Jumat, 22 Juni 2012

METODE IJTIHAD IMAM ABI HANIFAH dan IMAM MALIK




A.   PENDAHULUAN

                 I.      Sumber Hukum Yang Disepakat Para Ulama (Muttafaq)

Menurut Abdul Wahab Kallaf, kata adillah as-syar`iyyah (sumber hukum Islam), bersinonim dengan istilah adillah al-ahkaam, ushuul al-ahkaam, al-mashaadir at-Tasyrii`iyyah lil ahkaam.[1]
Para ulama membagi dalil hukum syara` menjadi dua, pertama dalil yang disepakati (muttafaq), dan dalil yang tidak disepakati (mukhtalaf). Dalil yang disepakati terdiri dari empat, yaitu Al-Quran, As-Sunnah Al-Muqoddasah, Al-Ijma`, dan Al-Qiyas. Mereka juga sepakat pada urutan prioritas penggunaannya harus digunakan secara tartiib, tidak boleh melompat. Konsekuensinya, apabila terjadi sebuah peristiwa, maka yang harus dilihat sumber hukumnya terlebih dahulu adalah Al-Quran. Apabila hukum tersebut tidak ditemukan di dalam Al-Quran, langkah selanjutnya adalah dengan melihat perkataan Rasulullah SAW dalam hadisnya. Seandainya masih juga tidak ditemukan, maka dilihat hukumnya dalam Ijma`, jika tidak ditemukan juga, maka berijtihad untuk mendapatkan hukumnya dengan menggunakan qiyas.[2]

Hal di atas terinspirasi dari ayat Al-Quran di surat An-Nisa ayat 59 :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (سورة النساء : 59)

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalilan berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah perkara tersebut kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S. An-Nisa : 59)
Dari penjelasan ringkas ini, jika diurutkan secara tafshili, sumber pengambilan hukum yang disepakati empat Imam Mazhab (Al-Hanafi, Al-Maliki, As-Syafi`I, dan Hambali) adalah :

1.       Al-Qur`an
2.       As-Sunnah
3.       Al-Ijma`
4.       Al-Qiyaas

2.    Dalil Yang Tidak Disepakati (Mukhtalaf)

Adapun dalil yang tidak disepakati (mukhtalaf) menurut Wahbah Az-Zuhaili ada tujuh. Perinciannya adalah
Istihsan
1.       Istihsan
2.       Mashalihur Mursalah (Istishlaah)
3.       Istishaab (Kembali ke asal)
4.       `Urf (adat istiadat)
5.       Mazhab Shohabi (perkataan para sahabat Rasul)
6.       Syar`u Man Qoblanaa (Syariat sebelum Rasulullah)
7.       Saddu Ad-Zari`ah[3]
Akan tetapi menurut Abdul Wahab Khallaf hanya ada enam, yaitu dengan meniadakan Sadd Ad-Dzari`ah. Oleh karena itu, menurut Abdul Wahab Khallaf, jumlah keseluruhan Adillah As-Syar`iyyah ini berjumlah sepuluh macam.[4]
Perlu untuk digaris bawahi, oleh karena adanya perbedaan sumber hukum di kalangan para mujtahid, terutama mujtahid yang empat, imbasnya yang terjadi adalah perbedaan fiqih yang kadangkala berjauhan antara satu mujtahid dengan mujtahid yang lainnya. Namun demikian, perbedaan-perbedaan ini hanya terjadi dalam masalah-masalah furu`iyyah saja, tidak dalam konteks masalah aqidah (teologi).

 Hal ini sangat senada dengan apa yang diungkapkan Waliyyullah Ad-Dahlawi dalam kitabnya Al-Inshoof  Fii Bayaanil Asbaabil Ikhtilaaf.  Berikut nuqilannya,
إعلم أن الله تعالى أنشأ بعد عصر التابعين نشئا من حملة العلم إنجازا لما وعده صلى الله عليه و سلم حيث قال يحمل هذا العلم من كل خلف عدوله فأخذوا عمن اجتمعوا معه منهم صفة الوضوء والغسل والصلاة والحج والنكاح والبيوع وسائر ما يكثر وقوعه ورووا حديث النبي صلى الله عليه و سلم وسمعوا قضايا قضاة البلدان وفتاوى مفتيها وسألوا عن المسائل واجتهدوا في ذلك كله ثم صاروا كبراء قوم ووسد اليهم الأمر فنسجوا على منوال شيوخهم ولم يألوا في تتبع الإيماءات والاقتضاءات فقضوا وأفتوا ورووا وعلموا[5]

3.    Penyebab Persoalan Perbedaan Sekaligus Timbulnya Mazhab Dalam Dunia Fiqih

Untuk point ini, sebenarnya pernah dibahas pada mata kuliah Pengantar Perbandingan Mazhab di semester dua. Pada paper ini kami akan coba menguraikan kembali sedikit permasalahan yang melatar belakangi timbulnya perbedaan sumber-sumber hukum yang kemudian menyebabkan terjadinya perbedaan hukum furu`iyyah di kalangan para mujtahid.
Menurut M. Hasan Ali, di antara sebab-sebab pokok terjdinya ikhtilaf di kalangan para mujtahid adalah sebagai berikut[6] :
a.        Sebab External
                                 i.            Berbeda Perbendaharaan Hadis dari masing-masing mujtahid.
Hal ini terjadi sebagaimana kita ketahui, bahwa para sahabat telah terpencar-pencar ke berbagai penjuru negeri yang banyak mengetahui tentang hadis Nabi, sukar menemui mereka.
Ada juga kemungkinan lain bahwa sahabat Nabi dapat dijumpai, tetapi masing-masing sahabat itu tidak sama dalam perbendaharaan hadisnya, karena pergaulannya dengan Rasulullah ikut menentukan banyak atau sedikitnya hadis yang diterima.
                               ii.            Di antara ulama dan ummat Islam, ada yang kurang memperhatikan situasi pada waktu Nabi bersabda, apakah ucapan beliau itu berlaku untuk umum atau untuk orang yang tertentu saja. Apakah perintah itu untuk selama-lamanya atau hanya bersifat sementara.
                             iii.            Di antara ulama dan ummat Islam ada yang kurang memperhatikan bagaimana caranya Nabi menjawab suatu pertanyaan atau menyuruh orang, karena adakalanya jawaban atau suruhan itu tepat untuk seseorang dan kadang-kadang tidak tepat untuk orang lain.
                             iv.            Di antara ulama dan ummat Islam ada yang terpengaruh oleh pendapat-pendapat yang diterima dari pemuka-pemuka dan ulama-ulama sebelumnya dengan ucapan telah terjadi ijma`, pada masalah-masalah yang tidak pernah terjadi ijma`. Seperti pendapat Ibnu Hajar yang mengutip Imam Nawawi dalam perkataannya,
Telah ijma` ummat, bahwa mengangkat tangan ketika takbiiratul ihroom sunnah hukumnya.
Padahal, Daud dan Ahmad Sayyar dari Ulama Syafi`iyyah membantah dengan mengatakan hukum mengangkat tangan ketika takbiiratul ihroom adalah wajib hukumnya, dan menurut Imam Malik tidak disunnatkan.
                               v.            Ada di antara ulama dan ummat Islam yang berpandangan terlalu berlebihan terhadap amaliyyah-amaliyyah yang disunnatkan, sehingga orang awam menganggapnya suatu amaliyah yang wajib dikerjakan. Sehingga mereka berdosa apabila meninggalkannya.
                             vi.            Para sahabat yang tinggal berpencar-pencar di seluruh pelosok negeri, ada yang meriwayatkan hadis berbeda-beda, karena mungkin lalai atau lupa, sedangkan yang mengingatkan di antara sahabat-sahabat tidak ada.
Ada juga sahabat yang menerima hadis tertentu, dan tidak diterima oleh sahabat yang lainnya.
Perbedaan pandangan dalam bidang politik, juga menimbulkan pendapat yang berbeda dalam menetapkan hukum Islam. Umpamanya Mazhab Khawarij, Syi`ah, Ahlussunnah, dan Mu`tazilah mempunyai falsafah dan pandangan hidup masing-masing. Paham yang berbeda itu tidak hanya terbatas pada masalah politik saja, tetapi lebih jauh berpengaruh pada masalah aqidah, yang saling mengkafirkan, masalah ubudiah yang saling menyalahkan, dan masalah penetapan suatu hukum tentang golongan mana yang mengemukakan pendapat itu. Kalau bukan golongannya mereka akan tolak. Kalau dalam golongannya baru mereka terima. Hal semacam ini boleh jadi terinspirasi karena sifat ta`asshub (fanatisme) dalam bermazhab.

b.       Sebab Internal
                                 i.            Kedudukan suatu hadis
Karena hadis-hadis yang datang dari Rasulullah itu melewati banyak jalan, maka terkadang menimbulkan perbedaan antara riwayat yang satu dengan riwayat yang lainnya. Bahkan bisa jadi berlawanan. Bagi yang mantap hatinya mempercayai bahwa perawinya tsiqoh dan dhobith, ia akan mengambil hadisnya. Begitu juga sebaliknya.
                               ii.            Perbedaan Penggunaan Sumber Hukum
Di sinilah sebab yang paling dominan terjadinya perbedaan mazhab. Para ulama dalam menetapkan suatu hukum tidak sama antara satu dengan yang lainnya. Hal ini dilatarbelakangi oleh tidak samanya sumber hukum yang mereka pakai. Adapun sumber-sumber hukum baik yang muttafaq atau pun mukhtalaf. Kami telah kemukakan di beberapa halaman yang lalu.
                             iii.            Perbedaan Pemahaman dan Penafsiran terhadap ayat dan hadis

B.          RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan apa yang telah kami uraikan sebelumnya, maka dalam paper ini kami akan membatasi masalah yang akan kami bahas. Rumusan-rumusan masalah yang akan kami bahas adalah :
A.     Metode-metode ijtihad Imam Abu Hanifah
B.      Metode-metode ijtihad Imam Al-Maliki
Setelah mengetahui dua point ini, pembaca diharapkan
A.     Mengetahui sumber hukum apa saja yang digunakan Imam Abu Hanifah dalam menetapkan suatu hukum.
B.      Mengetahui akibat-akibat yang terjadi dari perbedaan sumber-sumber hukum tersebut.
C.     Mengetahui sumber hukum apa saja yang digunakan Imam Al-Maliki dalam menetapkan suatu hukum.
D.     Mengetahui akibat-akibat yang terjadi dari perbedaan sumber-sumber hukum tersebut.

C.   METODE IJTIHAD YANG DIGUNAKAN IMAM ABU HANIFAH (80-150 H)

1.    Biografi Singkat Imam Abu Hanifah dan Latar Belakang Pendidikannya

Menurut sejarawan, Imam Hanafi adalah Abu Hanifah bin An-Nukman bin Tsabit bin Zufi At-Tamimi. Beliau masih mempunyai pertalian kekeluargaan dengan Ali bin Abi Thalib ra. Beliau di lahirkan di kufah pada tahun 80 H / 699 M, pada masa pemerintahan Al-Qalid bin Abd Malik, beliau menghabiskan waktu kecil hingga tumbuh menjadi dewasa di sana. Sejak masih kanak-kanak beliau telah menghafal Al-Quran.

Dalam hal memperdalam pengetahuannya tentang Al-Quran beliau sempat berguru kepada imam Ashin, seorang ulama terkenal pada masa itu. Beliau juga di kenal orang yang sangat tekun dalam mempelajari ilmu, sebagai gambaran, beliau pernah belajar fiqh kepada ulama yang paling terpandang pada masa itu yakni Humad Abu Sulaiman, tak kurang dari 18 tahun lamanya.

10 tahun sepeninggal gurunya yakni tahun 130 H, Imam pergi meninggalkan kota kufah menuju Mekkah. Beliau tinggal beberapa tahun lamanya di sana dan di tempat itu pula beliau bertemu dengan salah seorang murid Abdullah bin Abbas ra.

Semasa hidupnya, Imam Abu Hanifah di kenal sebagai seorang yang sangat dalam ilmunya, ahli zuhud, sangat tawaddhu' dan sangat teguh memegang ajaran agama. beliau tidak tertarik kepada jabatan-jabatan resmi kenegaraan, bahkan beliau pernah menolak tawaran sebagai hakim (qadhi) yang di tawarkan oleh Al-Manshur. Konon, karena penolakannya itu, beliau kemudian di penjarakan hingga akhir hayatnya.

Imam Abu Hanifah wafat pada tahun 150 H / 767 M pada usia 70 tahun. Beliau di makamkan di pekuburan khizra. Pada tahun 450 H / 1066 M, didirikanlah sebuah sekolah yang di beri nama Jami' Abu Hanifah.

Sepeninggal beliau, ajaran dan ilmunya tetap tersebar melalui murid-muridnya yang cukup banyak. Diantara murid-muridnya yang terkenal adalah Abu Yusuf, Abdullah bin Mubarak, waki' bin jarah, Ibn hasan Al-Syaibani, dan yang paling populer adalah Anas bin Malik, yang kelak mendirikan Mazhab Maliki dll. Sedangkan di antara kitab-kitabnya adalah: Al-Musu'an (kitab hadits, di kumpulkan oleh muridnya) Al-Makharij (di riwayatkan oleh Abu Yusuf) dan Fiqh Akbar (kitab fiqh yang lengkap).

Menurut Prof. Dr. Huzaemah Tahido Yanggo, MA dalam bukunya Pengantar Perbandingan Mazhab menjelaskan, Abu Hanifah pada mulanya gemar menekuni ilmu qira`at, hadis, nahwu, sastra, syi`ir, teologi dan ilmu-ilmu lainnya yang berkembang pada masa itu. Selian mumpuni dalam fiqih, beliau juga sangat kental dengan teologinya, sehingga ia menjadi salah seorang tokoh terpandang dalam ilmu tersebut. Karena ketajaman pemikirannya, ia sanggup menangkis serangan segolongan Khawarij yang doktrin ajarannya sangat ekstrim.[7]
Selanjutnya, Abu Hanifah menekuni ilmu fiqih di kufah yang pada waktu itu merupakan pusat pertemuan para ulama fiqih yang cendereung rasional (ahlur ra`yi). Di Iraq sendiri terdapat sebuah “Universitas” bernama Madrasah Kufah yang dirintis oleh sahabat Rasulullah yang bernama Ibnu Mas`ud. Kepemimpinan Madrasah Kufah kemudian beralih kepada Ibrahim An-Nakha`I, lalu Hammad bin Abi Sulaiman Al-Asy`ari (wafat 120 H). Hammad bin Sulaiman adalah salah seorang Imam besar ketika itu. Ia muraid dari Alqomah bin Qais dan Al-Qadhi Syuriah; keduanya adalah tokoh dan pakar fiqih yang terkenal di Kuffah dari kalangan tabi`in. Dari Hammad itulah Imam Abu Hanifah mempelajari ilmu fiqih dan hadis. Setelah itu ia sempat mengembara ke Hijjaz beberapa kali untuk mendalami fiqih dan hadisnya sebagai nilai tambah kualitas keilmuannya. Sepeninggal Hammad, Madrasah Kuffah sepakat untuk mengangkat Abu Hanifah sebagai “rektor” Madrasah Kuffah. Selama itu ia mengabdi dan banyak mengeluarkan fatwa dalam masalah fiqih. Fatwa-fatwanya itu merupakan dasar utama dari pemikiran mazhab Hanafi yang dikenal sekarang ini. [8]
2.    Pola Pemikiran, Metode Istidlal dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Abu Hanifah Dalam Menetapkan Hukum

Abu Hanifah dikenal sebagai Ahli Ra`yi dalam menetapkan hukum Islam, baik yang diistimbathkan dari Al-Quran atau pun hadis. Beliau banyak menggunakan nalar. Beliau mengutamakan ra`yi ketimbang khabar ahad. Abu Hanifah dalam berijtihad menetapkan suatu hukum berpegang kepada beberapa dalil syara' yaitu Al-Qur'an, Sunnah, Ijma' Sahabat, Qiyas, Istihsan, dan 'Urf.
3.    Al-Quran, Sumber Hukum Pertama Yang Digunakan Imam Abu Hanifah
Ada beberapa definisi yang menjelaskan tentang Al-Quran. Namun kami akan coba mengutip salah satu definisi tentang Al-Quran sebagaimana yang ditulis Abdul Wahab Khallaf, bahwa Al-Quran adalah Kalam Allah yang diturunkan oleh Allah kepada nabi Muhammad melalui malaikat Jibril dengan lafazh berbahasa Arab, dengan makna yang benar sebagai hujjah bagi Rasul, sebagai pedoman hidup, dianggap ibadah membacanya dan urutannya dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Naas, serta dijamin otentisitasnya.[9]

Kami tidak menjelaskan tentang apa itu Al-Quran secara panjang lebar. Terkait hal ini pernah dibahas dalam mata kuliah `Uluumul Qur`aan di awal smester. Akan tetapi, melirik dari definisi yang dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf, setidaknya ada beberapa maksud yang dapat dipertegas.

Pertama, Lafazh. Artinya bahwa Al-Quran baik makna dan lafazhnya langsung dari Allah SWT. Maka apa yang disampaikan Allah melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad dalam bentuk makna dan dilafazkan oleh Nabi dengan ibaratnya sendiri, bukanlah disebut Al-Quran, seperti hadis Qudsi. Karenanya tidak ada ulama yang mengharuskan berwuhdu untuk membaca hadis Qudsi.

Kedua, Berbahasa Arab. Mengandung arti bahwa menerjemahkan ayat Al-Quran dengan kata-kata yang semakna (sinonim) atau mengalihbahasakan Al-Quran kepada bahasa-bahasa lain, maka itu juga bukan disebut Al-Quran. Karena Al-Quran merupakan bahasa Arab khusus yang diturunkan dari sisi Allah. Maka shalat yang menggunakan Al-Quran tidaklah sah.[10]

Ketiga, diturunkan kepada Nabi Muhammad. Hal ini, mengandung arti bahwa wahyu Allah yang disampaikan kepada nabi-nabi terdahulu tidaklah disebut Al-Quran. Tetap apa yang dihikayatkan oleh Al-Quran tentang kehidupan dan syariat yang berlaku bagi ummat terdahulu disebut Al-Quruan.

Keempat, dinukilkan secara mutawatir. Artinya Al-Quran disampaikan secara pasti yang disepakati kebenaran periwayatannya (qoth`iyyul wurud dan qoth`iyyud dilaalah).  Sehingga tidak ada keraguan sedikit pun terhadap ayat-ayat Al-Quran baik dari segi makna dan turunnya.

Kelima, beribadah membacanya. Tentunya dengan keikhlasan di dalam membacanya, sekali pun tidak mengetahui maknanya, tetap akan mendapatkan pahala dari Allah SWT. Insya Allah.

Terkait hal ini, imam Abu Hanifah sependapat dengan Jumhur ulama lainnya bahwa Al-Qur'an merupakan sumber hukum Islam. Juga beliau sependapat bahwa Al-Qur'an adalah lafadz dan maknanya. Sumber ini, seperti yang sudah kami uraikan, adalah sumber yang muttafaq. Termasuk Imam Abu Hanifah. Namun, Abu Hanifah berbeda pendapat mengenai terjemah Al-Qur'an ke dalam bahasa selain bahasa Arab. Menurut beliau bahwa terjemah tersebut juga termasuk Al-Qur'an.

Diantara dalil yang menunjukkan pendapat Imam Hanafi tersebut adalah dia membolehkan sholat dengan menggunakan bahasa Persi, sekali pun tidak dalam keadaan darurat. Padahal menurut Imam Syafi'i sekalipun orang itu bodoh tidak boleh membaca Al-Qur'an dengan menggunakan bahasa selain Arab dalam sholat.

4.    Kehujjahan Al-Quran

Alasan yang dapat dipertanggungjawabkan bahwa Al-Quran merupakan hujjah dan hukum-hukumnya dijadikan sebagai undang-undang yang harus diikuti dan ditaati oleh manusia adalah, Al-Quran diturunkan dari Allah SWT, disampaikan kepada manusia dengan jalan yang pasti dan tidak terdapat keraguan tentang kebenarannya tanpa ada campur tangan manusia dalam penyusunannya. Hal ini mengandung arti Al-Quran merupakan mukjizat yang membuat manusia tidak mampu untuk mendatangkan yang semisalnya (Al-Baqoroh : 2, 22, 23, 24)

5.    As-Sunnah, Sumber Kedua Yang Digunakan Imam Abu Hanifah

Kalau Imam Hanafi tidak menemukan ketentuan hukum suatu masalah dalam Al-Qur'an, dia mencarinya dalam Sunnah. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Hasyr ayat 7;

  وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Para ulama sepakat bahwa hadits shahih itu merupakan sumber hukum, namun mereka berbeda pendapat dalam menilai keshahihan suatu hadits. Menurut pendapat Imam Hanafi di lihat dari segi sanad, hadits itu terbagi dalam mutawatir, masyhur dan ahad dan semua ulama telah menyepakati kehujjahan hadits mutawatir, namun mereka berbeda pendapat dalam menghukumi hadits ahad, yaitu hadits yang di riwayatkan dari Rosulullah SAW. oleh seorang, dua orang atau jama'ah, namun tidak mencapai derajat mutawatir.
           
            Para Imam Madzhab sepakat tentang kebolehan mengamalkan hadits ahad dengan syarat berikut:

  • Perawi sudah mencapai usia baligh dan berakal
  • Perawi harus muslim
  • Perawi haruslah orang yang adil, yakni bertakwa dan menjaga dari perbuatan tercela
  • Perawi harus betul-betul dhabit terhadap yang di riwayatkannya, dengan mendengar dari Rosulullah, memahami kandungannya, dan benar-benar menghafalnya.

Kemudian Imam Hanafi menambahkan tiga syarat selain syarat di atas, yaitu:

-          Perbuatan perawi tidak menyalahi riwayatnya itu.
-          Kandungan hadits bukan hal yang sering terjadi.
-          Riwayatnya tidak menyalahi qiyas apabila perawinya tidak faqih.

Diantara para perawi yang tidak faqih menurut Imam Abu Hanifah adalah Abu Hurairah, Salman Al-farisi, dan Anas Ibnu Malik. Secara rinci, kami tidak menjabarkan tentang hadis panjang lebar, sebagaimana al-Quran sebelumnya. Tentang hal ini pernah dibahas panjang lebar pada mata kuliah `Ulumul Hadiis di awa; smester.


6.    Ijma` Para Sahabat, Sumber Hukum Ketiga Imam Abu Hanifah

Secara bahasa kata Ijma` berasal dari bahasa Arab. Yaitu bentuk masdar dari kata

أجمع – يجمع – إجماعا

            Ijma` memiliki beberapa arti, di antaranya ketetapan hati atau keputusan untuk melakukan sesuatu. Kedua, sepakat. Arti kedua ini sebagaimana yang termaktub dalam firman Allah SWT pada surat Yusuf ayat 15
فَلَمَّا ذَهَبُوا بِهِ وَأَجْمَعُوا أَنْ يَجْعَلُوهُ فِي غَيَابَتِ الْجُبِّ

Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dalam sumur . . .

            Adapun secara istilahh, sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf

إتفاق جميع المجتهدين من المسلمين في عصر من العصور بعد وفاة الرسول على حكم شرعي في واقع من الوقائع
Kesepakatan semua imam mujtahid pada suatu masa setelah wafat Rasul terhadap hukum syara` mengenai suatu kasus.
            Dari definisi di atas, ada beberapa point yang dapat digaris bawahi, antara lain
1.       Semua mujtahid, artinya bahwa ijma` itu harus disepakati oleh semua mujtahid. Tidak ada di antara mereka yang menolaknya pada masa tersebut.
2.       Sesudah nabi wafat, artinya pada masa Nabi masih hidup tidak ada yang namanya ijma`. Karena segala permasalahan hukum dapat dijawab langsung oleh Nabi Muhammad SAW.
3.       Hukum syara`, artinya kesepakatan itu hanya terbatas pada hukum amaliah (syara`) dan tidak masuk ke dalam ranah hukum aqidah.
Para ulama, termasuk Imam Abu Hanifah telah sepakat bahwa ijma` merupakan salah satu sumber hukum dalam Islam. Ia menempati urutan ketiga setelah Al-Quran dan As-Sunnah. Tidak ada ulama yang menolak tentang kesepakatan ijma`. Posisi ijma` sebagai sumber hukum ini diinspirasi dari surat An-Nisa ayat 59
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُول . . .
            Pada lafazh ulil amri di atas, mengandung dua pengertian sebagaimana yang ditafsir oleh Ibnu Abbas :
1.       Penguasa dunia seperti raja, presiden, sultan, atau umara.
2.       ‘Penguasa agama yaitu para ulama mujtahid dan ahli fatwa agama.[11]  
Kedua macam ulil amri di atas wajib bagi ummat Islam untuk menaatinya selama mereka tidak bertentangan dengan hukum Allah. Tidak boleh ada ijmak yang mukhalafah dengan apa yang ada di dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Terminologi ijma` dikaitkan dengan ulil amri di atas termasuk kepada point kedua yaitu mujtahid atau ahli fatwa yang memiliki kedudukan sebagai pemimpin agama. kesepakatan mereka terhadap hukum suatu masalah itu disebut ijma` yang mengikat bagi ummat Islam untuk diikuti.
Kedudukan ijma` sebagai sumber hukum islam didasari oleh hadis Nabi yang mengaskan bahwa pada hakikatnya ijma` adalah milik ummat Ilam secara keseluruhan. Imam mujtahid merupakan wakil ummat dalam memutuskan hukum. Tentunya mereka sebagai wakil ummat tidak mungkin berdusta atau berbuat kesalahan yang disengaja. Maka jika mereka sudah berkumpul dan memutuskan hukum suatu masalah, maka keputusannya dianggap abash dan benar. Sebagaimana hadis Nabi Muhammad SAW
ما رأى المسلمون حسنا فهو عند الله حسن (رواه أحمد)
            Apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin, maka hal itu pun baik di sisi Allah. (H.R Ahmad)
            Menurut Abu Zahra sebagaimana dikutip oleh Satria Effendi, bahwa para ulama berbeda pendapat tentang jumlah pelaku kesepakatan ijma`itu dapat dianggap sebagai kesepakatan yang mengikat untuk di ikuti. Menurut  mazhab Maliki, kesepakatan dianggap ijma’ meskipun hanya berupa kesepakatan penduduk madinah yang dikenal sebagai ijma’ ahli madinah. Menurut kalangan syiah,  ijma’ adalah kesepaktan para imam di kalangan mereka. Adapun menurut jumhur ulama ijma’  sudah di anggap sah dengan adanya kesepakatan dari mayoritas ulama mujtahid. Dan menurut Abdul Karim Zaidan, ijma dianggap terjadi bila merupakan kesepakatan seluruh ulama mujtahid.[12]
7.    Qiyas, Sumber Hukum Keempat Imam Abu Hanifah

Qiyas dalam bahasa lain dikatakan juga “analogi”. Qiyas berhasla dari bahasa Arab yang merupakan masdar dari
قاس – يقيس – قياسا
Yang artinya mengukur dan membandingkan sesuatu yang semisalnya.

Ada banyak definisi yang menjelaskan tentang ijma`. Salah satunya seperti yang diutarakan Abu Zahra, ijma` adalah

إلحاق أمر غير منصوص على حكمه بأمر آخر منصوص على حكمه لأشتراك بينهما في علة الحكم
Menghubungkan suatu perkara yang tidak ada hukumnya dalam nash dengan perkara lain yang ada nash hukumnya karena ada persamaan illat.

Dari definisi di atas dapat ditarik beberapa point penting tentang qiyas,
-          Ada dua kasus yang mempunyai illat yang sama.
-          Kasus yang lama telah ada hukumnya berdasarkan nash. Adapun hukum yang baru belum ada nashnya.
-          Antara hukum yang lama dan hukum yang baru masing-masing memiliki sebab yang sama.
Jumhur ulama sepakat bahwa qiyas merupakan sumber hukum. Ia berada pada urutan keempat setelah Al-Quran, Hadis, dan Ijma`. Bagi ulama yang menjadikan qiyas sebagai sumber hukum atau disebut mutsbitul qiyaas, memiliki alasan yang kuat baik dari sisi nash maupun akal. Dalam nash al-Quran terdapat banyak ayat yang menyuruh agar manusia dapat menggunakan akalnya semaksimal mungkin. Menurut Abu Zahra sendiri tidak kurang dari 50 ayat berbicara agar manusia mau mengguunakan aklanya[13]. Di antaranya terdapat dalam surat Al-Hasyr ayat 59 yang artinya ambillah pelajaran wahai orang yang memiliki pandangan (akal).
Qiyas memiliki empat rukun yang tidak boleh dilanggar. Artinya kalau salah satu dari empat rukun ini tidak ada, maka qiyas tidak boleh terjadi. Rukun-rukun yang empat tersebut banyak dibicarakan dalam kitab-kitab ushul fiqih, ialah
1.       Al-Ashlu, sesuatu yang ada nash hukumnya. Ia disebut juga al-maqiis `alaih (yang dikiaskan kepadanya), mahmul `alalih (yang dijadikan pertanggungan), dan musyabbah bih (yang diserupakan dengannya)
2.       Al-Furu`, yaitu : sesuatu yang tidak ada nash hukumnya. Ia juga dinamakan al-maqiis (yang diqiyaskan), al-mahmuul (yang dipertanggungjawabkan), dan al-musyabbah (yang diserupakan).
3.       Hukum asal, yaitu hukum syara` yang ada nashnya. Dan ia dimaksudkan untuk menjadi hukum pada al-furu`.
4.       Al-`illat, yaitu suatu sifat yang dijadikan dasar untuk membentuk hukum pokok, dan berdasarkan adanya keberadaan sifat itu pada cabang (far`), maka ia disamakan dengan pokoknya dari segi hukum.

8.    Istihsan, Sumber Hukum Kelima Yang Digunakan Abu Hanifah
Istihsan meurut bahasa adalah menganggap sesuatu itu baik. Sedangkan menurut istilah ulama ushulfiqih istihsan ialah : Berpalingnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas yang jali (nyata) kepada tuntutan qiyas yang khafy (samar), atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum Istitsnaiy (pengecualian) karena ada dalil yang menyebabkan dia memilih dan memenangkan perpalingan ini.

Selanjutnya pada diri mujtahid terdapat dalil yang mengunggulkan segi analisis yang tersembunyi, lalu ia berpaling aspek analisis yang nyata, maka ini disebut dengan Istihsan. Demikian pula apabila ada hukum yang pengecualian kasuistis dari hukum yang bersifat kulli (umum)dan menurut hukum lainya, maka ini juga menurut syara’ disebut dengan Istihsan.

A.     Macam-macam Istihsan

Dari penjelasan istihsan menurut syara’ – sebagaimana pemaparan –  jelaslah bahwasanya istihsan ada dua macam, yaitu:

Pertama, pertarjihan qiyas khafy (yang tersembunyi) atas qiyas jali  (nyata) karena ada suatu dalil. Diantara contoh dari macam yang pertama Istihsan ialah seorang pewakaf apabila mewakapkan sebidang tanah pertanian, maka masuk pula secara otomatis hak pengairan (irigasi), hak air minum, hak lewat ke dalam wakaf, tanpa harus menyebutkanya, berdasarkan istihsan.

Menurut qiyas semuanya itu tidak termasuk kecuali bila terdapat nash yang mana menyebutkanya sebagaimana jual beli. Segi istihsan ialah, bahwasanya yang menjadi tujuan dari pada wakaf adalah pemanfaatan sesuatu yang diwakafkan kepada mereka. Padahal pemanfaatan tanah pertanian tidak akan ada kecuali dengan meminum airnya, saluran airnya, dan jalanya. Oleh karena itu, hal- hal tersebut juga termasuk dalam wakaf meskipun tanpa menyebutkannya. Karena tujuan tersebut tidak akan terealisasi kecuali dengan hal-hal itu, sebagaimana sewa-menyewa.

Dalam contoh yang diatas tersebut terdapat pertentangan pada suatu kasus antara dua qiyas, yang pertama qiyas nyata yang mudah dipahami, dan kedua qiyas yang tersembunyi yang agak rumit untuk dipahami, namun seorang mujtahid mempunyai dalil yang memenangkan qiyas  yang  tersembunyi, kemudian ia  berpaling dari qiyas yang nyata. Perpalingan ini adalah “istihsan”. Sedangkan dalil yang menjadi dasarnya adalah segi istihsanya.

B.      Kehujjahan Istihsan

Dari definisi istihsan dan penjelasan terhadap kedua macamnya jelaslah bahwasanya pada hakekatnya istihsan bukanlah sumber hukum yang berdiri sendiri, karena sesungguhnya hukum istihsan bentuk yang pertama dari kedua bentuknya berdalilkan qiyas tersembunyi yang mengalahkan qiyas yang jelas, karena adanya beberapa faktor yang memenangkan dan membuat tenang  hati seorang mujtahid. Itulah segi istihsan. Sedangkan bentuk yang kedua dari istihsan ialah bahwa dalilnya adalah maslahat, yang menuntut pengecualian kasuistis dari hukum kulli (umum), dan ini juga yang disebut dengan segi istihsan.

Mereka yang menggunakan hujjah berupa istihsan, mereka ini kebanyakan dari Ulama Hanafiyah, maka dalil mereka terhadap kehujjahanya ialah dengan istihsan merupakan istidlal dengan dasar qiyas yang nyata, atau ia merupakan pentarjihan suatu qiyas atas qiyas yang kontradiksi denganya adanya dalil yang menuntut pentarjihan ini, atau ia merupakan istidlal dengan kemaslahatan mursalah (umum) berdasarkan pengecualian kasuistis dari hukum kulli (umum). Semuanya ini merupakan istidlal yang shahih.

C.     Kesamaran orang yang tidak berhujjah dengan istihsan

Sekelompok mujtahid mengingkari terhadap istihsan sebagai hujjah dan mereka mengangapnya sebagai beristimbath terhadap hukum syara’ berdasarkan hawa nafsu dan seenaknya sendiri. Tokoh utama kelompok ini adalah Imam As-syafii’. Menurut sebuah riwayat, bahwa ia berkata
مَنْ اِسْتَحْسَنِ فَقَدْ شَرَّعَ
Artinya: “ Barang siapa  yang beristihsan, maka ia telah membuat syaria’t

Maksudnya orang tersebut telah memulai hukum syara’ dari dirinya sendiri. Dalam kitab Risalah Ushuliyah, As- Syafii’ menetapkan:
   
مَثَلُ مَنْ اِسْتَحْسَن حَكْمًا مِثْلُ  مِنِ  اتَّجَه  فِي الصَّلاَةِ  اِلَي جِهَةٍ  اِسْتَحْسَنَ اَنَّهَا الكَعْبَةُ  مِنْ غَيْرِ اَنْ يَقُوْمَ  لَهُ  دَلِيْل مِنَ الْاَدِلَّةَ  الَّتِى  اَقَا مَهَا الشَّارِعُ  لِتَعْيِيْنِ  الْاِتْجَاَهِ  اِلَى  الْكَعْبَةِ .
Artinya :
 Perumpamaan orang beriatihsan terhadapa hukum adalah seperti orang yang menghadap suatu arah di dalam shalatnya dimana ia beranggapan baik bahwa arah tersebut adalah ka’bah, namun tidak ada dalil baginya dari berbagai yang telah dikemukakan oleh Syari’ untuk menentukan arah kiblat”.

Dan di dalam kitab tersebut ia juga berkata:
اَلْاِسْتِحْسَانُ تَلَذُّذ. وَلَوْ جَازَ الاخْذُ بِالاِسْتِحْسَانِ فِى الدّيْنِ جَازَ ذللكَ لِاَهْلِ الْعَقُوْلُ مِنْ خَيْرٍ اَهْلِ العِلْمِ، وَلَوْجَازَ اَنْ يَشْرِعَ فى الدّين فى كُلّ بَابٍ وَاَنْ يَخْرجَ كُلٌّ اَحَدٍ لِنَفْسِه شَرْعًا .
Artinya:
Istihsan adalah mencari enak. Kalau sekiranya berdasarkan istihsan dalam agama itu boleh juga bagi kaum rasional yang tidak ahki agama, dan niscaya boleh pula mensyari’atkan agama pada setiap bab, serta boleh pula setip orang mengeluarkan hukum syara’ untuk dirinya sendiri”.

Menurut Abdul Wahab Khallaf, ia mengatakan bahwasanya kedua kelompok yang bertentangan pendapat mengenai isthsan tidak sepakat mengenai pembatasan pengertianya. Orang-orang yang mempergunakan istihsan sebagai hujjah memaksudkan makna istihsan tidak seperti yang dikehendaki oleh orang-orang yang tidak menjadikanya sebagai hujjah, kalau sekiranya mereka sepakat terhadap batasan pengertianya, niscaya mereka tidak akan berbeda pendapat mengenai menjadikan istihsan sebagai hujjah, karena sesungguhnya istihsan setelah di tahqiqkan adalah perpindahan dari dalil yang zhahir atau dari hukum yang kulli(umum) karena ada dalil yang menuntut dalil ini. Jadi ia bukan semata-mata pembentukan syari’at berdasarkan hawa nafsu.

Setiap hakim terkadang muncul pada akalnya suatu kemaslahatan yang hakiki dalam berbagai kasus, yang menuntut pemalingan hukum pada kasus tersebut dari apa yang dituntut oleh zhahir undang-undang. Hal ini tidak lain adalah bentuk dari pada istihsan.

Yang mempergunakan dalil  istihsan, ia tidaklah kembali kepada semata-mata perasaanya dan kemauanya saja, akan tetapi ia kembali kepada apa yang telah ia ketahui dari pada tujuanya syari’ secara keseluruhan pada berbagai contoh hal yang di ajukan, sebagaimana beberapa hal yang menurut qiyas, hanya saja hal itu akan membawa kepada hilangnya kemaslahatannya dari satu segi atau dari segi lainya ia bisa mendatangkan kerusakan.

9.    `Uruf (adat), Sumber Hukum Keenam Abu Hanifah

Imam Abu Hanifah menggunakan `Urf usebagai salah satu metode hukum yang dijadikan sumber dalam ijtihadnya. `Urf adalah segala sesuatu yang telah dikenal oleh orang banyak dan telah menjadi tradisi mereka, baik berupa perkataan, atau perbuatan, atau keadaan meninggalkan. Ia juga disebut adat istiadat. Sedangkan menurut istilah para ahli syara`, tidak ada perbedaan antara `urf dan kebiasaan. Maka `urf yang bersifat perbuatan adalah seperti saling pengertian manusia terhadap jual beli, dengan cara saling memberikan tanpa ada shifhat lafzhiyyah (ungkapan transaksi melalui perkataan).

`Urf tersebut terbentuk dari saling pengertian orang banyak, sekalipun mereka berlainan stratifikasi sosial mereka, yaitu kalangan awam dari masyarakat, dan kelompk elite mereka. Ini berbeda dengan ijma`, karena sesungguhnya ijma` terbentuk dari kesepakatan para mujtahid secara khusus, dan orang awam tidak ikut campur tangan dalam membentuknya.

Uruf terbagi kepada dua macam, yaitu
a.        `Urf yang shahih
b.       `Urf yang fasid

`Urf yang shahih ialah sesuatu yang dikenal oleh manusia, dan tidak bertentangna dengan dadlil syara`, tidak menghalalkan sesuatu yang diharamkan, tidak mengharamkan sesuatu yang dihalalkan, dan tidak pula membatalkan sesuatu yang wajib, sebagaimana kebiasaan mereka mengadakan akad jasa pembuatan (produksi), kebiasaaan mereka membagi maskawin kepada maskawin yang didahulukan (seserahan) jugaa maskawin yang diakhirkan penyerahannya. Tradisi seperti ini dinamakan `Urf, dan ia dibenarkan dalam Islam karena tidak ada dalil yang melarangnya, juga tidak ada dalil yang menganjurkan.

Adapun `Urf yang fasid adalah sesuatu yang sudah menjadi tradisi manusia, akan tetapi tradisi itu bertentangan dengan syara`. Tradisi `urf fasid yang masyhur di zaman sekarang seperti pacaran sebelum nikah.

Terkait `Urf yang shahih ini, Abdul Wahab Khalaf menjelaskan bahwa ianya wajib dipelihara dalam pembentukan hukum dan dalam pengadilan. Seorang mujtahid haruslah jeli dalam memperhatikan tradisi dalam pembentukan hukumnya. Di dalam pengadilan, seorang hakim pun demikian. Karena sesungguhnya sesuatu yang telah menjadi adat manusia dan sesuatu yang telah biasa mereka jalani, maka hal itu telah menjadi bagian dari kebutuhan mereka dan sesuai pula dengan kemaslahatan mereka. Oleh karena itu, maka sepanjang ia tidak bertentangan dengan syara`, maka `Urf wajib diperhatikan.

Oleh karena itu, para ulama ushul mengatakan
العادة شريعة محكمة
Adat merupakan syariat yang dikukkuhkan sebagai hukum.

Sebagai bukti legalitas `urf, Abu Hanifah dan para pengikutnya berbeda pendapat mengani sejumlah hukum berdasarkan perbedaan `urf mereka. Ketika tiba di Mesir, Imam as-Syafi`i merubah beberapa pendapatnya ketika masih berada di Baghdad. Perubahan ini terjadi karena `urf[14]. Inilah yang kita kenal dengan istilah qoul qodiim dan qoul jadiid.

10.  Master-Piece Imam Abu Hanifah

Prof. Dr. Huzaemah Tahido Yanggo yang mengutip Jamil Ahmad dalam bukunya Hundred Great Muslems mengemukakan bahwa, Abu Hanifah meninggalkan tiga karya besar yaitu
1.       Fiqhul Akbar
2.       Al-`Aalim wal Muta`allim
3.       Musnad Fiqh (majalah ringkas yang sangat populer)[15]
Menurut Syed Ameer Ali dalam bukunya The Spirit of Islam, karya-karya Abu Hanifah, baik mengenai fatwa-fatwanya, maupun ijtihad-ijtihadnya ketika itu (pada masa beliau masih hidup) belum dikodifikasikan. Setelah beliau meninggal, buah pikirannya dikodifikasikan oleh murid-murid dan pengikut-pengikutnya sehingga menjadi mazhab ahlur ra`yi yang hidup dan berkembang sampai sekarang.

D.   METODE IJTIHAD YANG DIGUNAKAN IMAM MALIK (93-179 H)

1.    Biografi Singkat Imam Malik

Bernama lengkap Anas bin Malik, imam yang kedua dari imam-imam empat serangkai dalam Islam dari segi umur. Beliau dilahirkan di kota Madinah, suatu daerah di negeri Hijaz. Wafatnya bertepatan pada hari Ahad, 10 Rabi`ul Awwal 179 H/798 M di Madinah pada masa pemerintahan Abbsiyah di bawah kekuasaan Harun Ar-Rasyid. Nama lengkapnya ialah Abu Abdillah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abu `Amir ibn Al-Haarits. Beliau adalah keturunan bangsa Arab dusun Dzu Ashbah, sebuah dusun di kota Himyar, jajahan negeri Yaman. Ibunya bernama Siti Al-`Aliyyah binti Syuraik ibn Abd. Ada riwayat yang mengatakan bahwa Imam Malik berada dalam kandungan rahim ibunya selama dua tahun, ada pula yang mengatakan sampai tiga tahun.
Imam Malik adalah seorang yang berbudi mulia, dengan pikiran yang cerdas, pemberani dan teguh mempertahankan kebenaran yang diyakininya. Beliau seorang yang mempunyai sopan santun dan lemah lembut, suka membesuk  orang yang sakit, mengasihani orang miskin dan suka memberi bantuan kepada orang yang membutuhkannya. Beliau juga seorang yang sangat pendiam, kalau berbicara dipilihnya mana yang perlu dan beguna, serta menjauhkan diri dari segala macam perbuatan yang tidak bermanfaat. Di samping itu, beliau juga seorang yang suka bergaul dengan handai taulan, orang-orang yang mengerti agama terutama pada gurunya, bahkan bergaul dengan para pejabat pemerintah atau wakil-wakil pemerintahan serta kepala negara. Beliau tidak pernah melanggar batasan agama.[16]

Imam Malik terdidik di kota Madinah pada masa pemeintahan Khalifah Sulaiman ibn Abdul Malik dari Bani Umaiyah VII. Pada waktu itu di kota tersebut hidup beberapa golongan pendukung Islam, antara lain: golongan sahabat Anshar dan Muhajirin serta para cerndik pandai ahli hukum Islam. Dalam suasana seperti itulah Imam Malik tumbuh dan mendapat pendidikan dari beberapa guru yang terkenal. Pelajaran pertama yang diterimanya adalah Al-Quran, yakin bagaimana cara membaca, memahami makna dan tafsirnya. Dihafalnya Al-Quran itu di uar kepala. Kemudian ia mempelajari hadis Nabi Muhammad SAW dengan tekun dan giat, sehingga mendapat julukan sebagai ahli hadis.

Sebagai seorang ahli hadis, beliau sangat menghormati dan menjunjung tinggi hadis Nabi SAW, sehingga bila hendak memberi pelajaran hadis, beliau selalu berwudhu terlebih dahulu, kemudian duduk di atas alas dan sembahyang tawadhu`. Beliau sangat tidak suka memberikan pelajaran hadis sambil berdiri di tengah jalan atau dengan cara tergesa-gesa. Inilah beberapa sifat contoh cara beliau memuliakan ilmu, terutama ilmu hadis.

Adapun guru yang pertama dan bergaul lama serta erat  adalah Imam Abdurrahman ibn Hurmuz, salah seorang ulama besar di Madinah. Kemudian beliau belajar fiqih kepada salah seorang ulama besar kota Madinah yang bernama Rabi`ah Ar-Ra`yi (wafat 136 H). Selanjutnya Imam Malik belajar ilmu hadis kepada Imam Nafi`, maula Ibnu Umar (wafat 117 H), juga belajar kepada Imam ibn Syihab Az-Zuhry.

Menurut riwayat yang dinukil Munawwar Cholil, bahwa di antara para guru Imam Malik yang utama itu tidak kurang dari 700 orang. Di antara sekian banyak gurunya itu, terdapat 300 orang yang tergolong masuk ke dalam thobaqot tabi`in.

2.    Al-Quran,

Tentang Al-Quran sebagai sumber hukum, kami telah berusaha memaparkannya pada metode ijtihad yang digunakan Imam Hanafi.

3.    As-Sunnah, Al-Ijma`, dan Al-Qiyaas

Sebagaimana yang telah kami ulas sebelumnya bahwa keempat sumber hukum utama yang tersebut di atas adalah sumber hukum yang muttafaq, maka dalam hal Imam Malik pun beristidlal dengan empat sumber hukum tersebut, sebagaimana yang juga dilakukan oleh Imam Abu Hanifah sebelumnya. Ke empat sumber pokok ini telah kami paparkan, sehingga kami merasa tidak perlu untuk menjelaskan lagi. Hanya ada beberapa perbedaan terkait interpretasi dari masing-masing pemahaman mereka terhadap Al-Quran dan As-sunnah. Adapun metode-metode lain yang digunakan Imam Malik selain dari empat sumber ini adalah
1.       Atsar Ahli Madinah
2.       Mashlahah Al-Mursalah (istishlaah)
3.       Qoul Shohabi (perkataan para sahabat)
4.       Khabar Ahad
5.       Al-Istihsaan
6.       Sadd Ad-Dzara`i
7.       Istishaab
8.       Syar`u Man Qoblanaa

4.    Itsar Ahli Madinah

Ijma` ahli Madinah ini ada dua macam, yaitu ijma` ahlul Madinah yang asalnya dari An-Naql, hasil dari mencontoh Rasulullah SAW, bukan dari hasil ijtihad ahlul Madiinah, seperti tentang ukuran kadar mudd, sho`, dan penentuan suatu tempat, seperti tempat mimbar Nabi Muhammad, atau tempat dilakukannya amalan-amalan rutin seperti adzan di tempat yang tinggi dan lain-lain. Ijma` semacam ini dijadikan hujjah oleh Imam Malik.[17]

Menurut Ibnu Taimiyyah, yang dimaksud dengan ijma` ahlul madiinah tersebut adalah ijma` ahlul madiinah pada masa lampau yang menyaksikan amalan-amalan yang berasal dari Nabi Muhammad SAW. Sedangkan amalan-amalan ahli Madinah di kemudian hari, sama sekali tidak dijadikan hujjah oleh Imam Malik.

Di kalangan mazhab Maliki sendiri, ijma` ahlil Madiinah lebih diutamakan dari pada khabar Ahad, sebab ijma` ahlil Madiinah merupakan pemberitaan oleh jama`ah, sedang khabar ahad hanya merupakan pemberitaan perorangan.

Ijma` Ahlil Madiinah ini ada beberapa tingkatan, yaitu

a.        Kesepakatan ahli Madinah yang sumbernya dari naql.
b.       Amalan ahli Madinah sebelum terbunuhnya Utsman bin Affan. Sebelum terjadinya peristiwa pembunuhan Saidina Utsman tersebut, amalan ahli Madinah menjadi hujjah bagi Imam Maliki.
c.        Amalan ahli Madinah itu dijadikan pendukung atau pentarjih atas dua dalil yang saling bertentangan. Artinya apabila ada dua dalil yang satu sama lain bertentangan, sedang untuk mentarjih salah satu dari dua dalil tersebut ada yang merupakan amalan ahli Madinah, maka tarjih itulah yang dimenangkan menurut Imam Maliki. Hal ini pula yang dilakukan Imam As-Syafi`i, muridnya.
d.       Amalan ahli Madinah sesudah masa keutamaan yang menyaksikan amalan Nabi SAW. Ijma` ahlil Madiinah seperti ini bukan hujjah, baik menurut as-Syafi`i, Ahmad bin Hambal, Abu Hanifah, maupun menurut para ulama di kalangan mazhab Malik

5.    Mashalahah Al-Mursalah (Istishlaah)

1)     Pengertian

Maslahah mursalah terdiri dari dua kata yaitu مصلحة dan مُرْسلة . Maslahah artinya baik (lawan dan buruk), manfaat atau terlepas dari kerusakan. Adapun kata mursalah secara bahasa artinya terlepas dan bebas. Maksudnya ialah terlepas dan bebas dari keterangan yang menujukan boleh atau tidaknya sesuatu yang dilakukan. Adapun menurut istilah syara’ sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam al-Ghazali dalam kitabnya musytasyfaya.
مَا لَمْ يَشْهَدْ لَهُ مِنَ الشَّرْعِ بِاالْبُطْلاَنِ وَلاَ بِاالْاِعْتِبَارِ نَصٌّ مُعَيَّنٌ

Sesuatu yang tidak ada bukti baginya dari syara’ dalam bentuk nash yang membatalkannya dan tidak ada pula yang menetapkanaya.

Abdul Wahab Khalaf mendefiniskan maslahah mursalah adalah “Sesuatu yang di anggap maslahah umum namun tidak ada ketegasan hukum untuk merealisasikannya dan tidak pula ada dalil tertentu baik yang mendukung maupun yang menolaknya”.

        Dari dua defenisi diatas dapat dipahami bahwa:
a.        Mashlahah mursalah adalah sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dalam al-Qur’an maupun hadist.
b.       Mashlahah mursalah adalah sesuatu yang baik menurut akal. Dengan pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan dan meghindari keburukan. Sesuatu yang baik menurut akal sehat pada hakikatnya tidak bertentangan dengan tujuan syara’ secara umum.

2)     Kehujaan Maslahah Mursalah

Jumhur ulama sepakat bahwa maslahah mursalahah adalah bukan dalil yang berdiri sendiri. Maslahah mursalah  tidak terlepas dari petunjuk syara’. Ulama tidak akan menggunakan maslahah mursalah dalam menghukumi sesuatu itu mendatangkan manfaat menurut tinjauan akal dan sejalan dengan tujuan syara’ (mendatangkan keselamatan ), tetapi hal itu bertentangan dengan prinsip nash, maka ketika itu nash harus didahulukan. Dan ketika itu ada maslahah mursalah  tidak dapat digunakan .

Imam Malik dan pengikutnya adalah kelompok yang secara jelas menggunakan maslahah mursalah sebagai salah satu metode ijtihadnya. Tetapi Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’I tidak memakainya sebagai metode ijtihad.
   
Kelompok yang menggunakan maslahah mursalah sebagai metode ijtihad tidak begitu menerimanya kecuali maslahah itu memenuhi syarat yang cukup ketat. Syarat yang besifat umum adalah ketika sesuatu itu tidak ditemukan hukumnya dalam nash yang sharih. Selain itu, ada syarat-syarat yang bersifat Khusus yang harus di penuhi yaitu:

a.        Maslahah mursalah itu bersifat hakiky dan  bukan maslahah yang bersifat perorangan dan bersifat zhan, dapat diterima oleh akal sehat bahwa hal itu benar-benar mendatangkan manfaat bagi manusia dan menghindarkan dari madharat secara utuh dan menyeluruh sejalan dengan tujuan syara’ tidak berbenturan dengan prinsip dalil syara’ yang telah ada baik dalam al-Qur’an maupun hadist. Contohnya, menjatuhkan talak itu bagi hakim saja dalam segala keadaan.
b.       Sesuatu yang dianggap maslahah itu hedaknya bersifat kepentingan umum bukan kepentingan pribadi.
c.        Sesuatu yang dianggap maslahah itu tidak bertentangan dengan nash al-Qur’an, hadist dan ijma.

3.       Macam-macam Maslahah :

a.        Al-Maslahah al-mu’tabara’h ialah maslahah yang secara tegas akui oleh syariat oleh syariat dan telah ditetapkan ketenyuan hukum-hukum untuk merealisasikan. Contoh: hukumanan untuk peminum khamar  demi jaga kelangsungan jiwa  dan akal, atau perintah berjihad untuk memelihara agama dari gempuran musuh.

b.       Al- Malahah al-Mulgah ialah sesuatu yang dianggap maslahah oleh akal pikiran, tetapi kemudinan dianggap palsu karena kenyataan bertentangan dengan syariat.
Contoh: Ada yang beranggapan bahwa menyamakan pembagian warisan antara anak laki-laki dan perempuan adalah sebuah maslahah, tapi anggapan ini bertentangan dengan syariat yang menegaskan bahwa bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan.

c.        Maslahah Mursalah. Maslahah ini yang menjadi kajian khusus dalam pembahasan ini sebagaimana telah di jelaskan diatas. Maslahah mursalah adalah maslahah yang tidak ada ketentuan hukumnyan baik dalam al-Qur’an maupun hadist dalam bidang muamalat. Kendati demkian mampu mendatangkan manfaat dan menolak kemudharatan. Contohnya, peraturan lampu lalu lintas, tidak ada hukumnya dalam al-Qur’an dan hadist namun peraturan lalu lintas sejalan debgan tujuan hukum syariat yaitu menjaga jiwa.

6.    Qoul Shohabi

Yang dimaksud dengan sahabat di sini adalah sahabat besar, yang pengetahuan mereka terhadap suatu masalah itu didasarkan pada an-naql.  Ini berarti, yang dimaksudkan dengan fatwa sahabat itu adalah berwujud hadis-hadis yang wajib diamalkan. Menurut Imam Malik, para sahabat besar tersebut tidak akan memberi fatwa, kecuali atas dasar apa yang dipahami dari Rasulullah SAW. Namun demikian, beliau mensyaratkan fatwa sahabat tersebut tidak boleh bertentangan dengan hadis marfu` yang dapat diamalkan dan fatwa sahabat yang demikian ini lebih didahulukan dari pada qiyas. Juga adakalanya Imam Malik menggunakan fatwa tabi`in besar sebagaimana peganngan dalam menentukan hukum.

Fatwa sahabat yang bukan hasil dari ijtihad sahabat, tidak diperselisihkan oleh para ulama untuk dijadikan hujjah, begitu pula ijma` sahabat yang masih diperselisihkan di antara para ulama adalah fatwa sahabat yang semata-mata hasil ijtihad mereka. Di kalangan mutaakkhirin mazhab Maliki, fatwa sahabat yang semata-mata hasil ijtihad mereka dijadikan sebagai hujjah.[18]

7.    Khabar Ahad dan Qiyas

Imam Malik tidak mengakui khabar ahad sebagai sesuatu yang datang dari Rasulullah, jika kahabar ahad itu bertentangan dengan sesuatu yang sudah dikenal oleh masyarakat madinah, sekali pun hanya dari hasil istimbat, kecuali khabar ahad itu dikuatkan oleh dalil-dalil lain yang sifatnya qoth`i. dalam menggunakan khabar ahad ini, Imam Malik terkadang inkonsisten. Kadang-kadang ia mendahulukan qiyas dari pada khabar ahad. Kalau khabar ahad itu tidak dikenal atau tidak populer di kalangan masyarakat Madinah, maka hal ini dianggap sebagai petunjuk bahwa khabar ahad tersebut tidak benar berasal dari Rasulullah SAW.

8.    Istihsaan

Dengan digunakannya istihsan dalam mazhab Maliki, maka di antara imam empat mazhab yang memegang istihsan sebagai sumber hukum adalah Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Adapun As-Syafi`i dan Ahmad tidak menggunakan istihsan sebagai sumber hukum. Bahkan as-Syafi`i mendebat keras siapapun yang menggunakan istihsan sebagai sumber hukum.

9.    Sadd Ad-Dzara`i

Imam Malik menggunakan Sadd Ad-Dzara`i sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Menurutnya, semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang haram atau terlarang, hukumnya haram atau terlarang. Dan semua jalan atau seba yang menuju kepada halal, maka hukumnya halal.

10. Istishaab

Imam Malik menjadikan istishaab sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Istishab adalah tetapnya suatu ketentuan hukum untuk masa sekarang atau yang akan datang, berdasarkan atas ketentuan hukum yang sudah ada di masa lampau. Jadi sesuatu yang telah diyakini adanya, kemudian datang keraguan atas hilangnya sesuatu yang telah diyakini sebelumnya, maka keraguan tersebut tidak dapat merubah status hukum yang lampau. Artinya ia masih tetap berhukum seperti hukum yang lama. Contohnya seseorang yang sudah dalam posisi berwudhu, ia dalam keadaan suci. Bahkan diyakini baru saja usai mendirikan shalat. Kemudian ia ragu apakah terjadi hal-hal yang membatalkan atau tidak. Dalam kasus ini, berlakukan hukum istishaab yang berarti mengembalikan kepada asal hukum; yaitu adanya wudhu. Jika asalnya memang tidak berwudhu, kemudian ia ragu apakah detik ini ia memiliki wudhu atau tidak, maka hukumnya pun kembali pada yang asal, yaitu tidak ada wudhu. Inilah yang disebut dengan istishaab.

11. Syar`u Man Qoblanaa

Menurut Abdul Wahab Khallaf, bahwa Imam Malik menggunakan kaidah syar`u man qoblanaa syar`un lanaa sebagai dasar hukum. Tetap menurut Sayyid Muhammad Musa, tidak kita temukan secara jelas pernyataan Imam Malik yang mengatakan demikian.

Menurut Abdul Wahab Khallaf, bahwa apabila Al-Quran dan As-Sunnah mengisahkan tentang suatu hukum buat ummat sebelum ummat nabi Muhammad, maka hukum-hukum tersebut berlaku pula buat kita. contoh yang paling sering kita dengar adalah ayat tentang puasa di surat Al-Baqoroh ayat 183 yang menjelaskan bahwa puasa ternyata telah diwajibkan pula kepada para ummat terdahulu, sebelum datangnya syariat nabi Muhammad SAW.

Kemudian bila di dalam Al-Quran ada penjelasan bahwa hukum tersebut telah dinasakh, maka hukum syar`u man qoblanaa  tersebut tidaklah berlaku lagi.

Demikianlah pemaparan singkat dari metode-metode ijtihad yang digunakan oleh Imam Malik.

12. Master-Piece Imam Malik

Di antara karya-karya Imam Malik yang fenomenal adalah kitab al-Muwattho. Kitab-kitab tersebut ditulis pada tahun 144 H, atas anjuran khalifah Ja`far al-Manshur. Menurut hasil penelitian yang dilakukan Abu Bakar Al-Abhary, atsar Rasulullah SAW sahabat dan tabi`in yang tercantum dalam kitab al-muwattho  berjumlah 1.720. Uniknya, kitab Muwattho yang ditulis Imam Malik ini telah dihafal Imam As-Syafi`i.

E.   KESIMPULAN

Berdasarkan apa yang telah kami uraikan sebelumnya, Imam Hanafi berijtihad dengan menggunakan sumber yaitu

1.       Al-Quran
2.       As-Sunnah
3.       Al-Ijma`
4.       Al-Qiyas
5.       Al-Istihsaan
6.       Al-`Urf

Adapun sumber hukum yang digunakan Imam Malik terlihat lebih banyak dari apa yang digunakan Imam Hanafi, yaitu

1.       Al-Quran
2.       As-Sunnah
3.       Al-Ijma`
4.       Al-Qiyas
5.       Al-Istishlaah
6.       Al-Istihsan
7.       Al-`Urf
8.       Khabar Ahad dan Qiyas
9.       Qoul Shohabi
10.   Amal Ahli Madinah
11.   Sadd Ad-Dzari`ah
12.   Istishaab
13.   Syar`u Man Qoblanaa
Menurut hemat kami, sumber hukum yang digunakan Imam Malik tersebut jika diteliti akan kembali lagi kepada 10 hukum utama, baik yang muttafaq maupun mukhtalaf


DAFTAR PUSTAKA
1.         Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Mesir, Maktabah ad-Da`wah al-Islaamiyyah)
2.       Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh Al-Islaami, (Damaskus, Daarul Fikri, 1986)
3.       Waliyyullah Ad-Dahlawi, Al-Inshoof Fii Bayaanil Asbaabil Ikhtilaaf, (Beirut: Daarun Nafaa-is, 1404 H) Versi Maktabah As-Syamilah
4.       Prof. Dr. Khuzaimah Tahido Yanggo, MA, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Tanggerang Selatan, Logos Wacana Ilmu, 2003)
5.       Drs. Sapiudin Shidiq, M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta, Prenada Media Group, 2011)



[1] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Mesir, Maktabah ad-Da`wah al-Islaamiyyah) hlm. 20
[2] Ibid.hlm. 21
[3] Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh Al-Islaami, (Damaskus, Daarul Fikri, 1986), Cet. Ke-1 juz : 1, halaman 417
[4] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Damaskus, Daarul Fikri, 1999), Cet ke-2, hlm. 22
[5] Waliyyullah Ad-Dahlawi, Al-Inshoof Fii Bayaanil Asbaabil Ikhtilaaf, (Beirut: Daarun Nafaa-is, 1404 H) hlm. 34 Versi Maktabah As-Syamilah
[6] M. Hasan Ali, Perbandingan Mazhab Fiqih, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2000), cetakan kedua, hlm. 12
[7] Prof. Dr. Khuzaimah Tahido Yanggo, MA, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Tanggerang Selatan, Logos Wacana Ilmu, 2003) Cet ke. 3 hal. 96
[8] Ibid. hal 97
[9] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushuul Fiqh, (Mesir: Maktabah Ad-Da`wah Al-Islamiyyah, tanpa tahun) hlm. 22
[10] Drs. Sapiudin Shidiq, M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta, Prenada Media Group, 2011), hlm. 27
[11] Drs. Sapiudin Shidiq, M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta, Prenada Media Group, 2011), hlm. 63
[12] Drs. Sapiudin Shidiq, M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta, Prenada Media Group, 2011),hlm,  64
[13] Dengan tetap mengedepankan nash-nash yang sharih (pemakalah)
[14] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushuul Fiqh, (Mesir: Maktabah Ad-Da`wah Al-Islamiyyah, tanpa tahun) hlm. 124
[15] Prof. Dr. Khuzaimah Tahido Yanggo, MA, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Tanggerang Selatan, Logos Wacana Ilmu, 2003) Cet ke. 3 hal. 100
[16] Ibid. hal. 103
[17] Ibid. 106
[18] Ibid. hal 108

nb : makalah ini pernah saya presentasikan di mata kuliah Metode Perbandingan Mazhab, dan sempat dikoreksi beberapa point oleh dosen. Artinya, masih banyak celah yang dapat dikoreksi kembali.

Tidak ada komentar: