanad yang lebih sedikit.

                Jika berbicara tentang tentang sanad dari segi `Ulumul Hadiis, banyak ulama berkomentar bahwa sanad hadis yang panjang akan lebih membuat  penelitian dari segi biografi para perawi, kritik kredibilitas baik dan buruk (al-jarh watt  a`diil) semakin banyak dan tentu saja memerlukan upaya yang lebih. Hal ini senada dengan yang dikatakan Imam Ahmad bin Hambal “(mencari) sanad yang tinggi hukumnya sunnah bagi orang-orang terdahulu (salaf).”

Definisi Sanad `Ali dan Nazil

                Ada banyak defninisi-defnisi dari para ulama hadis yang membeicvrakan tentang definisi sanad `ali dan nazil. Kami akan coba mengambil dari yang termudah, sebagaimana yang dijelaskan Imam At-Thohan dalam kitab Taisirnya. Ia mengatakan dari segi bahasa `ali adalah isim fa`il dari kata Al-`Uluwwu, العلو yang berarti tinggi. Kebalikan dari `ali sendiri adalah An-Nuzuul yang berarti turun.  Imam Mahmud At-Thahaan dalam Taisirnya mendefinisikan sanad `ali dan sanad nadzil sebagai berikut

 الإسناد العالي هو الذي قل عدد رجاله بالنسبة إلى سند آخر يرد به ذلك الحديث بعدد أكثر

Sanad ali adalah sanad yang jumlah perawinya lebih sedikit ketimbang sanad lain yang jumlah perawinya lebih banyak.

  - الإسناد النازل هو الذي كثر عدد رجاله بالنسبة الى سند آخر به ذلك الحديث بعدد أقل

Sanad nazil adalah sanad yang jumlah bilangan perawinya lebih banyak dibanding sanad lain yang jumlah perawinya lebih sedikit.

                Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa sanad `ali adalah sanad yang jumlah perawinya lebih sedikit dibanding dengan sanad lain yang lebih banyak dalam satu makna hadis yang sama. Contohnya seperti hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya,

3466 - حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ وَأَبُو كُرَيْبٍ قَالاَ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنِ الأَعْمَشِ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ عُمَيْرٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ ».

3467 - حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنِ الأَعْمَشِ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ عُمَيْرٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ دَخَلْتُ أَنَا وَعَمِّى عَلْقَمَةُ وَالأَسْوَدُ عَلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ وَأَنَا شَابٌّ يَوْمَئِذٍ فَذَكَرَ حَدِيثًا رُئِيتُ أَنَّهُ حَدَّثَ بِهِ مِنْ أَجْلِى قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-. بِمِثْلِ حَدِيثِ أَبِى مُعَاوِيَةَ وَزَادَ قَالَ فَلَمْ أَلْبَثْ حَتَّى تَزَوَّجْتُ.
           
Dua hadis di atas memiliki matan yang sama dengan sanad yang berbeda. Apabila diuraikan satu persatu, hadis yang pertama memiliki sanad sebagai berikut :

1.      Abu Bakar ibn Abi Syaibah
2.      Abu Mu`awiah
3.      Al-A`masy
4.      `Umaaroh ibn `Umair
5.      Abdurrahman ibn Yaziid
6.      Abdullah ibn Mas`ud

Sanad dari hadis yang kedua adalah :

1.      Utsman ibn Abi Syaibah
2.      Jariir
3.      Al A`masy
4.      `Ammaaroh ibn `Umair
5.      Abdurrahman ibn Yaziid

Merujuk kepada definisi sanad `ali dan naziil sebelumnya, jelas bahwa hadis yang kedua lebih `ali kedudukkannya dibandingkan dengan hadis yang pertama (nazil). Sanad hadis yang pertama berjumlah enam orang, dan sanad yang kedua berjumlah lima orang.

Pembagian Sanad `Ali dan Nazil

            Ulama-ulama pakar hadis membagi sanad `ali dan nazil menjadi lima bagian, dimana salah satu dari yang lima bagian tersebut dianggap`ali secara mutlaq, sedang sisanya `ali secara  nisbi. Berikut ini adalah pembagian dan perincian yang diuraikan Imam At-Thohaan dalam Taisir-nya[5] :
1.      Sanad yang dekat dengan Rasulullah SAW serta bersih dari kecacatan. Inilah yang dimaksud `ali secara mutlaq, dimana tidak ada penghalang atau faktor apapun yang menyebabkan sanad tersebut turun kualitas maupun kuantitasnya. Contohnya seperti :

حَدَّثَنَا مُعَلَّى بْنُ أَسَدٍ ، حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ عَنْ أَيُّوبَ ، عَنْ عِكْرِمَةَ ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّصلى الله عليه وسلم احْتَجَمَ وَهْوَ مُحْرِمٌ وَاحْتَجَمَ وَهْوَ صَائِمٌ (العالي)

 حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَإِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ إِسْحَاقُ أَخْبَرَنَا وَقَالَ الآخَرَانِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ عَمْرٍو عَنْ طَاوُسٍ وَعَطَاءٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهما - أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- احْتَجَمَ وَهُوَ مُحْرِمٌ. (النازل)

Dua hadis di atas memiliki matan yang sama maknanya. Keduanya adalah hadis fi`li, dimana Ibn Abbas Ra. Mengatakan apa yang dikerjakan oleh Rasulullah SAW. Hanya saja, transmisi jalur periwayatan hingga sampai kepada Ibn Abbas berbeda. Hadis yang pertama diriwayatkan oleh

1.      Mu`alla ibn Asad
2.      Wuhaib ibn Ayyuub
3.      `Ikrimah
4.      Ibn Abbas

Hadis yang kedua diriwayatkan oleh
1.      Abu Bakr ibn Abi Syaibah
2.      Zuhair ibn Ishaq
3.      Ishaq ibn Ibrahim
4.      Al-Ahzaan
5.      Sufyan ibn Uyainah
6.      Umar
7.      Thawus
8.      Atho

Jelas, meski keduanya memiliki matan yang semakna, hadis yang pertama dianggap lebih tinggi dari pada hadis yang kedua, karena periwayatnya lebih sedikit, sehingga kemungkinan terjadinya cacat dari para periwayatnya lebih minim. Sanad semacam ini dinamakan sanad `ali, karena lebih dekat sampainya kepada Nabi Muhammad SAW.

2.      Dekat dengan riwayat dari imam-imam Hadis. Yang termasuk ke dalam bagian ini adalah hadis-hadis yang pada ujungnya sampai kepada imam-imam hadis, seperti imam Bukhari, Imam Muslim, Imam An-Nasai dan lain-lain. Pembagian inilah yang menjadi sorotan para peneliti hadis. Menurut Mahmud at-Thohan, pembagian ini dikatagorikan ke dalam muwafaqoh, badal, musawah, dan mushofahah.[6] Hal senada juga diungkapkan oleh Imam As-Suyuthi dalam kitab Tadriibur Raawi.[7]

Muwafaqoh umpamanya sampai sebuah hadis kepada Anda dari jalur gurunya Imam Muslim yang jumlah perawinya lebih sedikit ketimbang Imam Muslim. Agar lebih mempermudah, dimana Anda umpamanya mengambil jalur periwayatan dari Imam Qutaiban ibn Sa`id yang merupakan guru dari Imam Bukhari ra. Kita tahu bahwa Imam Bukhari adalah pengarang salah satu kitab hadis yang populuer.

Musawah, umpamanya Imam Bukhori menulis sebuah hadis dalam kitabnya, di sisi lain kita memiliki hadis yang sama dengan sanad yang berbeda dengan jalur Imam Muslim. Posisi kita artinya sama dengan Imam Muslim. Posisi kita dalam kasus ini sama dengan Imam Bukhari, maka dari itu dinamakan al-musaawah yang berarti sama dengan Imam Bukhori.

Mushofahah, dalam jalur transmisi yang kita miliki sampai kepada Rasulullah SAW, posisi kita setara dengan murid dari Imam Hadis.

3.      Ali dengan sebab terdahulunya wafat perawi.  Apabila ada dua hadis yang masing-masing memiliki sanad yang berbeda, ditinjau dari perspektif ini, maka perawi yang wafat terlebih dahulu diposisikan lebih `ali dari pada hadis lain yang perawinya wafat kemudian. Contoh, seperti yang ditulis Mahmud At-Thahan dalam Taisirnya[8] apabila kita mengambil riwayat dari jalur Imam Baihaqi, maka hadis yang kita ambil lebih tinggi derajatnya dari ketimbang hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakar ibn Khalf. Mengapa? Karena Imam Baihaqi lebih dulu wafatnya dari pada Imam Abu Bakar ibn Khalaf. Faidahnya – seperti faidah pada bagian-bagian lain – dimungkinkan perawi yang wafatnya terlebih dahulu lebih sedikit kemungkinan cacatnya dari pada perawi yang wafat kemudian hari. Boleh jadi ada kemungkinan berubahnya hafalan perawi tersebut.

4.      `Ali karena lebih dulu mendengar hadis tersebut. Misalnya si A mendengarkan hadis pada usia 30 tahun. Si B mendengarkan hadis di usia 50 tahun. Jumlah perawi keduanya sampai kepada Rasulullah SAW sama. Maka si A, dalam perspektif ini dianggap lebih `ali dari pada si B karena ia lebih dahulu mendengarnya dari pada si B[9]

Pembagian Hadis Nazil

            Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya bahwa, kebalikan dari tiap-tiap hadis yang `ali adalah nazil. Artinya, lawan dari setiap hadis `ali yang telah dipaparkan sebelumnya adalah hadis nazil.[10]

Faidah Mengenal Hadis `Ali

            Sebenarnya, sebuah hadis baik dia berderajat `ali atau pun nazil, tidak memberikan pengaruh terhadap derajat/kualitas sebuah hadis, dengan catatan keduanya tidak memiliki kecacatan. Yang tentunya sah dibicarakan dalam konteks ini adalah faidah. Adapun faidah-faidah mengetahui sebuah hadis yang sanadnya sedikit (`ali) atau pun banyak (nazil) adalah sebagai berikut :

a.      Hadis ali lebih sedikit perawinya. Oleh karena itu kemungkinan-kemungkinan terjadinya kekurangan (khalal) dari tiap perawi sangat minim, ketimbang sanad yang lebih banyak perawinya. Sebagaimana lazimnya setiap manusia memiliki kekurangan masing-masing, semakin banyak manusia (perawi) dalam sebuah transmisi sanad, peluang terjadinya cacat terhadap sebuah riwayat lebih besar. Maka dari itu, apabila ada dua hadis yang sama makna dengan jalur yang berbeda, kita akan lebih memilih hadis yang sanadnya lebih sedikit.

b.      Semakin sedikit sanad – selama ia bersambung – semakin dekat kemungkinan sampainya kepada Rasulullah SAW. Si perawi tersebut tentu akan merasa lebih tenang di hati, karena sedikit kemungkinan-kemungkinan cacatnya sebuah hadis atau sanad.
c.      Dapat mentarjih dan memilih sanad yang lebih `ali ketika ada sanad lain yang bertentangan.

Tinjauan Lain Tentang Sanad `Ali dan Nazil

            Selain dari ta`rif sanad `ali dan nazil dari yang telah kami paparkan sebelumnya, ternyata ada juga termin lain yang berbicara tentang sanad `ali dan nazil. Muhammad ibn Shalih dalam kitabnya, `Uluum Mustholahil Hadiis memberikan definisi lain tentang sanad `ali dan nazil.

            Dalam kitabnya ia mengatakan, sanad `ali adalah sanad yang derajatnya lebih dekat pada derajat keshahihan. Sebaliknya, sanad nazil adalah sanad yang kemungkinan keshahihannya lebih jauh.[11]
            Dari definisi yang ditawarkannya, nampaknya kita akan lebih mudah mendeteksi bahwa sanad `ali adalah sanad yang apabila statusnya lebih mendekati kepada shahih, ketimbang sanad lain yang yang sebaliknya. Boleh jadi para perawinya lebih banyak, akan tetapi jika sanad tersebut lebih mendekati kepada keshahihan, maka sanad tersebut dianggap lebih tinggi dari sanad lain yang semakna dengannya yang otomatis menjadi nazil dengan sendirinya.

            Tentang sanad `ali ini, Muhammad ibn Shalih mengkatagorikan kembali sanad `ali kepada dua bagian, pertama `ali dari segi sifat. Kedua `ali dari segi bilangan perawi. Maksud `ali dari segi sifat adalah

أن يكون الرواة أقوى في الضبط أو العدالة من الرواة في إسناد آخر

Para perawinya lebih kuat dari segi hafalan maupun keadilannya ketimbang perawi dari sanad yang lain.

            Sedangkan `ali dari segi bilangan (`adad) seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, ialah

أن يقل عدد الرواة في إسناد بالنسبة إلى إسناد آخر

Lebih sedikit jumlah perawinya dari pada sanad yang lainnya.

            Apa maksud `ali dari segi sifat? Maksudnya para perawi yang ada dalam transmitter hadis tersebut memenuhi kriteria hadis shahih, yaitu

1.      Sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah
2.      Perawinya dhabith dari segi hafalan.
3.      Perawinya `adil (tidak fasiq)
4.      Tidak ada syudzudz (yang membuat hadis tersebut cacat dari segi matan atau pun sanad)

Adapun sanad yang nazil adalah kebalikan dari dua definisi di atas. Dari dua terminologi ini, kadang-kadang dalam suatu sanad yang `ali boleh jadi bergabung antara sifat dan `adad’; jumlah perawinya sedikit, kuat, dan adil.

Terkait soal `ali bis shifah, Ibrahim Al-Laahin dalam Syarah Al-Ikhtishaar `Uluumil Hadiits memberikan keterangan lain. Ia tetap bersikukuh bahwa sanad `ali tetap ditinjau dari jumlah bilangan para perawi. Sedangkan sifat, ia menganggap sebagai termin di luar permasalahan seputar sanad `ali dan nazil.[12]

[1] As-Sakhawi, Fathul Mughiits, (Libanon, Darul Fikr, 1403 H) hal. 4 juz. 3
[2] Ibid hal. 3 juz. 3
[3] Ibraahim Al-Laahim, Syarah Ikhstishaar `Uluumil Hadiits, (Versi Maktabah As-Syamilah, hal 369)
[4] Ibid hal. 357
[5] Dr. Mahmud At-Thahaan, Taisir Musthalahil Hadiits,  hal. 149
[6] Ibid. hal. 150
[7] Jalaluddin As-Suyuthi, Tadriibur Raawi, (Libanon, Daarul Fikri, 2009) hal  344
[8] Dr. Mahmud At-Thahaan, Taisir Musthalahil Hadiits,  hal. 150 / Tadriibur Roowi, hal. 345
[9] Muhammad ibn Ibrahim ibn Jamaah, Al-Manhalur Rawi Fil Mukhtashor `Uluumil Hadiits An-Nabawi, (Libanon, Darul Fikr, 1406 H) hal. 70 jilid. 1
[10] Abdur Rahman As-Syahruzuri, `Uluumul Hadiits Li Ibn As-Shilaah, (Libanon, Daarul Fikr, 2004), juz 1 hal. 
[11] Fadhilah Syaikh Muhammad ibn Shalih Al-`Utsamain, `Uluumul Musthalahil Hadiits, (Versi Maktabah Syamilah)
[12] Ibrahim Al-Laahin, Syarhul Ikhtishaar `Uluumil Hadiits, hal. 361 jilid. 1 (Maktabah As-Syamilah)

Tidak ada komentar: